KEADAAN POLITIK
1. Tinjauan ke Belakang
"Politik" di Indonesia belum
pernah jadi "a common good", kepunyaan umum rakyat. Paham
kenegaraan tak pernah melewati segerombolan kecil penjajah Hindu atau setengah
Hindu. Sebagaimana dalam kebanyakan
negeri feodalistis di Indonesia, pemerintahan negeri dipegang oleh seorang raja
dan komplotannya. Seorang raja sesudah berhasil menjalankan peran
"jagoan", lalu mengangkat dirinya jadi raja yang bertuan. Anaknya
yang bodohnya lebih dari seekor kerbau atau seorang tukang pelesir, di belakang
hari, menggantikan ayahnya sebagai yang dipertuan di dalam negeri.
Peraturan turun-temurun ini "lenyap" apabila seorang
"jagoan" baru datang menjatuhkan yang lama, dari mengangkat dirinya
pula jadi raja.
Konstitusi tidak ada yang menentukan
penobatan atau pemaksulan seorang raja dengan menteri-menterinya, serta
menetapkan dengan saksama. Semua kekuasaan dan cakupan pengaruhnya bersandarkan
pada kekerasan dan kemauan raja, juga kepercayaan dan perhambaan masa.
Pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, rakyat sebagai yang dikatakan Lincoln tak pernah dikenal di Indonesia.
Kadang-kadang ada seorang rajalela yang
"agak adil" di panggung politik. Akan tetapi, hal ini adalah suatu
perkecualian, kebetulan dan keluarbiasaan. Tidak ada yang dapat dilakukan
rakyat jika tiada raja yang begitu selain berontak. Indonesia hanya mengenal
pemerintahan beberapa orang dan tak pernah mengenal hukum-hukum yang tertulis.
Keadaan di Minangkabau sedikit berlainan.
Pemerintahan oleh adat diserahkan kepada wakil-wakil rakyat para penghulu,
yakni datuk-datuk. Mereka mesti memerintah menurut undang-undang tertentu.
Kekuasaan tertinggi bernama "mufakat" yang diperoleh dari perundangan
dalam satu rapat.
Tiap-tiap rapat mesti terbuka
seluas-luasnya dan menurut kebiasaan yang pasti. Laki-laki dan perempuan dalam
rapat mempunyai hak bicara sepenuh-penuhnya yang dengan cara bagaimanapun tak
boleh dikurangi. Baik terhadap perkara daerah atau nasional,
"undang-undanglah" yang berkuasa setinggi-tingginya.
Akan tetapi, keadaan seperti itu terdapat
di Minangkabau saja, yaitu daerah kecil terpencil di Kepulauan Indonesia. Oleh
sebab itulah, orang di sana tidak seberapa terpengaruh oleh Hindu dan Arab,
pendeknya, dalam hal politik.
Meskipun orang Belanda, andaikata ingin
memperlakukan rakyat Indonesia dengan hormat seperti terhadap sesamanya,
misalnya seperti di bagian lain-lain dari Indonesia, dalam merancang dan
menjalankan undang-undang dan dalam membentuk dan memaksulkan pemerintah,
"rakyat tidak boleh campur tangan".
a. Pokok Undang-Undang Minangkabau
1.
Anak kemenakan beraja kepada penghulu,
2.
Penghulu beraja kepada mufakat.
3.
Mufakat beraja kepada alur dan patut".
Demikian pula halnya di Kerajaan
Poko-Dato, Sriwijaya, Majapahit dan Mataram. Karena rakyat tidak campur tangan dalam pemerintahan negeri,
dapatlah Kompeni Hindia-Timur menaklukkan atau berkompromi dengan raja-raja
Indonesia, dan mendapat kekuasaan sedikit ke sedikit, dan akhirnya seluruh
Indonesia jatuh ke tangannya.
b. Perwakilan Rakyat atau Soviet
Selama penjajahan Belanda, terlahir nisbah
sosial yang lambat laun meminta pemecahan atas soal susunan negara tetapi
pemerintahannya belum tentu secara parlemen atau Soviet. Parlementarisme di negeri-negeri Barat dilahirkan oleh kaum borjuis
sewaktu kekuasaan sewenang-wenang merajalela di sana dan kaum borjuis dengan
perniagaan dan industrinya yang semakin maju merasa digencet dalam memperbesar
perusahaannya, oleh raja-raja feodal: yang merintangi dengan pelbagai cukai dan
pajak yang tinggi-tinggi, sementara borjuasi tidak mempunyai hak politik. Dalam
keadaan begitulah lahir Magna Charta, Cromwellisme, dan Revolusi Prancis.
Selanjutnya Voltaire, pemimpin borjuasi yang hebat habis-habisan menggempur
agama Katholik dan pendeta-pendetanya, lalu ia mengajarkan paham
"atheis" (memungkiri Tuhan).
Rousseau menentang autokrasi dengan
demokrasi dan untuk menentang pemerintahan turun-temurun, diajarkannya
"kontrak sosial", yakni satu pemerintahan yang mengadakan kontrak
dengan rakyat. Menurut ajaran Rousseau, seorang raja hanya boleh memerintah
selama ia berbuat sesuai perjanjian; rakyat harus menentangnya bila perjanjian
itu dilanggar.
Karena borjuasi Prancis merasa kurang kuat
melawan kekuasaan raja, bangsawan dan pendeta, bersatulah mereka dengan massa
revolusioner, yaitu kaum buruh dan tani. Akan tetapi, massa ini tidak boleh
berkuasa. Mereka semua hanya dipakai sebagai umpan meriam dalam revolusi
borjuasi, sedang kekuasaan dipegang oleh kaum borjuis. Dengan semboyan
"Liberte, Egalite, dan Fraternite" yang sekarang jadi demokrasi,
liberalisme dan parlementarisme, mereka dapat merobohkan pemerintah
feodalistis.
Sesudah memperoleh kekuasaan politik,
"demokrasi borjuasi" menunjukkan dirinya. Biarpun dalam negara
parlementer, seperti Inggris, Prancis dan Amerika, tiap rakyat diberi hak dalam
pemilihan, tetapi kaum buruh dan si miskin di sana (orang yang terbesar
jumlahnya) senantiasa tidak dapat mempertahankan calon-calonnya dalam pemilihan
parlemen sebab mereka terkurung di dalam pengaruh pikiran borjuis yang
dikembangkan di sekolah-sekolah, gereja, surat-surat kabar, dan terlebih lagi,
karena mereka kekurangan alat-alat propaganda (ruangan rapat, koran dan brosur
yang semuanya mahal).
Borjuis dengan profesor, jurnalis, pendeta
dan kaum diplomatnya yang bergaji besar, dapat memperoleh kemenangan waktu
pemilihan parlemen.
Karena anggota-anggota parlemen memegang
jabatannya selama tiga atau empat tahun, hubungan antara si pemilih dengan yang
dipilih sangat renggang. Mereka berhadapan dengan rakyat di waktu pemilihan
saja, dan itulah yang menyebabkan wakil tadi menjadi birokrat sejati. Oleh
karena perceraian Majelis Rendah dan Majelis Tinggi (badan yang membuat
undang-undang) dengan kabinet (badan yang menjalankan undang-undang) jatuhlah
kekuasaan yang sesungguhnya ke tangan kantor-kantor yang selalu berhubungan
rapat dengan bank-bank. Begitulah akhirnya, asas demokrasi dan aturan
parlementer ditelan oleh tuan-tuan besar bank (Morgan di Amerika, Locheur di
Prancis, dulu Stinnes di jerman), itulah "demokrasi resmi": terbentuk
karena dana.
Begitulah, demokrasi yang sebenarnya di
masa ini menjadi diktator dari borjuasi (Cromwellisme, Napoleonisme dan
sekarang berupa Pascisme) yang bersembunyi di belakang pers, sekolah, gereja
dan bertopeng parlemen dalam ketenangan masa kecerdasan kapitalisme Dan
kekuasaan politik yang sebenar-benarnya, seperti ekonomi, selamanya di tangan
borjuasi.
Sovietisme dan parlementarisme sudah saya
uraikan dalam brosur "Parlemen atau Soviet" (dicetak tahun 1911) Oleh
sebab itu, di sini hanya pokok-pokoknya yang saya uraikan. Di zaman pergerakan proletar dan revolusi
ini, kaum buruh yang tak mau damai itu mengemukakan segala pertentangan dan
pendiriannya terhadap kekuasaan kaum. borjuis, seperti borjuasi merobohkan kaum
feodalis dalam perjuangan rohani dan jasmani selama 100 tahun (1740-1848).
Peraturan ekonomi komunis dipertentangkan
dengan kapitalis, diktator buruh dengan diktator borjuis, Sovietisme dengan
Parlementarisme. Sebagaimana parlemen
adalah ciptaan borjuasi, Soviet adalah ciptaan diktator buruh yang dengan
pertolongan kaum tani menguasai borjuasi. Jadi Soviet adalah alat politik di
tangan kaum buruh yang diadakan sebelum atau selama revolusi. Soviet itu
merupakan keadaan politik yang membelokkan masyarakat kapitalisme ke arah
komunisme dengan jalan nasionalisasi segala alat-alati produksi serta mengurus
sekalian produksi dan distribusi secara komunistis.
Badan-badan ekonomi, politik dan
pendidikan yang dibentuk selama pemerintahan diktator itu, dipakai bukan saja untuk
melemahkan dan menghancurkan borjuasi di gelanggang politik, ekonomi, dan
ideologi, melainkan juga untuk mencerdaskan semua tenaga masyarakat ke arah
komunisme.
Sementara buruh mengadakan diktator
terhadap borjuis, di dalam kelasnya sendiri sudah ada demokrasi yang
sesungguhnya. Ia berkekuasaan politik yang sebenarnya sebab ia menguasai semua
alat produksi dan distribusi. Tambahan lagi, ia akan mempunyai semua alat
penyebar semangat, seperti sekolah, surat kabar dengan secukupnya.
Soviet berikhtiar menghancurkan
"birokrasi" yang biasa terdapat dalam susunan parlementer. Supaya
tercapai maksud ini dijalankan tindakan-tindakan berikut ini.
1.
Waktu pemilihan dipersingkat.
2.
Hubungan si pemilih dengan yang dipilih didekatkan dan
si penyusun undang-undang dengan si pelaksana disatukan dan dibentuk satu badan
yang sama-sama membuat dan menjalankan undang-undang.
3.
Wakil-wakil itu kapan saja boleh diangkat dan
diberhentikan.
4.
Ke dalam pemerintahan sedapat mungkin dimasukkan kaum
buruh.
Kaum buruh yang berkesadaran tinggi, yang
seharusnya memegang pemerintahan negeri karena kaum borjuis akan selalu berdaya
upaya menuntut kekalahannya yang dulu dirampas oleh buruh, dan hal ini tentulah
dijalankan mereka dengan kontrarevolusi. Mereka ini disusun dalam partai
komunis.
Menurut keadaan itu, nanti kekuasaan
politik diperas sampai kepada buruh-buruh berorganisasi dan serikat sekerja dan
akhirnya ke seluruh kaum buruh. Semestinya,
tiap-tiap kelas yang revolusioner hendaknya merampas dan mempertahankan semua
kekuatan politik. Karena kalau ketentaraman politik di tiap negeri sudah kokoh,
dapatlah usaha-usaha ekonomi dijalankan dan, bersama dengan itu, hiduplah
demokrasi ang sesungguhnya.
Indonesia belum pernah mengenal
"demokrasi". Dan arena borjuasi bumiputra yang kuat tak ada, buat
sementara waktu, Indonesia tidak akan berkenalan dengan demokrasi itu. Semua
daya upaya untuk memperolehya tidak akan berhasil, dan boleh dikatakan bahwa
semua cita-cita seperti itu — diktator — demokrasi borjuis - adalah tidak
mungkin. Hanya kelas buruh Indonesia aja yang dapat memegang diktator (bila ia
tetap insaf dan bekerja). Ia menguasai kehidupan ekonomi.
Dan di waktu sekarang, buruh merupakan
salah satu kelas yang mempunyai organisasi yang terkuat di Indonesia. Kita tak
usah menyesal bila kita langkahi zaman “demokrasi tipuan” itu!
Kekokohan politik Republik Indonesia dapat
dipertahankan oleh diktator buruh yang kekuasaan semangatnya terkandung dalam
satu partai revolusioner yang "kuat". Lama-kelamaan kekuasaan politik
dapat diperluas kepada tiap-tiap buruh Indonesia.
2. Dewan "Rakyat" Kita!
Perbuatan birokrasi yang buruk dan
kemunafikan besar! Sungguh hanya pada bangsa Filistin dahulukah kita dapati
kekerasan dan kecurangan seperti sekarang ini? Di manakah rakyat yang berdiri di belakang Dewan Rakyat itu? Dan
apakah yang sudah diperbuat Dewan Rakyat yang mahal itu untuk rakyat? Di antara
48 orang anggota, 20 orang adalah bangsa Indonesia dan 28 orang asing yang
mewakili kapital asing. Dengan keadaan demikian sia-sialah semua ikhtiar anggota
akan mendapat kemenangan suara.
Andaipun dewan itu adalah dewan yang
sesungguhnya, sebenarnyalah dewan itu tak dapat berbuat sesuatupun sebab semua
nasihatnya boleh dibuang ke dalam keranjang sampah oleh orang yang berkuasa
(Dewan Rakyat bukanlah badan pembuat undang-undang, melainkan badan penasihat).
Jumlah anggota bangsa Indonesia terlalu
kecil dan, oleh sebab itu, mereka tak dapat menyatakan kehendak rakyat. Jika
kita ingat negara Belanda yang jumlah penduduknya 7,000,000 mempunyai 100 orang
anggota Tweede Kamer (anggota Eeste Kamer tidak masuk),
niscaya Indonesia yang jumlah penduduknya 55,000,000 sepatutnya secara parlemen
mempunyai sekurang-kurangnya 600 orang anggota.
Di antara 20 orang anggota Indonesia yang
ada di dalam dewan itu tak seorangpun yang betul-betul wakil rakyat atau
dipilih rakyat, apalagi untuk rakyat. Delapan orang diangkat oleh Gubernur
Jenderal dan kebanyakan dari mereka ini pemburu pangkat, seperti wakil
Sumatera, Demang Loetan, dan dari Jawa, Dawidjosewojo. Atau mereka itu seperti
anak bengal politik seperti contoh yang sebaik-baiknya, ditunjukkan oleh yang
dipertuan Tuan Soetadi. Anggota lain-lainnya dipilih oleh rapat-rapat gementee
(PEB), bukti ini cukup terang! Tak ada faedahnya dalam buku ini kita tuliskan
semua kebusukan birokrasi Belanda. Pun tak ada faedahnya bagi kita, kaum
revolusioner, mengeritik dengan sungguh-sungguh semua usul-usul yang
diperbincangkan atau yang telah diterima oleh dewan itu. Jika kita tak mau
diperdaya oleh nama-nama yang bagus dan janji yang manis-manis dari pemerintah
ini, dapatlah kita menyimpulkan semua politik kolonial Belanda sebagai berikut.
1.
Bangsa Indonesia yang 55,000,000 itu tak mempunyai hak
bersuara tentang politik.
2.
Kapitalis besar memerintah dengan perantaraan kaum
birokrat yang tak punya hati dan militeris yang picik.
3.
Dewan Rakyat itu "seekor lintah" yang melekat
di punggung rakyat Indonesia.
3. Harapan kepada Badan Perwakilan
Rakyat.
Adakah harapan bagi Indonesia kelak akan
memperoleh semacam Badan Perwakilan Rakyat? Jawab yang pasti:
"tidak". Mendirikan Badan Perwakilan Rakyat selama pertentangan
sosial dan kebangsaan seperti sekarang, berarti matinya imperialisme Belanda
atau" hancur" mesin politiknya.
Hal ini harus diketahui oleh tiap-tiap
bangsa Indonesia! Ini bukan soal
"matang" atau "mentahnya" bangsa Indonesia melainkan,
seperti yang sudah berulang-ulang kita uraikan di bagian lain dalam buku ini,
disebabkan oleh ketiadaan borjuasi bumiputra modern, yang kepentingan
ekonominya sedikit banyak sama dengan borjuasi imperialistis-kapitalistis.
Kalau di masa sekarang wakil-wakil dari
seluruh atau sebagian rakyat Indonesia dipilih oleh orang Indonesia dengan
pemilihan yang sebebas-bebasnya niscaya dengan segera akan menghadapi masalah
kelas. Jika mereka tak suka menipu si pemilih, wakil-wakil mereka seharusnya
mengangkut masalah perbaikan ekonomi, sosial dan politik untuk melawan kapital
besar. Hal ini bukanlah perbaikan kecil-kecilan yang dijalankan perlahan-lahan
oleh kaum birokrat, melainkan perubahan radikal yang dikerjakan dengan cepat
dan praktis di bawah pimpinan dan pengawasan wakil-wakil rakyat.
Sebagai misal pencuri-pencuri seperti pada
Perusahaan Beras di Selat Jaran dan perusahaan pemerintah yang lain semestinya
tidak dihukum dengan pemecatan yang "tidak terhormat" seperti yang
biasanya dilakukan pada pencuri kecil-kecil. Tuan-tuan yang berbuat begitu yang
digaji oleh rakyat tapi merusakkan perusahaan rakyat, semuanya harus digantung
"dengan hormat".
Jika kelak wakil-wakil rakyat dapat
mengadakan islah yang nyata, rakyat akan merasa, bahwa material dan moral
mereka sungguh bertambah maju, dan soal "bendera" (terjajah atau
terlepas dari Belanda) akan dilupakan sementara waktu. Bukan karena soal itu
tidak penting melainkan karena kesukaran yang besar-besar dapat disingkirkan dan
cita-cita politik sebagian besarnya dapat diwujudkan.
Kita tidak akan memperbincangkan hal
bentuk pemerintahan yang akan diadakan seperti yang digambarkan di atas. Soal
itu adalah soal angan-angan dan susunan pemerintahan negeri yang disandarkan
kepada "pertimbangan teoretis" belaka.
Pati soal itu, apakah imperialisme Belanda
akan sanggup kelak mengadakan islah-islah yang nyata? Jika sekali lagi kita
ingat jurang pertentangan Belanda-kapitalis dengan buruh Indonesia, ketiadaan
borjuasi bumiputra, kelemahan dalam hal keuangan dan kepicikan politik
imperialis Belanda, pertanyaan itu tanpa menanggung risiko besar dapat kita
jawab dengan "mustahil!"
Kesimpulannya, segala kerewelan tentang
perubahan pemerintahan negeri di Indonesia yang sekarang sedang ramai
diperbincangkan oleh orang-orang pintar dan birokrasi Belanda itu
membuang-buang waktu percuma. Jika rakyat Indonesia satu waktu memperoleh Badan
Perwakilan Rakyat, niscaya ini bukan "karunia dari atas" melainkan
disebabkan "desakan kuat" dari bawah.