BAB V
KEADAAN RAKYAT INDONESIA
1. Kemelaratan
Berapa ribu, bahkan berapa ratus ribu
rakyat Indonesia
yang meringkuk dengan perut kosong di atas balai-balai setiap hari saat melepas
lelahnya, tak terjelaskan dengan tepat. Pemerintah punya catatan angka-angka
yang lengkap tentang kebun-kebun dan perusahaan yang menguntungkan, terutama
nama-nama orang yang wajib membayar pajak, tetapi lupa memberi kepastian
tentang penghidupan rakyat seluruhnya. Betul kadang-kadang dibentuk oleh
pemerintah suatu panitia, tapi badan itu tak mewakili rakyat, dan tentu saja
panitia itu tidak pernah mendakwa kapital besar, meskipun mencela saja.
Pemeriksaan "teratur" dan "merdeka" sebagai bukti
maksud-maksud yang suci, belum pernah kedengaran.
Jika kita mau tahu berapa jumlah buruh
industri, kebun-kebun dan pengangkutan, tentulah dengan jalan itu kita ketahui
berapa banyaknya "budak belian kolonial" yang kelaparan di Indonesia
sebab sebagian besar dari buruh industri itu miskin, sebab kepada perusahaan
besar-besar itu, mereka harus menjual atau menyewakan tanahnya, hingga akhirnya
kehilangan tanah dan mata pencaharian.
Hal itu tidak mungkin disebabkan oleh
ketakpedulian dan kelalaian pemerintah. Meskipun kita bekerja dengan
angka-angka yang tak cukup, ini belum berarti bahwa keadaan rakyat Indonesia
adalah buku yang tertutup bagi kita; bahkan sebaliknya tak dapat diduga bahwa
dua sampai tiga juta budak yang tertindas menerima upah yang hanya cukup
bertahan agar mati kelaparan. Bagian yang terbesar dari mereka berorganisasi.
Mereka itu misalnya buruh kereta api, tukang sapu, kuli barang dan tukang rem,
yang mulai bekerja dengan gaji f 15 — dengan satu sampai dua rupiah kenaikan
setiap tahun — dan mencapai maksimum f 30 sampai f 40 sebulan apabila mereka
sudah beruban. Sungguh gaji itu terlalu sedikit di zaman kapitalisme, dan hal
ini sangat menyedihkan, mengingat kepada kecermatan dan tanggung jawab
sekumpulan buruh itu bergantung hidup beribu-ribu manusia.
Jika beratus ribu buruh gula yang karena
tak berorganisasi tidak berani meminta tambah gajinya; Jika kaum tani yang
kehilangan tanah hanya bekerja beberapa bulan dalam setahun dengan gaji 30 atau
40 sen sehari, yakni di waktu memotong tebu; jika 250 sampai 300 ribu kuli
kontrak — yang dinamakan "kuli merdeka" di Sumatera Timur — mendapat
upah 30 sampai 40 sen sehari, siapakah yang berani mengatakan bahwa di masa ini
seseorang (meskipun ia seorang inlander!), dengan anak bininya, dapat hidup
sebagai manusia dengan upah 12 sampai dengan 25 rupiah sebulan? Jika ada orang
yang berkata seperti itu, ia adalah seekor keledai atau lebih hina lagi adalah
seorang "pengkhianat".
Tukang-tukang besi segolongan buruh yang
besar gajinya di negeri-negeri lain, di Surabaya sangat rendah gajinya, tinggal
seperti di kandang anjing, makanan, pakaian dan keperluan hidup lain-lain tak
cukup, hingga kekallah mereka jadi mangsa lintah darat Tionghoa dan Arab. Kita
masih mendengar gaji mereka antara 30 sampai 40 rupiah. Di Surabaya yang
dikenal sebagai kota
dagang, gaji itu berarti sekadar penghalang agar jangan sampai mati.
Siapakah nama gubernur jendral yang pada
suatu hari dengan malu-malu menceritakan bahwa beribu-ribu kuli di pelabuhan
Jakarta, sebab upah mereka tidak cukup untuk menyewa gubuk yang sangat dicintai
oleh orang-orang Jawa? Sudah begitu memalukan dan tak menentunya nasib kaum
buruh yang nota bene masih kerja itu, bagaimanakah halnya kaum penganggur yang
makin lama makin banyak itu?
Dalam Verslag van de Suiker Enquete
Commissie (hlm. 99) kita baca kalimat yang sangat berarti: "Agaknya
setengah dari keluarga rakyat di Pulau Jawa termasuk orang yang mempunyai
tanah, dan selebihnya hidup dari perusahaan dan perdagangan bumiputra ataupun
bukan. Di sana tentulah beratus ribu manusia yang tak punya apa‑apa, yang kadang-kadang
bekerja pada salah seorang peladang dan dengan tidak pada tempatnya menamakan
dirinya petani". Selain itu, di kota-kota tidak sedikit orang yang
bergelandangan di sepanjang jalan, makan sesuap kala pagi dan sesuap kala
petang. Kita tidak mempunyai statistik yang lengkap, benar dan sah tentang
berapa jumlahnya.
Tetapi siapapun yang pernah tinggal di
kota gula seperti Banyumas, Solo, Kediri dan Surabaya, serta ia sungguh
memperhatikan kehidupan rakyat, ia akan tercengang dengan "kesabaran"
dan "kebetahan" rakyat menanggung kesusahannya, bahwa pajak jauh
melewati kesanggupan penduduk, tidak asing lagi bagi orang-orang pemerintah.
Semua dan setiap yang bernyawa (meskipun
dia tidak berpencaharian) mesti membayar pajak. Kutipan-kutipan dari segala pihak
dapat kita cantumkan, tetapi, karena kita anggap tidak berfaedah, tak perlu
kita tambahkan di sini.
(Sepintas lalu kita katakan bahwa industri
besar-besar dan kongsi-kongsi perdagangan juga membayar pajak. Akan tetapi, hal
itu adalah perkara perjanjian belaka, karena dengan berbagai cara, pajak itu
dapat ditimpakan di atas kepala rakyat Indonesia yang melarat dan tak punya hak
lagi itu).
Padoux, penasihat pemerintah Tiongkok
dalam "Memorandum for the National Commission for Study of Financial
Problem", menentukan bahwa setiap kepala di Filipina, Indo-Cina, Prancis,
Siam, Indonesia, dan Tiongkok masing-masing membayar pajak $7.50, 8.50, 9.50,
15.50, dan 1,20.
Jadi, pajak yang tertinggi di Indonesia!
yaitu dua kali Filipina, hampir dua kali Indo-Cina, Prancis, dan dua belas kali
Tiongkok. Perhitungan itu diambil menurut perbandingan sebelum tahun 1923.
Waktu itu masih ada "Inlandsch Verponding" — satu perbuatan hina yang
tidak tahu malu — sebagaimana yang belum pernah dilakukan oleh seorang raja
yang selalim-lalimnya di Jawa.
Mr. Yeekes menerangkan dalam "de
Opbouw" (tahun 1923) bahwa pendapatan rakyat Indonesia pukul rata f 196
setahun. Dari pendapatan itu banyak yang harus dikeluarkan sebagai pembayar
pajak, dan di luar Jawa untuk rodi pula, hingga pendapatan sebulan tinggal f
13. Satu angka yang jauh di bawah minimum. Perhitungan Mr. Yeekes ini adalah
untuk seluruh Indonesia, jadi penda-patan rakyat di Jawa Tengah tentu lebih
sedikit lagi.
Kita di zaman modern ini sedih dan heran
melihat orang Jawa yang tinggal di pondok-pondok rombeng atau tak bertempat
tinggal sama sekali, kelaparan dan berpakaian kotor compang-camping, hidup
dalam iklim yang sangat membahayakan sebagai di Indonesia, kurang terawat
kesehatannya, disebabkan wabah malaria, cacing tam-\bang, kolera dan sampar;
"hanya" ratusan ribu yang mati di waktu penyakit itu merajalela.
Suatu keuletan yang patut dipuji!
2. Kegelapan
Masih saja "pemerintah tani dan
tukang warung" Belanda takut kepada Universitas dan Sekolah Tinggi seperti
kepada hantu. Masih saja belum terlepas ia dari gangguan momok "buruh
intelektual". Ia sudah berbuat keliru dalam pandangan politik pengajaran
Inggris dan mengambil kesimpulan yang salah. Ia terlalu bodoh untuk memikirkan
bahwa berhubung dengan wawasan dan kecakapan imperialisme Inggrislah, maka dulu
sudah ada kaum terpelajar di India yang pada masa sulit kerapkali membantu
pemerintah Inggris, dan juga berkat adanya kelas intelektual, termasuk juga
kaum ekstrimis, maka Tilak dan Mahatma Gandhi beroleh kemenangan ekonomi dengan
gerakan boikotnya yang luas. Dan pula karena Inggris bekerja sama dengan
borjuasi bumiputra modern, di lapangan politik dan ekonomi, maka Inggris dapat
memerintah terus di India walaupun digempur oleh gerakan noncooperation
baru-baru ini.
Pemerintah Belanda di dalam perdebatan
selalu mengemukakan pelbagai keberatan terhadap pendirian universitas di
Indonesia, yaitu keberatan yang hanya dapat diterima oleh anak-anak kecil.
Semua dalilnya hanya terpakai di zaman timbulnya penjajahan dan dapat disimpulkan
dalam alasan-alasan di bawah ini.
1.
Bahwa pemerintah ini, sesudah menyesal, seharusnya
sekarang menjadikan dirinya pendidik rakyat Indonesia dengan belanja rakyat
sendiri dan sepatutnya memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada anak-anak
Indonesia, jika ia tidak doyan omong kosong.
2.
Bahwa bangsa Indonesia baik otak maupun kebangsaan
tidak lebih tinggi, juga sebaliknya tidak lebih rendah dari bangsa mana saja,
dan bahwa mereka itu sungguh matang untuk menerima pengajaran yang macam mana
sekalipun.
3.
Bahwa universitas Indonesia yang pertama tak perlu
cangkokan atau tiruan dari Eropa,tetapi dengan memperhatikan perguruan tinggi
di Eropa berdasarkan pada kecerdasan rohani dan keadaan masyarakat Indonesia
sendiri pada masa ini.
Filipina — yang 12 juta penduduknya —
sudah mempunyai empat universitas dan beberapa sekolah tinggi, tapi Indonesia
dengan penduduknya yang lima kali lebih banyak belum mempunyai sebuah juga.
Sekejap pun tak kita lupakan, bahwa bila
"orang Belanda" mendirikan universitas di Indonesia, pengajarannya
niscaya dan pasti lebih tinggi daripada di koloni lain sebagaimana, katanya,
universitas Belanda jauh lebih tinggi daripada universitas di mana pun. Tanpa
mempedulikan tabiat menurutkan kata hati sendiri itu, kita hanya ingin
mengatakan kepada Belanda, "Cobalah dulu tunjukkan kecakapanmu itu di
Indonesia!" "Perbuatan
itulah yang sebenarnya harus kamu buktikan!"
Tetapi, selain duit yang bagi seorang
Belanda lebih berat timbangannya daripada cita-cita dan alasan politik, ada
pula pandangan politik lain yang tak dapat kita harapkan dari si Belanda tani
dusun yang dungu itu.
Belum selang berapa lama Tuan Hardeman,
Kepala Departemen Pengajaran, menerangkan dalam sidang Dewan Rakyat bahwa
mendirikan suatu perguruan tinggi belum tentu melahirkan buruh terpelajar,
karena kebutuhan akan buruh pelajar itu untuk sementara waktu ini berkurang,
disebabkan kesukaran ekonomi yang nanti tentu akan pulih. Dengan ini lenyaplah
"momok" seperti yang dibuat oleh Java Bode, tanggal 30 Juni.
Akibat politik pengajaran Belanda di
sana-sini kelak akan kita ulas lagi. Di sini kita ingin memastikan, dengan
angka-angka, bahwa perguruan rendah, menengah dan tinggi, semenjak dulu tidak
cukup untuk rakyat yang berjumlah 55 juta. Hal itu harus diakui tanpa
mengindahkan alasan kosong dari yang menyebut dirinya "pemerintah".
Kita lewati sepintas lalu sekolah-sekolah
tinggi yang sudah beberapa tahun, katanya, mengeluarkan berpuluh-puluh dokter,
mister, dan insinyur. Kita tujukan pembicaraan sebentar kepada soal sekolah
rendah. Jumlah anakanak yang harus masuk sekolah pada tahun 1919 adalah sebagai
berikut: H.I.S. 1%, Sekolah Rakyat 5%, Sekolah Desa 8% sampai 14%. Lebih kurang
86% anak-anak yang seharusnya bersekolah tak mendapat tempat (menurut laporan
kongres N.I.O.G. tahun 1923 yang diumumkan dalam Indische Courant).
Mereka yang bisa membaca dan menulis sekarang ditaksir 5% sampai 6%, mungkin
juga 2% sampai 3%.
Jumlah belanja perguruan di tahun 1919
menurut kabar yang sah adalah f 20,000,000 dan f 75,000,000 untuk 150,000 orang
anak-anak Eropa dan f 12,500,000 untuk anak-anak dari 55,000,000 tukang bayar
pajak rakyat Indonesia. Pada tahun 1923 belanja perguruan itu f 34.452.000.
Jadi, untuk seorang anak bumiputra pada waktu itu dikeluarkan 30 sen, sama
artinya 1/7 dari yang dikeluarkan untuk anak Filipina.
Untuk badan-badan lain, yang
memperlihatkan contoh yang baik kepada rakyat yang tak senang, seperti polisi,
militer dan armada, pada tahun itu dikeluarkan belanja sebesar f 156,274,000.
Tambahan pula seperti yang sudah dimufakati antara dia sama dia, di lain tahun
akan dibelanjakan f 300,000,000. Satu beban yang berat sekali di atas bahu si
Kromo yang merana itu.
Kita, kaum revolusioner, pada tahun 1921
bermaksud untuk memperbaiki keteledoran pemerintah dalam pendidikan itu dengan
mendirikan sekolah-sekolah sendiri. Dengan menempuh pelbagai macam kesusahan,
seperti kesulitan teknis, kepegawaian, keuangan, politik dan polisi, akhirnya
dapat kita dirikan di seluruh Jawa 52 buah sekolah dengan kira-kira 50,000
orang murid dan jumlah itu bertambah banyak. Akan tetapi, sekolah itu digencet
dengan kekerasan. Dengan alasan yang tak cukup setiap waktu guru-guru di
sekolah itu dilarang mengajar, dan orangtua murid-murid ditakut-takuti. Pukulan
penghabisan dijatuhkan Serikat Hijau (sebuah kumpulan penyamun yang dikerahkan,
diupah dan dipimpin oleh pemerintah dan orang-orangnya). Penyamun upahan ini
disuruh membakar sekolah, menakut-nakuti dan menganiaya orang, murid dan
guru-gurunya. Dan perintah dijalankan oleh mereka dengan sungguh-sungguh.
Sebuah pergerakan rakyat yang sehat menuju
ke pemberantasan buta huruf yang dipimpin dengan gembira dan tak memandang
susah payah oleh kaum revolusioner di Priangan pada tahun 1922 ditimpa nasib
yang seburuk itu pula.
Politik pemerintah ini dalam soal
pengajaran boleh disimpulkan dengan perkataan: "bangsa Indonesia, harus
tetap bodoh supaya ketenteraman dan keamanan umum ter pelihara" .
3. Kelaliman dan Perbudakan
Meski sudah 300 tahun Indonesia berkenalan
dengan peradaban Barat, masih saja rakyat kita hidup di dalam keadaan yang tak
mengenal atau mempunyai hak. Pak tani tak pernah sehari juga mendapat kepastian
tentang kepemilikan, kemerdekaan bahkan nyawanya sekalipun. Setiap tahun skrup
pajak rakyat semakin keras putarannya. Kaum buruh tidak boleh mengadakan
perhimpunan atau mengemukakan keberatannya. Permohonan rakyat yang pantas tidak
didengarkan. Pendidikan dan pemimpin rakyat yang dipercayai rakyat dicap dan
diperlakukan seperti penghasut dan bandit, dan karena itu, dengan tidak
diperiksa terlebih dahulu, dimasukkan ke dalam penjara, disekap di kamar tikus,
dihalau keluar negeri atau diketok kepalanya sampai mati. Permintaan dan protes
yang beralasan dimusnahkan oleh birokrasi yang rupanya lebih suka tenggelam
dalam kebusukannya sendiri.
Sekarang marilah kita persilakan Prof. Van
Vollenhoyen yang termashur itu berbicara dan mencela sikap pemerintah Belanda,
seperti yang tertulis dalam buku beliau Indonesier en zijn Grond.
Indonesia boleh jadi mempunyai tidak kurang dari 70% penduduk yang hidup dari
pertanian; dan karena itulah, maka penting bagi seorang terpelajar — yang
kehormatan dan kedudukannya belum pernah dicurangi orang — supaya mendengar
apakah yang sudah diperbuat terhadap si tani dalam beberapa tahun oleh sebuah
kekuasaan yang mengaku dirinya sebagai "pengasuh rakyat" serta merasa
berbuat serupa itu.
Kita bukan hendak mengorek-orek yang sudah
terjadi maka lebih dulu diperbincangkan kejadian-kejadian semenjak 60 tahun
dari abad yang silam. Siapa saja tentu tahu dan membenarkan perkataan bahwa di
tahun-tahun itu "orang Jawa dianiaya". Akan tetapi tidak semua orang
dengan lekas melihat macam apa dan sampai ke mana batas penggencetan atas milik
kaum tani itu. Untuk mengetahui hal ini, tak usah kita baca buku-buku kelaliman
pemerintah Belanda ini sebagai "kaum penghasut dan penyebar
kebencian", tetapi kita ambil saja perslahannya sendiri.
Kesewenang-wenangan Daendels, biar
bagaimana busuknya, masih dapat dianggap luar biasa. la mempunyai kekuasaan
sendiri atas sawah dan ladang rakyat untuk menggaji pegawai bumiputra (hlm. 12
dan dll).
Seterusnya van Vollenhoven berkata:
"dibandingkan dengan peratusan raja-raja Jawa yang hampir sama busuk
dengan kebiasaan kita, "masih terbatas" dalam kerajaannya saja, Kedu,
Yogyakarta dan Surakarta, tetapi kita meluaskannya sampai meliputi seluruh
pulau itu" (hlm. 16).
Pegawai-pegawai desa mengambil suatu
kepunyaan rakyat yang baik untuknya dan diberikannya yang buruk kepada rakyat
yang bodoh. Semua itu perbuatan sewenang-wenang (hlm. 17).
"Apakah yang kita harapkan sekarang?”
tanya van Vollenhoven seterusnya. Apakah kita berangsur-angsur akan
menghentikan kerewelan perkara sawah ladang karma pajak tanah (ini sudah
terjadi). Apakah kita berang,sur-angsur tidak lagi akan mengambil sawah ladang
dan kebun paksaan rakyat (ini sudah terjadi). Apakah kita akan mengurangi dan
menghapuskan akibat yang merugikan dari kerja paksa atas tanah-tanah kepunyaan
rakyat (ini sudah terjadi). Dan selanjutnya kita belajar mendiamkan tangan kita
yang gatal itu. Yang belakangan ini belum terjadi (hlm. 20).
Bila pada tahun 1919 seorang Jawa yang
haknya atas tanahnya dirugikan f 1,000 datang mengadukan halnya kepada
kontrolir, ia akan dihukum delapan hari kerja paksa. Bila ia menghadap Presiden
Pengadilan Negeri, ia akan dijawab, "Tidak ada waktu!" dan bila orang
itu pergi minta perlindungan Wali Negeri, "Sri Paduka Tuan Besar tidak
berkenan menjawab". Dalam bahasa Belanda yang agak halus disebut hal itu
"godsgeklaagd" (hlm. 26).
Seringkali terjadi di tengah-tengah sebidang tanah yang akan diberikan pemerintah kepada tuan-tuan besar kebun ada sawah atau ladang bumiputra. Menurut undang-undang, tanah itu tidak boleh diambil kecuali jika untuk keperluan pemerintah sendiri. Akan tetapi dalam praktiknya orang berikhtiar membujuk si inlander supaya mau menukar haknya dengan uang (hlm. 26).
Seringkali terjadi di tengah-tengah sebidang tanah yang akan diberikan pemerintah kepada tuan-tuan besar kebun ada sawah atau ladang bumiputra. Menurut undang-undang, tanah itu tidak boleh diambil kecuali jika untuk keperluan pemerintah sendiri. Akan tetapi dalam praktiknya orang berikhtiar membujuk si inlander supaya mau menukar haknya dengan uang (hlm. 26).
Berikut ini adalah kesimpulan dari Prof.
van. Vollenhoven yang tak dapat dicela kebenaran dan kenyataannya itu.
"Tetapi rupanya inilah yang
sepenting-pentingnya orang Indonesia yang punya tanah sendiri, sungguh sangat
susah akan mempunyai perasaan selain dari pelanggaran terus menerus; dusta dan
penipuan atas hak tanahnya yang sah di atas kertas, sebagai daya upaya yang tak
habis-habisnya untuk merampasi haknya tadi atau berdaya upaya supaya ia jangan dapat
mempergunakannya" (hlm. 28).
Kita masih dapat mengutip beberapa gugatan
dan kesimpulan van Vollenhoven yang berkenaan dengan penipuan atas tanah dengan
jalan mengubah kalimat undang-undang, dengan merusak dan melanggar
undang-undang itu sendiri dan tentang sebab-sebab pemberontakan di Sumatera,
Borneo, yakni pencurian tanah. Akan tetapi, kutipan tersebut di atas sudah
memadai.
Dan tidakkah semua kenaikan pajak sekarang
itu adalah suatu kesewenang-wenangan yang kasar jika kita menggunakan perkataan
Prof. van Vallenhoven itu sendiri? Adakah rakyat kita diberitahu waktu
pemerintah mengambil suatu keputusan dan memperbincangkan kepemilikan,
pekerjaan dan kemerdekaan kita?
Tidak pernah! Persis sebagaimana
pemerintah tidak pernah bertanya kepada kita, "Apakah kita menyukainya
atau tidak?". Bangsa
Indonesia yang 55 juta itu tidak mempunyai wakil seorang jua pun dalam
pemerintahan ini yang boleh memperdengarkan suara atau nasihat, protes atau
celaan. Gerombolan militeris dan birokrasi yang menghisap darah dan menguasai
nasib kita, tak pernah kita sukai dan kita pilih. Mereka tak dapat kita
hentikan sebab kita tak punya kekuasaan politik. Mereka ini mesti kita terjang
bila kita tidak suka kepada mereka, lain tidak! Kesimpulannya, sekalian dan
peraturan yang menguasai kita di Indonesia dibuat sesuka hati mereka sendiri
dan pembayaran pajak dalam teori atau praktik, semuanya adalah
"pencurian".
Marilah kita perhatikan nasib 300.000 kuli
kontrak, yang "katanya" dilindungi oleh pemerintah ini. Upah yang
kurang lebih f 12 sebulan sungguh hampir tak cukup untuk membeli pakaian yang
biasanya koyak-koyak, sebab setiap hari dipakai kerja di kebun. Sehari bekerja
14 sampai 18 jam, sebab kebun-kebun tembakau biasanya jauh letaknya dari
pondokan kuli, lebih tepat kandang kuli, meskipun di dalam kontrak hanya
tertulis 10 jam.
Perlakuan pengawas-pengawas kebun bangsa
Eropa lebih tepat digambarkan sebagai penikaman, pembacokan; penganiayaan dan
pembunuhan atas asisten-asisten kebun dan "kehalusan yang diusik-usik
hingga menjad kekejaman!" Di sinilah terjadi pergaulan sosial yang
diracuni oleh judi, candu dan persundalan yang merendahkan tabiat kuli-kuli dan
menyebabkan mereka banyak berutang kepada majikannya, hingga kontrak mereka
terpaksa selamanya diperbaharui.
Syarat-syarat kerja seperti itu — langsung
atau tidak — dipikulkan di atas kaum tani yang kebanyakan buta huruf dan dungu;
mereka ditekan dalam satu "kontrak" yang diakui oleh pemerintah.
Dalam kontrak itu disebutkan mereka "tak boleh berorganisasi dan
mogok" — yang dengan jalan itu mereka dapat menagih upah dan syarat-syarat
kerja yang sedikit mendingan seperti di negeri-negeri lain. Hal itu diakui oleh
pemerintah. Sungguh hal itu hanya dapat dipertahankan oleh "saudagar
budak" di zaman biadab.
Marilah kita ingat kejahatan-kejahatan
yang dilakukan di Deli. Marilah kita ingat penganiayaan baru-baru ini yang
dilakukan oleh orang-orang Eropa di Lampung dan Sumatera Selatan, yaitu
kejahatan yang dianggap sebagai dongeng saja di abad. Bahkan lebih dari
dongeng, yaitu ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh pemerintah atas
"bajingan-bajingan" Eropa itu.
Kaum buruh industri, perkebunan dan
pengangkutan yang beratus ribu atau beberapa juta di Jawa dan lainnya, yang
diperbudak tidak dengan kontrak, yang katanya "buruh merdeka", bernasib
tak lebih baik daripada budak kontrak asli. Satu per satu kakinya diikat dengan
rantai aturan, hingga tak dapat berorganisasi dan berjuang melawan kapitalis
yang sewenang-wenang. Di dalam Dewan Rakyat, Majelis Tinggi dan Rendah, dan
surat-surat kabar yang berlain-lainan tujuan itu, telah berulang-ulang
diperbincangkan hak organisasi dan hak mogok dari kaum buruh Indonesia! Tak
perlu kita ulang lagi di sini, atau kita uraikan hukum-hukum paksa itu. Sekali
lagi dikatakan undang-undang itu bukanlah menurut perasaan modern, tetapi
aturan paksa yang dihadapkan oleh segerombolan kaum birokrat kepada buruh
Indonesia, buat pengikat segala daya upaya mereka menuju perbaikan nasib.
Semua undang-undang yang dijalankan itu
menyebabkan kita teringat kepada zaman biadab dan perbudakan yang gelap. Begitu
banyak undang-undang paksa terhadap politik gerakan sehingga tak dapat kita
terus-terang mengatakan atau menulis sesuatu mengenai si penjajah atau yang
dapat membukakan mata rakyat yang terbelenggu ini.
Rakyat Indonesia mesti menutup mulutnya
jika terjadi penganiayaan atas diri pemimpin-pemimpin yang mereka percayai dan
kasihi, juga apabila dengan sengaja para pemimpin dirampas beberapa bulan
kemerdekaannya atau tanpa diperiksa lebih dulu terus dibuang sebab dianggap
berbahaya atau secara khianat ditikam, dibacok, diketok kepalanya sampai mati,
atau dicabut nyawanya dengan peluru.
Bila diceritakan kepada rakyat bahwa
seorang pemimpin yang dicintai, seperti Haji Misbach yang katanya mati
"disebabkan demam hitam" pada satu pembuangan yang ditentukan oleh
pemerintah, mau tidak mau, mereka mesti percaya saja.
Bilamana rakyat mendengar bahwa seorang
pemuda yang terpelajar dan sopan, seperti Soegono kita, pemimpin V.S.T.G yang
katanya "membunuh diri" dalam penjara, sedangkan pada kepala dan
tangannya terdapat bekas-bekas penganiayaan dan sebuah jarinya hancur sama
sekali, rakyat "tak dapat mendakwa", juga tidak boleh mengajukan
protes sama sekali.
Dan pemerintah yang "katanya"
jadi pengasuh dan pelindung rakyat kita, tidak mengadakan pemeriksaan saksama
tentang sebab-sebab kematian yang sekonyong-konyong dari pemimpin rakyat yang
cakap berjuang dengan dada terbuka dan pendek kata dicintai dan dipercayai
rakyat. Dia tidak mempedulikan atau tak punya keberanian moral akan mengakui
dan membetulkan kesalahannya dan menghukum yang bersalah menurut undang-undang Fiat
justitiaruate cellum. (Jalankanlah
keadilan meskipun langit akan runtuh!)
Keadilan di Indonesia hanya bagi
segolongan kecil yaitu si penjajah kulit putih. Bagi bangsa Indonesia yang
berhak atas negeri itu, tak ada keadilan dan pengadilan.