BAB VI
KEADAAN SOSIAL
Kecurangan tukang waning Belanda yang
sudah tiga ratus tahun dalam dunia imperialistis yang disebut kolonisator
menciptakan pertentangan sosial dan kebangsaan yang satu-satunya di seluruh
Asia. Di satu pihak tampak kapital yang beranak pinak dalam pertanian yang
sangat modern, dengan produksi yang sangat tinggi dan dengan jalinan hubungan
internasional yang bersatu dalam sejumlah sindikat dan trust yang
memberi untung yang berlipat ganda. Di lain pihak, tampak kaum tani, pedagang-pedagang
kecil dijadikan buruh. Mereka berjubel-jubel sebagai buruh industri di
kota-kota dan buruh tani di kebun-kebun. Semua ini melahirkan kesengsaraan,
perbudakan dan kegelisahan.
Jika pertentangan kelas yang sebenarnya
menyerupai satu jurang yang tak dapat ditimbun, yang di negeri-negeri Barat
dan Jepang menimbulkan sosialisme, anarkisme dan bolsyevisme, di Indonesia
jurang itu diperdalam lagi oleh pertentangan bangsa Belanda kontra Indonesia.
Pertentangan ini, meskipun bukan satu sebab yang terpenting, tetapi mungkin
sekali dapat memancing perang-perang kemerdekaan. "Pertentangan"
Belanda kapitalist dengan buruh Indonesia, itulah nisbah sosial kita yang
berbeda dengan negeri-negeri lain. Pertentangan ini lahir dalam bentuk yang
setajam-tajamnya. Ketajaman itu bukan saja disebabkan oleh ketiadaan kapital
modern dar bangsa Indonesia, melainkan juga oleh perbedaan agama, bangsa,
bahasa, adat istiadat antara penjajah dan si terjajah.
Di negeri-negeri kapitalis yang maju,
pertentangan sosial terbagi atas dua kelas: kelas kaum kapitalis dengar para
pengikutnya dan kelas buruh. Kaum kapitalis ialah yang mempunyai tanah, pabrik,
kereta api, kapal dan bank, dan menambah kekayaan dalam keadaan biasa dengan
jerih payah kaum buruh yang tidak dibayar, yang dilukiskan oleh Marx "met
de zijn kapitaal geaccumuleenk meerwaarde". Kaum buruh ialah mereka
yang kepunyaan dan tanahnya dirampas oleh kapitalis. Mereka yang dulunya adalah
petani dan pedagang kecil, tetapi waktu ini segala miliknya punah sama sekali
kecuali tenaga, badan dan nyawa. Harga tenaga ini "tunduk" kepada
turun naiknya harga di pasar tenaga. Kaum kapitalis hidup dari pemerasan dan
kaum buruh dari upah kerjanya. Upah ini disebabkan oleh "undang-undang besi"
dalam "tawar-menawar" di pasar tenaga — tidak dapat menutup harga
kerja yang dilakukan (karena persaingan hebat di pasar tenaga dan kecemasan
akan mati kelaparan, terpaksa buruh itu menerima upah yang
serendah-rendahnya).
Supaya dapat mengadakan pemerasan atas
kelas buruh yang jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang jumlahnya kecil,
mempergunakan "senjata gaib", seperti sekolah, gereja atau masjid,
dan surat kabar, juga perkakas kelas seperti polisi, tentara, penjara, dan
justisi. Parlemen, masjid, gereja, sekolah dan surat-surat kabar berdaya upaya
menidurkan dan melemahkan hati buruh dengan pendidikan yang banyak mengandung
racun. Bila mereka tak dapat berlaku seperti itu, dipergunakanlah penjara,
polisi dan militer.
Persaingan ekonomi sesama kaum kapitalis
menyebabkan timbulnya kongsi. Mereka dapat melawan musuh-musuhnya yang
terpencil. Kalau kongsi dalam persaingan "mati-matian" tak dapat
menaklukkan lawannya, ia mencoba mengadakan kompromi. Kedua kongsi yang dulunya
bermusuhan, sekarang menjadi satu sindikat. Demikianlah mereka dapat menaikkan
harga barangbarangnya dengan sesuka hati, sehingga merugikan si pembëli (buruh
dan tani miskin).
Jadi, sindikat itu adalah gabungan dari
beberapa kongsi. Akan tetapi kongsi bekerja itu menurut caranya sendiri dan
merdeka seperti biasa. Supaya kekuatannya bertambah besar dan terpusat ke satu
pimpinan untuk perjuangan ekonomi, dibentuklah satu trust. Jadi,
sindikat mempunyai banyak ketua, sedangkan trust seorang saja, dan
begitu juga cara kerjanya, sebuah trust dapat secara lebih sempurna
menguasai pasar dunia daripada sindikat.
Di pasar negeri-negeri Barat, terutama
Amerika, kita lihat sejumlah tambang arang, industri besi, pabrik-pabrik
minyak dan maskapai kapal yang dulunya terpecah-pecah sekarang bersatu dalam trust
yang besar, dikepalai oleh raja-raja trust. Kita dengar nama-nama
seperti Morgan Raja Bank, Rockefeiler Raja Minyak, Carnagie Raja Baja dan Ford
Raja Mobil.
Di Jerman kita lihat bagaimana trust yang
banyak itu diikat menjadi satu "gabungan trust".
Pabrik-pabrik besi, arang dan kertas, maskapai kapal dan kereta api semuanya
tunduk di bawah pimpinan Stinnes yang baru meninggal dunia. Demikianlah,
Stinnes dapat menguasai harga bahan-bahan mentah dan barang-barang pabrik, selanjutnya
ongkos pengangkutan dan advertensi dari barang-barang pabrik itu. Pembentukan
trust seperti ini ditiru pula oleh bank-bank yang menyatukan diri dari maskapai
menjadi sindikat, dari sindikat ke trust dan dari trust ke
gabungan trust.
Bank meminjamkan uang kepada industri dan
perkebunan; bank itu senantiasa bertambah kaya oleh bunga uang yang tinggi,
yang dibayar oleh si peminjam. Akan tetapi, bunga uang yang tinggi itu ditarik
si peminjam dari buruh mereka, dan si buruh menarik hanya dari keringat dan
tenaganya. Kepada negara, bank juga meminjamkan uang yang mesti dibayar dengan
bunga yang tidak rendah. Bank negara pada gilirannya menarik pajak yang banyak
sekali dari kaum buruh (sebab merekalah yang terbanyak jumlahnya) untuk
membayar utang itu beserta bunganya. Ke negeri-negeri asing, bank memimjamkan
uangnya dengan bunga yang serupa. Bank, "benteng kapitalisme", jadi
penguasa industri, pertanian dan pemerintahan suatu negeri, dan dengan
penanaman modal di negeri asing itu, ia juga menguasai negeri-negeri itu.
Supaya tetap memperoleh bunga, maka ia
jugalah yang mengangkat dan memberhentikan kepala-kepala industri, ahli negara
dan ahli politik, dan langsung atau tidak menggaji atau menyuap mereka. Dengan
adanya trust maka ditaruhnya pimpinan perusahaan bank ke tangan beberapa
bankir. Jadi, bangkirlah pada hakikatnya yang jadi pemimpin industri,
pengangkutan, pertanian perdagangan, negara dan politik, pendeknya masyarakat
kapitalis modern.
Dengan memperhatikan hal tersebut di atas,
tampaklah kepada kita bahwa makin maju kapitalisme, makin sedikit orang yang
berharta dan jumlah kaum buruh miskin menjadi lebih besar. Di negeri-negeri
kapitalistis yang cerdas seperti Inggris, Jerman dan Amerika, jumlah buruh yang
pandai dan yang tidak kurang lebih 75% dari penduduk. Jumlahnya pemangku
tangan, tetapi berkapital dan produksi makin lama makin sedikit. Kekuasaan dan
kekayaan mereka semakin besar. Jumlah buruh, tapi tak mempunyai apa-apa, makin
lama makin banyak, dan organisasi mereka demikian pula. Pertentangan kaum pemangku
tangan dengan buruh miskin makin lama semakin tajam dan akhirnya menimbulkan
revolusi sosial.
Di Indonesia proses kapitalisasi itu
hampir tidak berbeda dengan garis-garis besar yang diuraikan di atas. Saudagar-saudagar
Indonesia dan perusahaan yang kecil-kecil sudah lama lenyap dari masyarakat.
Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam
keadaan "pagi makan, petang tidak". Mereka tidak bertanah dan beralat
lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas tanah pabrik,
alat-alat pengangkutan dan badan perdagangan, kini semuanya dipesatkan dalam tangan
beberapa sindikat seperti Avros, Suikersyndikaat, Handeslvereeniging Amsterdam
dan lain-lain. Pimpinan sindikat-sindikat besar itu tergantung di tangan
beberapa orang kapitalis.
Pertentangan sosial antara kapitalis dan
buruh di Indonesia — berhubungan dengan satu dan lain hal — lebih tajam
daripada apa yang kelihatan oleh mata. Keuntungan besar dari gula, minyak,
karet, kopi, teh dan lain-lain sebagian besar mengalir ke Eropa, ke kantong bangsa
Belanda, dan sebagian kecil ada juga kembali ke Indonesia, tetapi bukan
sebagai kenaikan gaji buruh, melainkan sebagai penambah "kapital"
yang sudah ada, buat jadi "alat penghisap" yang baru pula. Sebagian
besar keuntungan itu ada di negeri Belanda sebagai gaji uang verlof atau
pensiun pegawai-pegawai Belanda.
Kemalangan nasib buruh Indonesia hanya
dapat diperbaiki dengan jalan menaikkan gaji mereka yang sepadan (dengan
memperhatikan) harga barang keperluan sehari-hari. Dengan pembukaan beberapa
kebun besar, memang ada kaum buruh atau penganggur yang mendapat pekerjaan,
tetapi sebaliknya tanah mereka disewakan dan dijual hingga banyak petani yang
kehilangan miliknya. Tambahan lagi, karena perluasan kapitalisasi itu, barang
keperluan sehari-hari bertambah tinggi harganya. Sungguh tak dapat dipungkiri
bahwa kenaikan harga barang dalam sepuluh tahun belakangan ini tidak sejalan
dengan kenaikan gaji buruh.
Demikianlah rakyat Indonesia tambah lama
tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa (malahan kerapkali
diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal. Dan oleh persaingan
yang makin lama makin hebat, karena cacah jiwa cepat sekali bertambahnya dan
kuat, berkuranglah kepastian akan mendapat pekerjaan.
Jika kaum kapitalis itu bangsa Indonesia,
tentulah kemiskinan dan kemelaratan tak akan sepedih itu sebab sisa
keuntungan yang sangat banyak itu mungkin dilemparkan pada rakyat. Gaji buruh
boleh jadi dinaikkan; pengajaran, koperasi rakyat, industrialisasi dan
kesehatan mungkin diperhatikan dan diperbaiki. Sekarang tak semua itu terjadi,
sebab untung yang berlipat ganda terus menerus diangkut dari Indonesia keluar
negeri.
Selain dari proses pengeringan ini,
pertentangan sosial dipertajam oleh perbedaan bangsa dan apa saja yang
bersangkutan dengan hal itu. Kaum kapitalis berbahasa lain dari rakyat dan
pemerintah bukan pemerintah rakyat. Kaum kapitalis dan pemerintah memeluk
agama lain, mempunyai kesusilaan dan kebiasaan lain, serta ideologinya berbeda
dengan rakyat. Dalam pergaulan sehari-hari antara kapitalis dan buruh, antara
pemerintah dan rakyat, yang tersebut tadi penting sekali. Kapitalis Belanda
tidak mengenal buruhnya, pemerintah Belanda mengenal rakyatnya. Bukan dia tak
ingin mengenal rakyat.
Meskipun dia sekiranya mau berbuat serupa
itu, tidaklah mudah bagi Belanda akan menyelami batin penghuni khatulistiwa
ini sebab mereka tidak menyiapkan faktor-faktor yang perlu, seperti pendidikan,
bahasa pergaulan sosial dan kepercayaan rakyat. Oleh karena itulah, Belanda
yang katanya "sopan" kerapkali mengeluarkan kata-kata yang kotor
terhadap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan menyukai pemerintah Belanda.
Sebagaimana Filipina yang tak langsung merasakan kekuasaan Gubernur Jenderal
Amerika dan boleh dikatakan tidak mendapat kesusahan dari pembesar-pembesar
Amerika, masih saja terus mereka menuntut kemerdekaannya, demikian jugalah
bangsa Indonesia-selatan akan tetap menagih kemerdekaan yang mutlak dan seluas-luasnya.
Sebagaimana seorang manusia tak suka diganggu dan dikuasai oleh orang lain,
demikian pula rakyat. Mereka lama-kelamaan tak akan membiarkan dirinya dijajah
atau dikuasai oleh bangsa lain.
Terserah kepada kita memperhatikan, apakah pertentangan Belanda kapitalis dan Indonesia buruh akan tetap selama-lamanya atau sementara waktu saja!
Pertentangan ini lambat laun berkurang
bila pemerintah sekarang, bukan nanti, mengadakan perubahan besar, perbaikan
ekonomi, politik dan sosial yang memperbaiki keadaan seluruh rakyat Indonesia.
Hak ini hanya terjadi dengan mendirikan
industri baru (kapas, karet, pabrik-pabrik mesin, perkapalan, tambang dan
lain-lain), membuka pertanian besar-besar dan memperbanyak jalan-jalan raya,
mendirikan koperasi rakyat dengan bunga yang rendah, memberi bantuan pikiran
dan bahan kepada kaum tani, tanah kepada bekas-bekas petani yang miskin,
menaikan gaji buruh dan mengurangkan jam bekerja, meringankan atau menghapuskan
pajak dan membesarkan pajak perkebunan atau kebun-kebun besar, dan industri
dijadikan hak bersama, yaitu pemerintah, memberikan hak dalam pemilihan umum
yang seluas-luasnya kepada bumiputra, mendirikan perwakilan rakyat yang
"sejati" yang daripadanya dipilih satu badan yang bertanggung jawab
sepenuh-penuhnya kepada rakyat Indonesia, menghapuskan segala badan birokrasi
yang tak berfaedah, seperti Raad van Indie, de Alt gemeene
Secretaris dan lain lain.
Tentu tak akan terjadi! Setengah dari itu pun tak akan terjadi.
Taruhlah secara tiba-tiba imperialis Belanda melemparkan "politik warung
kecilnya" dan mempergunakan politik kolonial sesungguhnya, itu sudah
terlambat! Sekali lagi terlambat! Imperialisme Belanda tak punya cita-cita,
keberanian dan alat-alat untuk mengadakan perubahan yang berarti sedikit. Ia
terlalu "daif" (lemah) untuk melakukannya dan tidak ada pula borjuasi
bumiputra modern dapat membantunya.
Adapun "kapital luar negeri" yang bertitik-titik beberapa dollar dari wallstreet hanya seumpama beberapa butir kerikil yang dilemparkan untuk menimbuni jurang yang sangat dalam antara imperialisme Belanda dan rakyat Indonesia.
Perbaikan radikal seperti di Filipina
dapat dan mau Amerika jalankan, bila ia menerima kekuasaan politik di Indonesia
dari Belanda si tukang warung itu. Jika terjadi yang seperti ini, Amerika dalam
waktu yang singkat niscaya akan datang di Indonesia dengan beberapa ribu juta
rupiah. Tetapi mustahil! Sebab bertentangan dengan kepentingan dan
"kehormatan" Belanda. Sebab kapital Amerika yang besar di Indonesia
akan mendesak kapital Belanda ke sisi! Dan kalau keuangan terikat, kapital Belanda
tak berarti (dan tukang warung Belanda terpaksa jadi boneka-boneka Paman Sam).
Tentu saja "Meneerge" tidak mau!
Tambahan lagi yang tak kurang pentingnya, ini berarti kekuasaan ekonomi dan
politik Amerika akan bertambah besar di bagian yang strategis dan penting
sekali di Pasifik. Hal itu tentulah dengan sekuat-kuatnya akan ditentang oleh
Inggris dan Jepang yang dengki, dan mungkin akan menimbulkan perang dunia yang
lama dan dahsyat.
Oleh sebab itu, bagi Belanda cilik yang
enggan musnah, lebih baik ia berbuat sesukanya sambil menunggu keruntuhannya.
Lagi pula, penjajah lain (Inggris, Amerika dan Jepang) lebih baik membiarkan
Belanda bergumul dengan jajahannya yang mulai durhaka.
2 comments:
nah neak nih dibacanya, sip keren pahlawan yang terlambat diingat oleh negara, tapi sudah berjuang untuk negara...
Ia Trimakasih...
smoga Tan Malaka Menginspirasi kita di era Kontemporer...
Post a Comment