Selamat Datang, Senang bisa Berbagi, Semoga Bermanfaat

Friday, 4 January 2013

Tutorial Lampung : Busana Adat Penganten Lampung

Tutorial Lampung : Busana Adat Penganten Lampung: Di  propinsi lampung banyak sekali terdapat keanekaragaman budaya, adat istiadat,  tempat rekreasi , keanekaragam bahasa,pakaian adat ...

Tutorial Lampung : Adat Lampung Nyambai

Tutorial Lampung : Adat Lampung Nyambai: Banyak Adat Lampung yang dari jaman nenek moyang hingga sekarang yang masih dilaksanakan namun ada juga adat lampung tersebut yang mulai ...

Tugas Sekolah - Karya Tulis - Materi Pelajaran - Soal, Pembahasan dan Prediksi - Download Gratis: Tradisi dan Budaya Adat Lampung

Tugas Sekolah - Karya Tulis - Materi Pelajaran - Soal, Pembahasan dan Prediksi - Download Gratis: Tradisi dan Budaya Adat Lampung: Tradisi dan Budaya Adat Lampung Lampung merupakan salah satu daerah di Indonesia yang juga kaya akan tradisi dan adat budaya. Banyak ...

ulun lampung: Sekilas tentang Adat Lampung

ulun lampung: Sekilas tentang Adat Lampung: -- Haji Munawarah TULISAN ini kutujukan untuk beberapa teman korespondenku yg sedikit-banyak ingin mengetahui tentang adat lampung. Kuambi...

TenTang LamPung: adat lampung

TenTang LamPung: adat lampung: nahh,,,ini dia tentang adat lampung Upacara adat yang masih dilestarikan : Upacara Kuruk Limau : Upacara tujuh bulanan Upacara Becukor: ...

Wednesday, 2 January 2013

Public Universite: Komunisme dan Pan-Islamisme

Public Universite: Komunisme dan Pan-Islamisme: Tan Malaka (1922) Penerjemah: Ted Sprague, Agustus 2009 Ini adalah sebuah pidato yang disampaikan oleh tokoh Marxis Indonesia Ta...

Public Universite: Sejarah Logika

Public Universite: Sejarah Logika: Masa Yunani Kuno   Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul,...

Public Universite: Dasar-dasar Logika Algoritma

Public Universite: Dasar-dasar Logika Algoritma: Sebelum mempelajari bahasa pemograman, alangkah baiknya kita pahami dulu suatu ilmu yang bernama Logika Algoritma. Algoritma adalah uruta...

Sunday, 30 December 2012

TAN MALAKA (1926) – Aksi Massa BAB XII



KHAYALAN SEORANG REVOLUSIONER



Sebuah tugas yang berat tapi suci, sekarang dipikulkan di atas bahu setiap orang Indonesia untuk memerdekakan 55 juta jiwa dari perbudakan yang beratus-ratus tahun lamanya, dan memimpin mereka ke pintu gerbang hidup baru.

Zaman yang lalu, zaman penjajahan Hindu dan Islam serta zaman "kesaktian" yang gelap itu, tak dapat menolong kita sedikit pun. Marilah sekarang kita bangun termbok baja antara zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali melihat ke belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk mendorongkan masyarakat yang berbahagia. Marilah kita pergunakan pikiran yang "rasional" sebab pengetahuan dan cara berpikir yang begitu adalah tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasional membawa kita kepada penguasaan atas sumber daya alam yang mendatangkan manfaat, dan pemakaian yang benar — kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya cara berpikir dan bekerja yang rasional yang dapat membawa manusia dari ketakhayulan, kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan, menuju kepada kebenaran.

Kita sangat menjunjung tinggi kesaktian dan adat istiadat serta kebenaran bangsa Timur. Akan tetapi semuanya itu tidaklah mendatangkan pencerahan, kemauan kepada peradaban dan kemajuan, cita-cita tentang masyarakat yang baik, tinggi, bagus, serta tidak pula mendatangkan yang baik di dalam sejarah dunia. Pujilah kepintaran Timur sang pemilik batinnya sendiri, kegaiban atau kekeramatan Timur, bilamana anda suka. Semuanya itu sebenarnya merupakan asal mula dari kesengsaraan dan penyiksaan mematikan semangat kerja dalam masyarakat yang tak layak bagi pergaulan manusia. Manusia haruslah berdaya, mencoba berjuang, kalah atau menang dalam ikhtiarnya itu. Sebab, inilah yang dinamakan hidup! Karena itu, hapuslah segala macam kepuasan yang menyuburkan semangat budak dan buanglah kesalahan kosong sebab ini adalah kesesatan pikiran semata.

Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia harus merdeka! Sebuah bangsa pun mesti merdeka berpikir dan berikhtiar. Jadi ia mesti berdiri atau berubah dengan pikiran dan daya upaya yang sesuai dengan kecakapan, perasaan dan kemauannya. Tiap-tiap manusia atau bangsa harus mempergunakan tenaganya buat memajukan kebudayaan manusia umum. Jika tidak, ia tak layak menjadi seorang manusia atau bangsa dan pada hakikatnya tak berbeda sedikit jua dengan seekor binatang.

Tetapi kamu orang Indonesia yang 55,000,000 tak kan mungkin merdeka selama kamu belum menghapuskan segala "kotoran kesaktian" itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja kebudayaan kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu, dan selama kamu bersemangat budak belia. Tenaga ekonomi dan sosial yang ada pada waktu ini, harus kamu persatukan untuk menentang imperialisme Barat yang sedang terpecah-pecah itu, dengan senjata semangat revolusioner-proletaris, yaitu dialektis materialisme. Kamu tak boleh kalah oleh orang Barat dalam hal pemikiran, penyelidikan, kejujuran, kegembiraan, kerelaan dalam segala rupa pengorbanan. Juga kamu tidak boleh dikalahkan mereka dalam perjuangan sosial. Akuilah dengan tulus, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru orang Barat, melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka mengikuti kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat.

Sebelum bangsa Indonesia mengerti dan mempergunakan segala kepandaian dan pengetahuan Barat, belumlah ia tamat dari sekolah Barat. Karena itu, janganlah menjatuhkan diri dalam kesesatan dengan mengira bahwa kebudayaan Timur yang dulu atau sekarang lebih tinggi dari kebudayaan Barat sekarang. Ini boleh kamu katakan, bilamana kamu sudah melebihi pengetahuan, kecakapan dan cara berpikir orang Barat. Sekurang-kurangnya masyarakat kamu sudah mengeluarkan orang yang lebih dari seorang dari Newton, Marx dan Lenin, barulah kamu boleh bangga.

Pada waktu ini sungguh sia-sia dan tak layak bagi kamu mengeluarkan perkataan sudah "lebih pintar" dan tak perlu belajar lagi, sebab banyak sekali yang belum kamu ketahui. Pun jika perkataan itu keluar dari seorang bekas murid yang melupakan ajaran gurunya. Kamu belum boleh membanggakan kelebihanmu karena kamu belum layak jadi seorang murid, seperti terbukti dengan kekolotan dan akar-akar takhayul yang masih berbelit-belit dalam kepalamu. Bila sekalian keruwetan itu sudah lenyap dari kepalamu, barulah kamu dianggap orang sebagai murid, dan mulailah mempergunakan pikiran "baru" dengan sempurna.

Jadi, janganlah bimbang merampas kemerdekaan bila kamu ingin jadi seorang murid Barat. Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia, bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri! Bagi bangsa Indonesia, manusia tiada harapan akan memperoleh kemajuan bila berada di bawah tumit imperialisme Belanda. Bila seseorang ingin menaiki tangga sosial dan kebudayaan, haruslah ia merdeka lebih dulu. Adapun paham tentang kemerdekaan, di Baratlah dilahirkan dan dipergunakan.

Seseorang yang ingin menjadi murid Barat atau manusia, hendaklah merdeka dengan mernakai senjata Barat yang rasional. Apabila sudah dapat memakainya, barulah ia dapat menciptakan sebuah pergaulan hidup yang baru dan rasional.

Kemudian kecakapan dan kemauan menurut alam dapat tumbuh, dan dengan itu pula kekayaan tanah Indonesia yang tak terkira itu dapat diusahakan dan dipergunakan buat keluhuran bangsa Indonesia yang telah tertindas dan merana sekian lama di bawah tapak kaki Belanda.

Karena itu, wahai kaum revolusioner, siapkanlah barisanmu dengan selekas-lekasnya! Gabungkanlah buruh dan tani yang berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum terpelajar di dalam satu partai massa proletar.

Tunjukkan kepada tiap-tiap orang Indonesia yang cinta akan kemerdekaan tentang arti kemerdekaan Indonesia dalam hal materi dan ide. Panggil dan himpunkanlah orang-orang yang berjuta-juta dari kota dan desa, pantai dan gunung, ke bawah panji revolusioner. Bimbingkanlah tangan si pembanting tulang dan budak belian itu hari ini dan besok; bawalah mereka menerjang benteng musuh yang rapi itu! Di sanalah tempatmu pemimpin-pemimpin revolusioner! Di muka barisan laskar itulah tempatmu berdiri dan kerahkanlah teman sejawatmu menerjang musuh; inilah kewajiban seorang yang berhati singa! Dirikanlah di tengah-tengah laskarmu itu satu pusat pimpinan, tempat menjatuhkan suatu perintah kepada mereka semua yang haus serta lapar itu, dan pasti kata-katamu akan didengar dan diturut mereka dengan bersungguh hati.

Kamu, ahli pidato pahlawan Homerus modern, berserulah di tengah-tengah massa yang tak sabar menanti-nantikan kedatanganmu dengan tepuk sorak dan kegembiraan. Dan dengan pidatomu itu, tegakkanlah mereka yang lemah, bukakan mata yang buta, korek kuping yang tuli, bangunkan yang tidur, suruh berdiri yang duduk dan suruh berjalan yang berdiri; itulah kewajiban seorang yang tahu akan kewajiban seorang putera tumpah darahnya. Di situlah tempatmu berdiri dan berdiri, di situ sampai nyawamu dicabut oleh peluru atau pedang musuh yang bengis keji dan hina itu. Itu kewajibanmu!

Kamu pahlawan dari angkatan revolusioner! Tuntunlah massa si lapar, si miskin, si hina, si melarat, si haus itu menempuh barisan musuh dan robohkanlah bentengnya itu, cabut nyawanya, patahkan tulangnya, tanamkan tiang benderamu di atas bentengnya itu. janganlah kamu biarkan bendera itu diturunkan atau ditukar oleh siapapun. Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putera Tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.

Biarlah yang tersebut di atas itu senantiasa menjadi kenang-kenangan bagi kita semua. Bersama massa, kita berderap menuntut hak dan kemerdekaan.


TAN MALAKA (1926) – BAB XI Aksi Massa



FEDERASI REPUBLIK INDONESIA

 

 

Meskipun atas kehendak kita sendiri, kita tidak akan membatasi aksi kita "hanya" pada kemerdekaan bangsa Indonesia yang terhindar oleh imperialisme Belanda. Pembatasan seperti itu akan segera menyempitkan kita di dalam arti ekonomi, strategi dan politik.

Kekuasaan atas Semenanjung Tanah Melayu dengan pusat armada Singapura di dalam tangan imperialisme Inggris bagi kita sebagai satu "strategisch Umfasung" senantiasa memaksa kita menjauhi medan perjuangan. Umfasung ini dilengkapi dengan Australia putih yang anti kulit berwarna di sebelah selatan.

Dalam arti ekonomi, semenanjung bagi kita adalah sangat penting sebab negeri itu sudah menjadi pasar terbesar bagi berbagai macam hasil bumi Indonesia; tambahan pula, banyak hubungannya dengan seluruhnya. Kedudukan kita di antara Malaya dengan Australia, dan kapital Inggris yang sangat besar di Indonesia, membesarkan dan mengekalkan perhatian politik imperialisme Inggris atas segala kejadian di Indonesia. Kita tak akan dapat merampas kemerdekaan Indonesia tanpa keributan, dan bila ribut, serdadu Inggris tentulah akan siap dengan senapannya.

Tetapnya kedudukan Amerika di Indonesia-Utara (Filipina) bagi kita lebih berbahaya daripada yang dapat diduga oleh seorang Indonesia biasa. Strategi kita tetap terancam, baik dari utara maupun dari selatan oleh imperialisme modern. Ekonomi Filipina yang mengeluarkan hasil bumi seperti Indonesia-Selatan menjadi persaingan yang hebat. Pendeknya, selama politik Indonesia masih terpecah-pecah jadi beberapa bagian seperti sekarang (bagian Belanda, Inggris, Amerika), tak akan dapat diadakan persatuan aksi ekonomi, seperti menetapkan harga maksimum hasil bumi dari negeri-negeri tropik ini di pasar-pasar dunia. Kemerdekaan kita, bagi Paman Sam yang mungkin sekali berniat untuk selama-Iamanya duduk di Filipina, bukanlah satu soal "filsafat" politik saja.

Indonesia merdeka yang sekarang meringkuk di bawah imperialisme Belanda akan dihormati oleh bangsa Indonesia-Utara dengan gembira dan akan menyebabkan timbulnya agitasi baru untuk kemerdekaan yang seluas-luasnya bagi mereka. Filipina dalam genggaman Jepang tidak bagus bagi kita.

Sebaliknya, lambat laun ia berarti "penaklukan kita bersama" kepada kawanan perampok Asiria modern. Satu pusat persatuan antara seluruh bangsa Indonesia, yakni Indonesia kita. Semenanjung dan Filipina — tak usah dibicarakan dulu Kepulauan Oceania dan Madagaskar yang jumlahnya tidak sedikit — adalah sine qua non, sarat untuk merampas dan menjaga kebebasan kita. Celaka sungguh, bangsa Indonesia di Semenanjung Malaka tak dapat mempertahankan diri dari kebanjiran bangsa India dan Tiongkok yang terus mengalir ke sana. Perniagaan industri boleh dikatakan semuanya ada di tangan asing. Bumiputra di kota-kota pesisir senantiasa didesak ke pinggir kota, dan yang tinggal di darat makin hari makin jauh menyingkir ke puncak-puncak gunung.

Pabrik-pabrik kereta api, kantor-kantor gubernemen dan perniagaan sama sekali ada di tangan bangsa asing. Orang perantauan dari Jawa, Sumatera, Borneo dan Sulawesi terlampau sedikit dan terlampau lemah kekuatannya untuk mengadakan perjuangan ekonomi melawan bangsa Benua Asia yang biasanya pandai bekerja, hidup sederhana dan kompak. Proses pendesakan bangsa Indonesia dalam hal kediaman, ekonomi, politik dan negeri menyebabkan lahirnya sebuah pergerakan baru di sana. Satu perkumpulan orang-orang Indonesia yang bernama "Kesatuan-Melayu" menguntungkan dan mesti kita perhatikan yang segala daya dari orang Indonesia di Semenanjung untuk pertahanan dan politik. Meskipun masih suram dalam perkataan dan ragu-ragu dalam aksi, sebuah badan politik seperti itu haruslah dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan dan mesti kita perhatikan dengan perhatian yang sepenuh-penuhnya. Segenap daya upaya mengembang dan menciptakan suatu Persatuan Indonesia Raya di seluruh Kepulauan lndonesia "mesti dan perlu" ada dan didirikan. Tambahan lagi, boleh diharapkan bahwa besok atau lusa bangsa Indonesia-Semenanjung akan berikhtiar melahirkan satu pergerakan yang maksudnya akan memindahkan bangsa Indonesia-Selatan ke sana. Dengan jalan serupa itu, dapatlah dibatasinya proses pendesakan itu dan diciptakannya satu dasar tempat Indonesia merdeka "bersandar" dan akhirnya akan mewujudkan Kemerdekaan Semesta-Indonesia.

Filipino yang terletak di antara Sciylla, Amerika dan Charyb di Jepang, strategis, "sepenting-pentingnya di Pasifik" bagi 12.000.000 orang Indonesia di sana sungguh menjadi satu soal yang memutuskan harapan untuk merebut kemerdekaan nasional. Kedudukan Filipina terlalu penting, sedangkan jumlah penduduknya terlalu sedikit untuk dapat mengusir musuh selama-lamanya. Karena itu, memang sudah pada tempatnya jika mereka merasa sangat bersyukur oleh imigrasi dari Indonesia-Selatan ke sana sebab para imigran itu dalam sedikit waktu saja dididik bergaul niscaya akan jadi satulah dengan mereka.

Sebagai bangsa satu keturunan, Filipina dengan Indonesia Selatan tentulah tidak akan berselisih rupa, muka, hidung, percakapan, kesukaan dan kemauannya bekerja, juga mempunyai perhubungan bahasa yang tak dapat disangka.[1]

Imigrasi dari Indonesia-Selatan sekali-kali bukanlah akan berarti "penjajahan" atas bangsa Filipina, baik dalam hal ekonomi, kebudayaan, politik atau apa pun juga. Sebaliknya, imigrasi itu berarti menguatkan bangsa itu.

Hanya saja imigrasi tentu tidak akan diizinkan oleh imperialisme Belanda. Pergaulan antara bangsa Indonesia-Selatan yang berabad-abad lamanya dijajah dan diabui matanya dengan bangsa Indonesia-Utara yang mempunyai lebih banyak kemerdekaan dalam perekonomian politik dan kebudayaan, bukankah sebentar saja akan membukakan mata mereka dan membangunkan semangat revolusioner? Meskipun bangsa Filipina — berhubung dengan pertimbangan ekonominya (tingkat penghidupan yang lebih tinggi) — menentang imigrasi kaum buruh dari Benua Timur tetapi mereka setuju dengan imigrasi dari Indonesia-Selatan biarpun besar jumlahnya. Bangsa Filipina sangat sulit memungkiri riwayatnya sendiri sebab mereka pun adalah bangsa Indonesia-Selatan; Jawa, Sumatera, Semenanjung dan lain-lain juga pindah ke sana.

Kejadian ini bagi kita sekarang dan seterusnya sangat penting karena hal itu adalah salah satu sendi persatuan dan kerja pertama di masa yang akan datang. Selain itu, tidak kecil pula artinya politik Filipina yang bekerja bersama dengan kita. Kebanyakan pemimpin politik yang besar pengaruhnya pernah berkata kepada kita bahwa mereka sangat menanti-nantikan "All Indonesian Conference" yang pertama. Tetapi sayang kita sekarang tidak sempat. Sesungguhnya inilah waktu yang baik untuk meletakkan batu pertama di atas gunung "Persatuan seluruh bangsa Indonesia".

Marilah kita mulai, dari menit ini, dengan sungguh-sungguh dan gembira bekerja untuk menjadikan sebagai tujuan kita yang penghabisan: pendirian "Federasi Republik Indonesia" (FRI) di dalam arti yang sebenarnya adalah persatuan dari 100,000,000 manusia yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan perhubungan seluruh Benua Asia dan samuderanya. Selain itu, ia berarti telah memusatkan semua hasil bumi negeri-negeri panas; dan bersamaan dengan itu, pembangunan kebudayaan baru, yakni kebangunan satu bangsa dan kekuasaan baru di Timur. Oleh karena itu, ia akan menjadi pokok semangat baru yang tak tertahan-tahan bagi bangsa Asia yang jumlahnya lebih dari 1,000,000,000 dan haus akan kemerdekaan; dan ia berarti pula kerugian yang tak dapat diperbaiki oleh penjajahan putih.

Bangsa Indonesia-Selatan yang menghendaki kemerdekaan pasti mengerti benar tugas dan akibat dari perbuatan serta kemenangannya. Mulai sekarang ia harus menumbuhkan semangat juang terhadap imperialisme Barat, baik dalam politik perdagangan ataupun militer. Jangan sekali-kali kita mundur atau meninggalkan perjalanan yang dicita-citakan.

Singsingkanlah lengan baju dengan segera buat menghidupkan serta menyatukan semua kekuatan nasional; seterusnya, ciptakan satu pertalian dengan bangsa Indonesia yang lain, yang anti-imperialis Barat atau Timur. Akan tetapi, jangan kita menggantungkan diri semata-mata kepada pertolongan luar negeri. Hendaknya kita berkeyakinan kepada kekuatan sendiri dari awal sampai akhir.

Sebelum bangsa Spanyol datang di Filipina, bahasa Melayu menjadi bahasa politik yang resmi di seluruh Filipina, menjadi lingua franca antar pulau yang berjumlah tak kurang dari dua ribu buah. Akan tetapi, politik devide et impera bangsa Spanyol membunuh bahasa itu. Selain itu, karena "Utusan Tuhan" itu mengembangkan segenap dialek yang ada di tiap-tiap pulau-pulau dan daerah di Filipina, dan mereka juga menghapuskan bahasa Melayu, maka lenyaplah bahasa politik yang resmi tadi. Setelah bahasa pergaulan itu mati maka lambat laun mati pula rasa persatuan di antara penduduk sehingga akhirnya Spanyol dapat mengadu domba mereka. Itulah sebabnya maka hingga kini sangat susah untuk membangun persatuan nasional.

TAN MALAKA (1926) – Aksi Massa BAB X



 SEKILAS TENTANG GERAKAN KEMERDEKAAN DI INDONESIA

 

 

1. Kegagalan Partai Borjuis
Sesungguhnya bukan kualitas pimpinan itu sendiri yang menyebabkan partai-partai borjuis Indonesia "beriring-iringan patah di tengah". Para penganjur, seperti Dr. A. Rivai dan Dr. Tjipto, niscaya akan memegang peranan yang jauh berlainan sekali di dalam gerakan kemerdekaan Indonesia jika di sini ada kapital besar milik bumiputra. Lambat laun, dengan sendirinya, mereka akan sampai pada program nasional borjuis yang dengan perantaraan satu organisasi dan taktik yang cocok, sebagian atau seluruhnya, dapat diwujudkan.

Karena kapital besar bumiputra tidak ada, program nasional dan organisasi mereka sebagai partai borjuis tak tahan hidup. Mereka dibesarkan oleh pendidikan borjuis secara Barat sehingga tidak tercerabut massa Indonesia dan tidak berperasaan akan mencari logika untuk mendapat program nasional yang proletaris. Partai borjuis yang didirikan dengan perlahan-lahan, lenyap sama sekali, "hidup enggan mati tak mau" atau tinggal namanya saja yang hidup.

a. Budi Utomo
Budi Utomo — didirikan pada tahun 1908 — adalah sebuah partai yang semalas-malasnya di antara segenap partai-partai borjuis di Indonesia. Seperti seekor binatang pemalas, ia merana sombong karena umurnya panjang. Karena ia tak mendapat cara-cara aksi borjuis yang radikal dan tidak berani mendekati dan menggerakkan rakyat maka dari dulu sampai sekarang, kaum Budi Utomo menghabiskan waktu dengan memanggil-manggil arwah yang telah lama meninggal dunia. Borobudur yang kolot, wayang dan gamelan yang merana, semua basil "kebudayaan perbudakan" ditambah dan digembar-gemborkan oleh mereka siang malam. Di dalam "lingkungan sendin" kerapkali dukun-dukun politik itu menyuruh Hayam Wuruk — Raja Hindu atau setengah Hindu itu — dengan laskarnya yang kuat berbaris di muka mereka. Di luar hal-hal gaib itu, paling banter hanya dibicarakan soal-soal yang tak berbahaya. Di dalam Kongres Budi Utomo berkali-kali (sampai menjemukan) kebudayaan dan seni Jawa (?) dibicarakan. Soal yang penting, yaitu mengenai kehidupan rakyat di Jawa — jangan dikata lagi di seluruh Indonesia — tak pernah disentuh, apalagi diperbincangkan mereka. Belum pernah, barangkali, diadakan suatu aksi untuk memperbaiki nasib Pak Kromo yang tidak hidup di zaman Keemasan Majapahit, tetapi di dunia kapitalistis yang tak memandang bulu. Panjangnya umur Budi Utomo sebagian besar diperolehnya dari "mantera-mantera" pemimpinnya, dari hasil "main mata" dengan pemerintah dan dari hasil kelemahan teman seperjuangannya. Sebuah semangat kosong seperti Budi Utomo dapat diterima oleh pemerintah seperti Belanda.

Selain itu, Budi Utomo tidak menumbuhkan cita-cita "kebangsaan Indonesia". Fantasi "Jawa-Raya", yakni bayangan penjajahan Hindu atau setengah Hindu terhadap bangsa Indonesia sejati, langsung atau tidak, menyebabkan timbulnya keinginan akan Sumatera Raya, Pasundan Raya atau Ambon Raya dan lain-lain.

Budi Utomo yang mengangkat kembali senjata-senjata Hindu-Jawa yang berkarat dan sudah lama dilupakan itu, sungguh tidak taktis dan jauh dari pendirian nasionalis umum. Perbuatan itu menimbulkan kecurigaan golongan lain yang mencita-citakan persaudaraan dan kerja sama antara penduduk di seluruh Indonesia (bukan antara penjajah satu terhadap Iainnya). Dengan jalan sedemikian, Budi Utomo menimbulkan gerakan ke daerah yang bila perlu (misalnya Budi Utomo kuat), dengan mudah dapat dipergunakan imperialisme Belanda. Dengan keadaan seperti ini, keinginan "luhur" yang satu dapat diadu dengan yang lain, yang akibatnya sangat memilukan, Indonesia tetap jadi negeri budak.

b. National Indische Party
Dengan pikiran pincang dan ragu-ragu tidak dapat juga N.I.P. yang didirikan pada tahun 1912 "mencium" kebangsaan Indonesia. Pohon-pohonan yang terapung-apung — indo-indo Eropa itu — berdiri dengan sebelah kakinya di sisi jurang imperialisme dan sebelah lagi di sisi jurang kebangsaan Indonesia. Yang terutama tidak mempunyai cita-cita nasional yaitu borjuasi Indonesia; masa bercerai-berai. Karena itulah, satu program nasional yang konstruktif dan konsekuen tak dapat diwujudkannya. Rumpun "Indonesisme" ala Douwes Dekker ialah cita-cita dari Belanda Indo yang tidak kurang imperialisisnya daripada Belanda totok, mereka merasa dikesampingkan oleh yang tersebut belakangan dan itulah semangat yang dikembangkannya. Mereka meminta "persamaan" dengan totok dan kadang-kadang dibisikkannya perkataan kemerdekaan. Maksud mereka yang sesungguhnya mau membagi kekuasaan, satu orang separo diantara mereka berdua. Karena si totok kerapkali terlalu banyak mengambil bagian untuknya sendiri, si Indo mengancam "bekerja sama dengan Inlander". Cap yang lebih dalam tak dapat kita tempelkan kepada kebangsaan Belanda Indo itu. Mereka tidak berbeda coraknya dengan bangsa Hindu dan Muslim di zaman perang saudara dulu.

Tatkala Si Jenaka Van Limburg Stirum "pelayan liberal dari kapital besar" memberikan pekerjaan yang menguntungkan Teeuwen dan Co waktu itu, program N.I.P. mencapai tujuannya tanpa menumpahkan darah.

Douwes Dekker berjalan terus; untuk mencapai itu, dia menganggap perlu memakai kekuatan bumiputra. Dengan perkataannya yang kabur tentang hak dan kemerdekaan, tertariklah Dr. Tjipto, Soewardi dan Co ke dalam N.I.P. Kejadian ini memberi jiwa kepada pohon kebangsaan Indonesia yang tidak dikenal di seluruh pergerakan Indonesia.

Satu cita-cita modern tentang kebangsaan yang jauh lebih sehat dan lebih luas daripada fantasi Jawa Raya (cita-cita penjajahan Hindu dan kasta-kasta) boleh dikatakan lahir di seluruh Kepulauan Indonesia. Tetapi, sesudah Dr. Tjipto, Soewardi dan Co duduk di dalam N.I.P., orang betul-betul memperhatikannya; di sana dapat dilihat satu pertentangan antara anggota-anggota perkumpulan itu. Di satu pihak berdiri Indo-Borjuis yang dididik secara imperialistis, sombong dan penuh curiga, di pihak lain berdiri bumiputra yang ekonomi dan politiknya tergencet, diperas dan diinjak-injak.
Sebuah asimilasi baik sosial ataupun ideologi belum pernah tercapai. Seorang anggota N.I.P. merasa sangat senang mendapat pembagian kerja 50 banding 50 dengan si totok yang sangat dibenci itu.

Pengangkatan Teeuwen menjadi aggota Dewan Rakyat, kemudian menjadi pegawai tinggi, sesungguhnya menjadi obat yang mujarab buat penyakit politik N.I.P.

Jangankan aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan Indo anggota N.I.P. Apalagi revolusi meminta hubungan yang rapat serta asimilasi sejati dengan bangsa Indonesia, bukan dengan priyayi-priyayi yang bersih saja, melainkan juga dengan Pak Kromo. Dan yang lebih utama, pembagian kekuasaan politik dengan si Inlanders yang terbesar jumlahnya.

Dan pemogokan yang mungkin berubah menjadi revolusi meski sekecil apa pun, tentulah takkan pernah cekcok dengan kepentingan dan ideologi tuan tanah dan pegawai-pegawai Belanda-Indo.

Selama perkataan "hak dan kemerdekaan" tetap tinggal gelap, selama itulah Belanda-Indo dapat bergandengan tangan dengan priyayi-priyayi Jawa. Tetapi, pertentangan kelas yang beberapa tahun belakangan ini terbukti dalam pemogokan maka keluarlah nasionalis-imperialis (nasionalis menurut sebutan dan imperialis menurut perbuatan) dari "nasional" Indische Party.

Apa yang diidamkan oleh Indo anggota N.I.P. sekarang dibukakan oleh I.E.V.: hak tanah dan fasisme. Anggota N.I.P. bumiputra umumnya lebih radikal dari Belanda Indo.

Akan tetapi, mereka terkungkung dalam "kebangsaan Douwes Dekker" (satu teori yang menggembirakan perihal "darah Timur dan perasaan Timur") yang bagian ekonominya ditutup dengan wardisme yang kacau itu. Sekiranya N.I.P. mempunyai seorang pemimpin yang sanggup mempertalikan kebangsaan Indonesia dengan program proletaris dan sanggup menarik kaum buruh ke dalam partai itu, niscaya N.I.P., meskipun ditinggalkan oleh Belanda-Indo yang fasistis itu, dapatlah hidup terus dan boleh jadi lebih kuat dari yang sudah-sudah.

Tetapi sekali lagi, sebab tak ada borjuasi bumiputra yang modern maka semangat yang begitu sehat dan revolusioner seperti Dr. Tjipto tak mendapat tempat dalam pergerakan revolusioner yang borjuis. Sebaliknya, daripada mendekati massa berulang-ulang, mereka lebih suka merintang-rintang waktu dengan kerja yang tak layak baginya, yaitu memanggil-manggil arwah kebesaran (Hindu dan Islam) yang telah meninggal dunia. Satu nasionalistis "maya" yang sejati.

c. Sarekat Islam (S.I.)
Sarekat Islam pada tahun 1913 tampil ke muka disertai suaranya yang gemuruh. Perhimpunan ini adalah penyambung aksi massa Timur setengah feodal yang sudah berabad-abad mengalami penindasan. Tetapi, ia bukanlah suatu aksi massa yang teratur, tetapi manifestasi dari perasaan massa yang kurang senang di bawah pimpinan saudagar-saudagar kecil.

Dengan melibat-libatkan agama, dikumpulkannya si Kromo ke dalam satu organisasi yang sangat picik. Dan pada permulaannya ditujukan untuk menentang saudagar-saudagar Tionghoa.

Di dalam perjuangan ekonomi antara saudagar bumiputra dan Tionghoa tampak betul kelemahan yang disebut duluan. Kecurangan pemimpin S.I. menyebabkan dan menimbulkan datangnya kekalahan ekonomi. Dengan berhentinya gerakan, terhenti pulalah kegiatan saudagar-saudagar kecil di dalam S.I. Jika kita mau menamakan paham campur aduk antara Islam, kebangsaan reformisme dan demagogi dari pemimpin-pemimpin S.I. itu "politik", maka sekarang kita pandang S.I. sudah menginjak tingkatan "politik". Pada tingkatan politik ini, berkat pengaruh kaum revolusioner di Semarang, dapatlah mereka mengadakan aksi-aksi ekonomi pemogokan "liar".

Massa yang kurang senang yang bersatu dalam S.I. tak dapat menjadi sendi aksi massa yang teratur. Untuk itu, pemimpin S.I. tak mempunyai pengetahuan sedikit pun perihal pertentangan kelas, taktik revolusioner dan kepemimpinan. Tambahan pula program revolusioner yang konstruktif dan konsekuen, kecakapan organisatoris dan kejujuran administrasi tak ada. Pergerakan S.I. yang permulaannya demikian hebat dan menarik perhatian umum — hingga kerapkali disamakan dengan gerakan Charterisme — tampaknya menang hanya karena beroleh adat menjongkok-jongkok.

Disebabkan kebimbangan dan kelemahan aksi S.I. itu, pergilah mereka yang kecewa dan yang lebih radikal-islamistis borjuis mengambil jalan yang salah. Segala alat-alat feodal seperti mistik, jimat-jimat dan mantera yang sudah lama terkubur diambil mereka dan dipergunakannya untuk menentang imperialisme, dan tentulah mereka jadi hancur luluh.

Meski Afd. B. dari S.I. berhasil kiranya merangkak-rangkak di bawah tanah lebih lama dan pada waktu yang diperkirakan tepat lalu menyerbukan diri ke dalam perjuangan, ia tidak akan mendapat hasil selain dari pemberontakan dan huru-hara agama seperti yang sudah berulang-ulang terjadi di Indonesia.

Organisasi S.I. mati ketika kaum revolusioner Semarang di tahun 1921 membuang disiplin partai (trade mark Haji A. Salim). Apa yang terjadi sesudah itu tak lain dari perpecahan anggota S.I., yang paling aktif pergi masuk S.R. dan P.K.I. Golongan Muhammadiyah dengan segala kejujurannya menerima subsidi dari tangan pemerintah "kafir" untuk sekolah Islam. Kedua Haji yang termashur itu — Agus dan Tjokro — tak dapat lagi meniup gelembung sabun Islam dengan patgulipat syariat yang lama dan yang baru dipikir-pikirkannya.

2. Bagaimana Sekarang?
Di dalam perjuangan yang luar biasa beratnya selama beberapa tahun yang lalu, berhasillah P.K.I. dan S.R. menghimpun kaum buruh dan revolusioner dari B.U., N.I.P., dan S.I. untuk bernaung di bawah panji-panjinya. Tak ada partai lain yang sudah memberikan korbannya seperti P.K.I. dan S.R. Beribu-ribu anggota yang sudah tertangkap, berpuluh-puluh yang sudah dibuang, dipukul atau dibunuh. Sungguhpun begitu, masih diakui BENDERA-nya di seluruh pulau, bukit, gunung, kota dan desa (Indonesia). Ia dipakai menjadi lambang kemerdekaan yang sekian lama diidam-idamkan.

Dalam beberapa aksi daerah untuk tujuan yang kecil-kecil, P.K.I. dan S.R. sudah menunjukkan kekuatan dan kecakapannya. Akan tetapi, untuk mengadakan satu aksi nasional umum (apalagi di lapangan internasional), mereka betul-betul belum kuasa. Hal ini, atas nama kemerdekaan 55 juta manusia, tak boleh didiamkan. Kalau mereka berbuat seperti itu pula, niscaya akan berarti menjatuhkan diri ke dalam kesalahan seperti yang terus-menerus dilakukan oleh partai-partai borjuis (terutama partai Tjokro & Co). Tatkala muncul Larangan Berkumpul pada penghabisan tahun yang lalu, kita tidak menunjukkan perasaan tak senang. Kini sesudah lebih delapan bulan masih saja belum ada sesuatu yang terjadi. Manakah rakyat yang beratus ribu atau berjuta-juta di jawa, Sumatera, Sulawesi yang langsung berdiri di bawah pimpinan atau tunduk ke bawah pengaruh kita? Kemanakah perginya, dalam waktu delapan bulan itu, kaum revolusioner yang setia terhimpun di dalam V.S.T.P, S.P.P.L., S.B.G., S.B.B. dan lain-lain, serta beberapa juta yang tidak diorganisasi tetapi yang bersimpati kepada kita? Adakah kita dengan segera mengerahkan dan menarik rakyat untuk membalas dendam atas kelahiran Larangan Berkumpul, masa penangkapan dan pembuangan serta kematian saudara Soegono, Misbach dan lain-lain dengan satu aksi massa yang sepadan, tetapi dijalankan dengan gembira.

Tidak, kita sekali-kali tak menangkis serangan lawan sehingga timbul sekarang pertikaian yang tak dapat dihalang-halangi dalam barisan revolusioner, dan anggota yang berdarah anarkis mengambil jalan sendiri serta menarik kawan-kawannya.

Selain   seksi-seksi kita yang baik, yang sangat diharapkan, seperti Sumatera Barat, Medan, Semarang, Surabaya, (semuanya mana yang tidak?) menderita keputusan dan kelemahan organisasi yang tak mudah ditolong lagi.

Bila kita membalas Ultimatum Desember dari imperialis Belanda dengan sepak terjang komunistis yang sempurna, niscaya kekalahan kita tidak seperti sekarang. Sebusuk-busuknya pengorbanan materiel (penangkapan, pembuangan, pembunuhan), tak akan lebih besar dari sekarang, tetapi kemenangan politik dan moral niscaya tinggal tetap. Dan siapakah yang dapat mengatakan apa yang bakal kita peroleh dalam keadaan yang sebaik-baiknya?

Bagaimana larangan berkumpul tidak kita jawab secara komunistis dan selama delapan bulan itu kita terpaksa kerja di bawah tanah. Pada waktu itu, kita kehilangan kawan yang sebaik-baiknya dengan percuma, selain itu, saat-saat yang sangat bahagia, terutama psikologi yang susah kembali dan masih banyak.

Di sini bukan tempatnya memperbincangkan hal itu lebih lanjut, pun bukan tempat untuk memeriksa kepada siapa patutnya dipikulkan kesalahan itu: pada seksi-seksi, pada pimpinan atau pada lain hal?

Biarlah kita serahkan hal ini kepada "riwayat" dan kepada organisasi yang kelak menyelidiki, mengapa kesempatan yang sebaik-baiknya itu kita biarkan saja lenyap. Di sini pun bukan tempatnya untuk mengumumkan kekuatan laskar kita saat ini, serta pengaruh kita terhadap massa dalam keadaan yang sulit ini; demikian pun, maksud-rnaksud kita dan taktik kita pada yang akan datang, juga karena kita sekarang terpaksa bekerja di bawah tanah (ilegal). Jadi, untuk kepentingan pergerakan, sangat banyak yang mesti dirahasiakan, yang di belakang hari akan kita ceritakan kepada kawan-kawan seperjuangan dan kepada mereka yang menyetujui kita (Harap diperhatikan sungguh-sungguh! Maksud kita aksi massa dan bukan putch!).

Harap dicamkan sekali lagi bab IX. Semestinya kita dengan segera mengorganisasi dan memimpin pemogokan dengan tuntutan yang cocok dan semboyan-semboyan yang jitu untuk menentang dan menjawab larangan berkumpul itu. Sekiranya dari aksi seperti itu pecah revolusi, kita mesti terima. Berpikir dan berbuat lain dari yang seperti itu tidaklah komunistis!

Pekerjaan "ilegal" penuh dengan bahaya. Sambil lalu hal itu patut dan mesti juga kita uraikan di sini. Pekerjaan legal dan hanyalah pekerjaan legal yang melahirkan organisasi, pembicara, organisator dan pemimpin. Majalah, partai dan pidato-pidato yang legal dapat mendidik bangsa kita yang tercecer itu melalui cara yang berfaedah sekali untuk jadi ahli politik dan menghidupkan pikiran umum revolusioner yang penting itu. Sebaliknya, di dalam satu negeri yang sedang dalam transformasi seperti Indonesia, pekerjaan ilegal mudah sekali terperosok ke dalam anarkisme, huru-hara atau kepercayaan akan jimat yang sangat merugikan itu. Segala macam yang bersangkutan dengan organisasi dan ideologi yang sudah lama kita peroleh akan lenyap kembali disebabkan ilegalitas yang "tidak pada waktunya". Provokasi lawan mudah menjatuhkan pemimpin-pemimpin kita yang kurang berpengalaman dan juga menghancurkan organisasi sama sekali.

Organisasi legal "harus bersedia" untuk menciptakan suatu organisasi ilegal pada waktu revolusi. Hubungan rahasia, rapat rahasia, percetakan rahasia, dan markas mencetak rahasia. Apabila larangan berkumpul dan berorganisasi sekonyong-konyong dikeluarkan, organisasi itu harus bekerja terus dengan teratur. Organisasi ilegal mesti selamanya berhubungan dengan massa dan tak boleh sekali-kali memisahkan diri darinya. Ia mesti senantiasa mengetahui perasaan dan keinginan massa. Karena itu, is mesti mempunyai badan-badan yang cukup dan orang-orang yang bekerja pada badan partai "bona fido", yaitu perkumpulan-perkumpulan yang masih diizinkan oleh pemerintah. Kalau tidak berhubungan dengan massa dan keadaan yang sesungguhnya, sama halnya dengan sebuah kapal. selam yang tidak mempunyai kaleidoskop.

Dengan bekerja legal atau ilegal, kita tak boleh sekalikali melupakan senjata revolusioner kita, yakni aksi massa yang teratur. Larangan berkumpul dan bersidang harus kita patahkan dengan aksi massa kita yang teratur, supaya "atas" pemandangan yang dalam dan tenaga yang besar dapat diteruskan barisan kita menuju kemerdekaan yang sepenuhnya.

Apakah kita memang bekerja di bawah tanah? Pertanyaan seperti itu berulang-ulang timbul kepada kita. Ini berhubungan dengan soal pernahkah kita mempunyai tenaga yang cukup di dalam partai, yang tidak menghiraukan segala rintangan, setia menjalankan aksi massa yang teratur. Seterusnya, apakah pendidikan Marxistis benar dan cukup lama dijalankan sehingga kaum buruh kita sudah mempunyai kemantapan Marxistis, kelenturan Leninistis? Bila hal ini tidak dan belum terjadi, niscaya satu ilegalitas yang dipaksa akan menimbulkan kakacauan dalam seluruh gerakan revolusioner di Indonesia. Kaum yang bukan buruh akan memegang komoditi dan menuntun partai kepada putch atau anarkisisme sehingga akhirnya hancur sama sekali. Bahaya ini akan semakin besar karena pemimpin revolusioner yang ulung dan berpengaruh atas massa sebentar-sebentar dibuang dari Indonesia, sedangkan reaksi tambah lama tambah sengit.

Karena itu, kita berhadapan dengan satu krisis revolusioner yang tak mudah dipahami oleh orang luar. Kini kebutuhan bukan pada keberanian semata-mata melainkan terlebih lagi, "pengetahuan revolusioner dan kecakapan mengambil sikap revolusioner".

Imperialisme Belanda berniat betul-betul menghancurkan organisasi revolusioner: Delenda est Chartago (Chartago mesti dihancurkan). Dan jawablah sekarang atau nanti (selama-lamanya) segala daya upaya musuh untuk menghancurkan kita; dengan jalan aksi massa yang teratur, pastilah kita menuju kepada kemenangan!

3. De Indonesische Studieclub
Sampai saat ini saya belum beruntung untuk mengetahui apakah yang sebenarnya yang diinginkan oleh Indonesische Studieclub dan alat apakah yang akan dipakainya untuk melaksanakan maksudnya. Keterangan "majalah bulanan dari studieclub" tidak berarti apa pun bagi saya.

Keterangan itu terlalu gelap, terlalu elastis dan sangat kurang. Karena itu, ia tak boleh dianggap sebagai satu "dasar" nasional buat perjuangan yang praktis. Suluh Indonesia mengumumkan sekian banyak pandangan yang bermacam-macam. Akan tetapi, dengan perantaraan ini, kita tak juga dapat mengambil kesimpulan apakah hal itu dilakukan dengan sengaja atau hanya sulap-sulapan karena, kadang-kadang, studieclub dapat bercerita menurut kebiasaan intelektual Indonesia, bahwa "di dalam kegelapan tersembunyi penerangan".

Dari pidato Mr. Singgih seperti yang diumumkan di dalam Suluh Indonesia dan majalah lain-lain dapat kita "raba-raba" sedikit (tak lebih dari itu!) bahwa Mr. Singgih dan konco-konconya mempunyai maksud yang menyerupai nonkoperasi. Jadi, belum pasti! Kesan saya secara umum, Mr. Singgih seakan-akan lebih bersikap sebagai seorang advokat yang menarik diri terhadap anggota-anggota pemerintah yang mengintip-intip daripada sebagai seorang duta dari sebuah cita-cita baru yang menyala-nyala untuk berjuta-juta budak berian. Sebuah politik yang dapat dipahami, tetapi menurut pemandangan saya, mendatangkan kerugian yang tidak kecil. Menurut pengalaman, rasanya dapat kita ketahui bahwa rakyat kita yang sederhana ini tidak suka "lempar batu sembunyi tangan", tidak suka paham-paham yang muskil dan menghabiskan waktu untuk membalas kata-kata yang kosong. Rakyat kita menghendaki perkataan yang terang dan pas. Kalau tidak begitu, ia akan tetap meraba-raba dan menduga-duga dan tak kan dapat diajak mengadakan aksi.

Juga saya tak mengenal isi Studieclub yang borjuis itu. Tetapi, sesudah dua puluh lima tahun pergerakan kebangsaan, patutlah kita mempunyai satu ketentuan. Bukankah kita tak boleh menganggap bahwa kaum terpelajar Studieclub akan tinggal berabad-abad di dalam laboratorium sosial — mengupas-ngupas dan mematut-matut saja? Karena itu, biarlah kita menganggap untuk sementara waktu bahwa Studieclub "menghendaki" kemerdekaan nasional dan ia mau memakai senjata nonkoperasi. Akan tetapi, dengan sebab-sebab yang sudah kita maklumi, hal-hal itu sementara waktu dirahasiakan dulu. Jika sungguh seperti itu, kita akan gembira dan sejauh dan sepantas mungkin akan kita sokong dengan sepenuh tenaga sebab nonkoperasi termasuk sebagian dari aksi kita yang termasuk ke dalam program aksi, dan kita anggap sebagai penambah pemogokan dan demonstrasi.

Tetapi masih jadi satu pertanyaan besar, apakah nonkoperasi saja — meskipun ia, baik dalam politik maupun ekonomi, dapat dijalankan dengan sempurna dapat mendatangkan hasil bagi Indonesia secara umunmya. Perihal ekonomi dan pemboikotan, kita persilakan pembaca melihat uraian-uraian di muka. Bagian ekonomi dan pemboikotan itu di Indonesia (terutama di Jawa) sangat meminta perhatian dan bila kita tidak keliru, belum pernah sekali juga dibicarakan dalam Studieclub sesungguhnya, inilah tanda kelemahan nonkoperasi Studieclub.

Pemboikotan tanpa disertai bagian ekonomi merupakan pekerjaan yang terlampau khayal dan jauh dari memadai. Meskipun demikian, biarlah kita mengalah. Bahwa nonkoperasi politik saja yang dapat membawa kemenangan politik, biarlah tetap tinggal sebagai perumpamaan; dengan boikot ekonomi, kita dapat mencapai tujuan politik.

Kini tinggal soal yang terpenting, bagian manakah dari penduduk Indonesia yang mesti digerakkan oleh Studieclub yang akan memutuskan hubungan "kerja sama" dengan imperialisme Belanda.

Di sinilah sendinya! Kita tidak berhadapan dengan satu negeri yang pemerintahannya sama sekali ataupun sebagian kecil dikemudikan oleh wakil-wakil rakyat, seperti di Filipina, Mesir dan sekarang di India. Jadi, kita tak mempunyai satu pemerintahan yang "bergerak" (boleh diturunkan dan dinaikkan dengan jalan pemilihan"), tetapi sebuah kolonial birokrasi yang berkarat mati. Untuk menimbulkan keributan yang berarti dalam politik, kita harus lawan dan robohkan birokrasi itu mulai dari sendi-sendinya. Jadi, mestilah kita mendekati pegawai-pegawai, seperti bupati, wedana, demang, jaksa dan guru-guru sekolah supaya masing-masing meletakkan jabatannya.

Kita secara apriori percaya bahwa hal itu tidak mungkin sama sekali, dan sementara waktu janganlah diberi bukti aposteriori. Sungguh terang sekali bahwa bupati itu konservatif dan pasti merangkak-rangkak di bawah kursi, menjilat pantat Belanda serta takutnya kepada bangsa Eropa lebih dari yang semestinya. Mereka ditempel oleh saudara-saudaranya dan biasanya banyak utang; karena itu, mereka akan bergantung seteguh-teguhnya kepada gaji mereka. Mereka "terlampau suka" memerintah dan merasa terlalu tinggi, tak layak menyertai pergerakan dan bersekongkol dengan rakyat yang mau mengadakan huru-hara. Wedana dan jaksa pun tak kurang dari itu, bahkan terlebih lagi, sangat haus pangkat yang tinggi; sebab itu, mereka lebih "perangkak" dan "penjilat" daripada pegawai Indonesia yang lebih tinggi.

Kita percaya bahwa Mr. Singgih dan teman-temannya akan mengerjakan pekerjaan yang tak terhingga beratnya untuk mematahkan birokrasi Belanda yang kokoh itu; seterusnya, memperoleh kemerdekaan nasional atau konsesi politik yang besar-besar.

Tinggal lagi bagi Studieclub nonkoperasi terhadap rapat kota. Kita rasa perbuatan itu tak cukup keliru sama sekali! Kita rasa lebih berguna bila Dr. Soetomo dan teman-temannya tetap duduk di dalam rapat kota Surabaya, yaitu badan imperialis satu-satunya yang boleh dimasuki bangsa Indonesia dengan pemilihan langsung (meskipun sangat terbatas) dan dapat mengemukakan sesuatu dengan leluasa. Di sana Dr. Soetomo dan teman-temannya dengan pengetahuannya yang luas tentang segala tipu-muslihat pihak sana, dengan mengadakan perlawanan yang tidak putus-putus dan kritik terhadap si pemegang kekuasaan, akan berhasil "menyusahkan" kedudukan rapat kota.

Setelah memperhatikan semua yang tersebut di atas, sesungguhnya kita sangat menyesali politik dan aksi Studieclub yang dilakukannya sampai sekarang ini. Jika Studieclub tidak "mengambil semua atau sebagian dari program buruh kita" (kita mengatakan ini bukan karena mau merendahkan atau menyakitkan hati kaum terpelajar Studieclub), niscaya ia akan menerima nasib sebagai B.U. dan N.I.P. Sebab hubungan sosial antara imperialisme Barat dengan bangsa Indonesia yakni borjuasi bumiputra yang kuat "tidak ada", maka menciptakan satu modus vivendi politik adalah sebuah pekerjaan yang belum dimulai. Studieclub besok atau lusa niscaya akan berhadapan dengan dilema sebagaimana yang sudah dialami oleh partai-partai borjuis, yaitu:


1.      kerja sama dengan Pemerintah Belanda, dan dengan demikian berarti mengikuti politik imperialisme Belanda; atau
2.      kerja sama dengan rakyat yang sebenarnya, merebut kemerdekaan yang seluas-luasnya, dan dengan demikian, ia akan menjadi partai massa buruh serta berpikir secara buruh. "Politik sama tengah, liberal, bagi Studieclub berarti 'politik matt'."
3.      Politik perlawanan seperti no.2 itu kita yang anjurkan kepada Dr, Soetomo, Mr. Singgih dan teman-temannya bila mereka kelak diangkat atau dipilih oleh pemerintah anggota Dewan Rakyat.
4.      Jadi, kaum terpelajar Studieclub mestilah membuang cara berpikir berjuang, bercita-cita untuk revolusi borjuis atau pemerintahan borjuis, tapi menjadi buruh, yaitu memakai cara pikiran buruh dialektis-materialistis dan berjuang buat kepentingan kaum buruh