BAB II
IKHTISAR TENTANG RIWAYAT INDONESIA
1. Pengaruh Luar Negeri
Riwayat Indonesia tak mudah dibaca,
apalagi dituliskan. Riwayat negeri kita penuh dengan kesaktian,
dongengan-dongengan, karangan-karangan dan pertentangan. Tak ada seorang jua
ahli riwayat dari Kerajaan Majapahit atau Mataram yang mempunyai persamaan
dengan ahli riwayat bangsa Roma kira-kira di zaman 1400 tahun yang silam,
seperti Tacitus dan Caesar. Kita terpaksa mengakui bahwa kita tak pernah
mengenal ahli riwayat yang jujur.
Paling banter kita cuma mempunyai
tukang-tukang dongeng, penjilat-penjilat raja yang menceritakan pelbagai macam
keindahan dan kegemilangan supaya tertarik hati si pendengar. Tetapi meskipun
demikian ada jugalah batas dari karangan-karangan dan putar-memutar kejadian
yang sesungguhnya. Tak usah terlampau jauh kita langkahi batas itu, niscaya
berjumpalah dengan intisari yang sebenarnya. Demikian jugalah dengan
riwayat-riwayat negeri kita. Di antara kekusutan-kekusutan dalam karangan itu,
terbayanglah kebenaran, tampaklah Kepulauan Indonesia, kerajaan-kerajaan dan
kota-kotanya yang berdiri dan kemudian runtuh, laskar yang berderap-derap,
berperang, kalah dan menang, kekayaan, kesentosaan, dan pasang-surut kebudayaan
dan seterusnya. Tak dapat dipungkiri bahwa di Malaka, Sumatera dan Jawa berdiri
negeri-negeri yang besar. Di Borneo Tengah pun ada satu kerajaan yang agaknya
tak seberapa kurangnya dari Kerajaan Majapahit. Di sana berdiri kota-kota yang
besar penuh dengan gedung dan perhiasan yang indah-indah, sebagaimana yang
dibuktikan oleh barang-barang yang dijumpai di dalam tanah hingga waktu
sekarang.
Dapat pula dipastikan, bahwa Indonesia
belum pernah melangkah keluar dari masyarakat feodalisme, dan bahwa ia jauh
tercecer dari feodalisme di Eropa. Bangsa Yunani jauh lebih tinggi dari bangsa
Indonesia — dalam hal ini Majapahit bila kerajaan ini dianggap sebagai
tingkatan yang setinggi-tingginya — dalam hal pemerintahan negeri, politik,
ilmu hukum dan kebudayaan. Ya, rakyat Majapahit sebenarnya tak pernah mengenal
cita-cita pemerintahan negeri. Berabad-abad pemerintahan itu bukan untuk dan
milik rakyat. Perkataan: "Bagi Tuankulah, ya, Junjunganku, kemerdekaan,
kepunyaan dan nyawa patik," pernah dan berulang-ulang diucapkan rakyat
Indonesia terhadap raja-rajanya!! Di sana tak ada Orachus, Magna Charta dan tak
ada pengetahuan yang diselidiki dengan betul-betul seperti yang dipergunakan
Aristoteles, Pythagoras dan Photomeus. Pengetahuan mendirikan gedung-gedung dan
ilmu obat-obatan kita masih dalam tingkatan percobaan. Keajaiban Borobudur kita
tak seajaib segitiga Pythagoras, sebab yang pertama berarti jalan mati, sedang
yang kedua menuntun manusia menuju pelbagai macam pengetahuan. Di manapun tak
ada jejak (bekas-bekas) pengetahuan serta puncak kecerdasan pikiran!
Biarlah, tak usah kita ceritakan ilmu
kebatinan Timur! Hal ini ada di luar batas pikiran; tambahan lagi bangsa Barat
di Zaman Kegelapan (Abad Pertengahan) pun sudah mengenal itu. Lagi pula,
kebatinan tidaklah bersandarkan kepada kebenaran sedikit jua, bahwa masyarakat
kita senantiasa memperoleh dari luar dan tak pernah mempunyai cita-cita
sendiri. Agama Hindu, Budha dan Islam adalah barang-barang impor, bukan
keluaran negeri sendiri.
Selain itu, cita-cita ini tak begitu subur
tumbuhnya seperti ke-Kristen-an di Eropa Barat. Mesin penggerak segenap
pemasukan agama Hindu, Budha dan Islam sampai kepada masa kedatangan
kapitalisme Belanda, serta semua perang saudara di waktu itu adalah berada di
luar negeri. Indonesia adalah wayangnya senantiasa, dan luar negeri dalangnya.
2. Bangsa Indonesia yang Asli
Di zaman dahulu, tatkala bangsa Indonesia
asli didesak oleh bangsa Tionghoa dan Hindu ke luar negerinya — Hindia-Belakang
— dan melarikan diri ke Nusantara Indonesia, mereka telah mempunyai suatu
peradaban. Pak tani di zaman itu menjelma menjadi bajak laut yang sangat buas
dan ditakuti orang. Dengan Vintas (semacam perahu) kecilnya, mereka mengarungi
seluruh kepulauan antara dua lautan besar, antara Amerika dan Afrika. Penduduk
asli dari India dan Oceania ditaklukannya. Rimba raya hingga puncak gunung
dijadikannya huma. Rumah yang bagus-bagus didirikannya, permainan dan
pengetahuan dimajukannya. Tatkala bangsa Barat dan Timur menyembah kepada
pedang Jengis Khan dan Timurleng serta lari ketakutan, waktu itu mereka bukan
saja menentang, tetapi dapat pula mengundurkan laskar Mongolia. Bajak laut
bernama Pakodato dari Kerajaan Singapura di Semenanjung Tanah Melayu pada tahun
500 dapat menggeletarkan Kerajaan Tiongkok dan Hindustan dengan angkatan armada
serta pedangnya.
3. Pengaruh Hindu
Agaknya hawa tropika di lingkungan
katulistiwalah, yang terutama menyebabkan teknik kita tak maju. Hawa yang subur
dan melemahkan itu, serta sedikitnya penduduk, menjadikan kaum tani yang senang
hidupnya itu, tinggal diam dan menerima, sedangkan kepulauan yang sangat banyak
itu menarik hati penduduk di pantai-pantai, kepada perantauan dan pengalaman.
Menurut riwayat dapat diketahui bahwa, sesudah dibawa pengaruh Hindu,
kebudayaan mereka bertambah naik dan mereka mulai berkenalan dengan perampas.
Kejadian itu berlangsung sesudah bangsa kita bercampur darah dengan
penjajah-penjajah bangsa Hindu. Kini terbayanglah dalam benak kita
kejadian-kejadian yang dapat digambarkan oleh kejadian-kejadian itu, yang
membangkitkan tenaga terpendam itu jadi dinamis. Bukan oleh percaturan hidup
kita sendiri (melawan atau antara kelas-kelas) maka penguraian kita perihal
teknik kebudayaan feodalistis seperti tersebut di atas, tetapi disebabkan
pengaruh yang datang dari luar.
Biarlah kita tinggalkan di sini perihal
peraturan matriarchaat (pusaka turun kepada kemenakan) di Minangkabau yang
berhubungan dengan keadaan alam dan kedudukannya yang terpencil. Dengan
mendirikan demokrasi satu-satunya di Indonesia, kita tinggalkan pula riwayat
Sriwijaya dan kerajaan lain-lain di Pulau Jawa, dengan menunjukkan garis-garis
yang besar saja. Agama bangsa Indonesia, animisme, didesak oleh agama Hindu dan
Budha, demikianlah kata orang kepada kita.
Bangsa yang lebih pintar itu mengajarkan
pemerintahan negeri, teknik kebudayaan yang lebih sempurna. Penduduk Pulau Jawa
yang suka damai itu belum mempunyai pertentangan kelas dalam anti yang
seluas-luasnya. Mereka tidak memberi kesempatan kepada pengikut-pengikut agama
Hindu untuk mempertaruhkan kepercayaan mereka dalam sebuah pertentangan, yakni
Hinduisme yang aristokratis dan Budhisme yang lebih demokratis. Ketajaman
pertentangan agama, oleh masyarakat Jawa yang tidak mengenal kelas itu, dapat
diredam. Sedikit atau banyak, semua filsafat Hindu diterima oleh penduduk Pulau
Jawa yang asli. Siwa, Wisnu, dan dewa-dewa agama Budha yang di negeri asalnya
satu dan lainnya bermusuhan serta berpisah-pisah, hidup bersama di Pulau Jawa
dengan damainya.
Dalam hal yang seperti itu, Islam pun
datang dan akhirnya mengambil kedudukan Hindu dan Budha. Penduduk Jawa sekarang
adalah "kristalisasi" dari bermacam-macam agama ketuhanan dan agama
dewa-dewa (animisme). Ia bukan seorang animis, bukan seorang Hindu, bukan
seorang Budha, bukan seorang Kristen dan bukan seorang Islam yang sejati.
Indonesia menurut alam, tetapi Hindu-Arab dalam pikirannya.
4. Kegundahan (Pesimisme) Empu
Sedah
Di kerajaan Daha yang kokoh lagi termashur
yang diperintah oleh Raja Jayabaya, seorang yang cerdik dan pandai, lagi
bijaksana, ada seorang ahli nujum yang bernama Empu Sedah, yang selalu gundah
karena sangat curiga terhadap pengaruh luar negeri yang makin lama semakin
besar. Dalam tulisannya disebutkan: "Sebuah revolusi di Pulau Jawa akan
timbul, dipimpin oleh orang yang berkulit kuning dan akan memperoleh kemenangan
buat beberapa lama". Dalam perkataan sindirannya tertulis "akan
memerintah seumur jagung".
Tidakkah ramalan itu kemudian terbukti
dengan kemenangan seorang Tionghoa Jawa bernama Mas Garendi yang dalam waktu
yang singkat menggenggam kota Kartasura?
Di masa Empu Sedah, pengaruh bangsa
Tionghoa makin lama bertambah besar. Sudah pada tempatnya bangsa Tionghoa itu
sedapat mungkin mempergunakan bangsawan Jawa sebagai alat untuk memenuhi
kepentingan ekonomi mereka! Bila maksud ini tak berhasil dengan pengaruhnya
itu, adakalanya dengan jalan revolusi mereka mencoba-coba merebut pemerintahan
negeri. Tetapi, supaya mereka dapat tetap memperoleh kemenangan mestilah mereka
lebih kuat atau mendirikan satu kelas. Mereka haruslah menjadi anak negeri atau
bercampur darah dengan bumiputra. Barulah mereka dapat menaklukkan raja dengan
perantaraan kaum tani yang tidak senang itu. Karena bangsa Tionghoa dalam hal
sosial tetap tinggal dalam ke Tionghoaannya dan tak memperoleh bantuan militer
dari tanah air mereka, maka tak lamalah mereka sanggup mempertahankan
kemenangan atas raja-raja Jawa itu.
Rupanya Empu Sedah mengerti betapa
kebencian rakyat dan revolusi yang akan pecah. Sedang kekuatan nasional tak
cukup kuat menahan revolusi sosial tersebut. Itulah yang menimbulkan
kegundahannya. Di Kerajaan Majapahit berdiri beberapa perusahaan batik, genteng
dan kapal dengan kapital yang cukup besar. Dalam beberapa perusahaan bekerja
ribuan kaum buruh. Nahkoda-nahkodanya telah ada yang dengan kapal‑kapalnya
berlayar sampai ke Persia dan Tiongkok. Boleh jadi sungguh besar modalnya,
malah modal orang asing. Saudagar-saudagar yang kaya di bandar-bandar seperti
Ngampel, Gresik, Tuban, Lasem, Demak dan Cirebon agaknya adalah bangsa asing
atau yang sudah bercampur darah dengan orang-orang Jawa.
Nahkoda Dampu-Awang, menurut ceritanya
yang berlebih-lebihan, mempunyai kapal yang layarnya setinggi Gunung Bonang dan
kekayaannya kerapkali dijadikan ibarat, rasanya seorang Tionghoa-Jawa. Satu
statistik di zaman itu tak ada pada kita! Tetapi banyak bangsa yang diam di
Pulau Jawa dapat dibuktikan dengan perkataan seorang pujangga Majapahit,
bernama Prapanca, "Tidak henti-hentinya manusia datang berduyun-duyun dari
bermacam-macam negeri. Dari Hindia-Muka, Kamboja, Tiongkok, Annam, Campa, Karnataka,
Guda dan Siam dengan kapal disertai tidak sedikit saudagar ahli-ahli agama,
ulama dan pendeta Brahma yang ternama, siap datang dijamu dan suka tinggal.”
Sudah tentu, penduduk bandar-bandar yang
makin lama makin maju itu merasa memperoleh rintangan dari kaum bangsawan di
ibukota. Sebagaimana terjadi di negeri Eropa, penduduk bandar meminta hak
politik dan ekonomi lebih banyak. Dari pertentangan antara pesisir dengan
darat, perdagangan dengan pertanian, penduduk dengan pemerintah, timbullah satu
revolusi yang membawa Pulau Jawa ke puncak ekonomi dan pemerintahan.
Bila bandarnya mempunyai industri dan
perdagangan nasional yang kuat, niscaya Jawa akan mengalami satu revolusi
sosial yang dibangkitkan, dipecahkan dan dipimpin satu revolusi sosial yang dibangkitkan,
dipecahkan dan dipimpin oleh tenaga-tenaga nasional seperti terjadi di Eropa
Barat, jadi revolusi borjuis terhadap feodalis.
Tetapi Jawa sesungguhnya dikungkung oleh
ramalan Empu Sedah : "orang asing akan memimpin". Seorang keturunan
Hindu bernama Malik Ibrahim pada tahun 1419, dengan membawa agama yang belum
dikenal orang di Pulau Jawa, datang di Gresik yang ketika itu penduduknya
kebanyakan orang asing. Dengan cepat ia memperoleh pengikut. Jadi boleh
dikatakan, dengan kedatangannya yang membawa agama Islam ketika itu, bumiputra
bagaikan memperoleh "durian runtuh", karena ketika itu sedang
berapi-api pertentangan antara penduduk pesisir dengan ibukota.
Keadaan bertambah kusut, dan pada akhirnya
sampai ke puncaknya, yaitu penyerangan terhadap raja-raja yang dipimpin oleh
seorang Tionghoa-Jawa, bernama Raden Patah. Dengan perbuatannya, Raden Patah
menghancurkan kerajaan yang ada. Hal itu menunjukkan lagi bahwa seorang asing,
dengan membawa paham baru (agama Islam) dan untuk mempertahankan kedudukan
saudagar-saudagar asing di pesisir itu, berhasil menjatuhkan kerajaan bangsawan
setengah Hindu. Kerajaan Demak berdiri dengan kemashurannya! Tetapi akhirnya
terpecah belah oleh perang saudagar yang dinyala-nyalakan oleh orang asing yang
cerdik-jahat.
Jipang bermusuhan dengan Pajang, Demak
dengan Mataram. Semua perang saudara ini, besar atau kecil, untuk kepentingan
bangsa asing, dalam waktu singkat berakhir dengan kemenangan seorang
Tionghoa-Jawa bernama Mas Garendi.
5. Tarunajaya
Sebagaimana di Kerajaan Roma dan Tiongkok,
gundukan pengendali pemerintahan yang tidak mencocoki kebenaran di ibukota
disapu oleh kekuatan baru dari daerah; demikianlah, darah Kerajaan Mataram akan
dibersihkan dan dikuatkan oleh Tarunajaya serta kawan-kawannya.
Seorang putera Indonesia datang dari
Makasar yang mengetahui jiwa (psikologi) rakyat Jawa mendapat pengikut yang
besar, serta berhasil mengalahkan Raja Mataram yang keluar dari garis kebenaran
itu. Pulau Jawa khususnya dan Indonesia umumnya akan mempunyai riwayat lain bila
tidak datang satu kekuasaan baru di Pulau Jawa. Ramalam Empu Sedah yang lain
sekarang seakan-akan terbukti, "Pemerintahan bangsa asing, yaitu kerbau
putih yang bermata seperti mata kucing" (kebo bule siwer matane).
Dengan datangnya kekuasaan Belanda lenyaplah
segala sesuatu yang menyerupai kemerdekaan. Pengaruh bangsa asing dan
percampuran darah dengan bangsa Asia lain-lain menyebabkan gencetan yang
sebuas-buasnya. Sekalian hak-hak ekonomi dan politik "ditelan" bangsa
itu (Belanda) dengan kekerasan dan kecurangan, seperti yang belum pernah
dikenal oleh bangsa Indonesia! Pemerasan yang serendah-rendahnya (kebiadaban)
serta kelaliman menjadi kebiasaan setiap hari!
Tarunajaya tak dapat melawan kekuasaan
Belanda yang memakai senjata asing (Barat). Maka kucing melihat keadaan ini dan
untuk pertama kali dipergunakanlah jalan politik devide et impera,
memecah-belah dan menguasai, yang mashur itu. Sesudah Raja Mataram berjanji
kepada Kompeni Hindia Timur untuk memberikan kekuasaan dan tanah, mulailah
setan-setan itu bekerja.
Panembahan di Madura, seorang kawan dari
Tarunajaya, disumbat oleh Kompeni Hindia Timur dengan mas intan dan perkataan
yang manis-manis hingga mereka dapat bergandengan. Sekarang Tarunajaya berdiri
di antara "tiga api": Belanda, raja dan kawan lamanya. Inilah yang
menyebabkan kalahnya Tarunajaya dengan disaksikan oleh Kompeni Hindia Timur
sendiri!
Kerajaan Mataram yang tak semanggah itu
mendapat "kemenangan" atas sokongan yang tak langsung dari Kompeni,
namun suatu hal yang tak semanggah itu lambat laun akan menjadi kenyataan juga
seperti yang terbukti pada akhirnya.
6. Diponegoro
Jalan raya dari Anyer ke Banyuwangi yang
mesti mempertalikan daerah-daerah yang dirampok itu dibangun oleh Gubernur
Jenderal Daendels dengan cucuran peluh dan taruhan nyawa orang Jawa. Dengan
adanya jalan itu, proses penanaman kapital jadi teratur. Tetapi proses itu
tidak secara sukarela diterima oleh bangsa Indonesia. Ia adalah satu proses
paksaan dan tidak menurut undang-undang alam. Saudagar di bandar-bandar didesak.
Pelayaran dimonopoli oleh Belanda, bumiputra dilarangnya mempunyai hak milik.
Pemasukan katun dari Barat yang murah harganya menghancurkan industri dan
perdagangan, baik yang kecil maupun yang sedang. Borjuasi Jawa atau setengah
Jawa dapat meneruskan langkahnya, yakni perjalanan antara feodalisme menuju
kapitalisme. Akan tetapi, ia diperas sampai kering, oleh kapital Barat dan
perangkatnya; begitulah feodalisme Mataram yang hampir tenggelam itu.
Seorang anak jantan dengan kemauannya yang
keras seperti baja, berpengaruh laksana besi berani, yakni seorang laki-laki
yang di dalam dadanya tersimpan sifat-sifat putera Indonesia sejati, tak
berdaya mengubah nasib yang malang itu. Jika Diponegoro dilahirkan di Barat dan
menempatkan dirinya di muka satu revolusi dengan sanubarinya yang suci itu,
boleh jadi ia akan dapat menyamai sepak terjang Cromwell atau Garibaldi. Tetapi
ia "menolong perahu yang bocor", kelas yang akan lenyap.
Perbuatan-perbuatannya, meskipun penuh dengan kesatriaan, dalam pandangan
ekonomi adalah kontra-revolusioner. Dan sangat susah dipastikan, macam apakah
Diponegoro dalam pandangan politik, sebab tak dapat disangkal lagi bahwa
cita-citanya adalah "Singgasana Kerajaan Mataram". Satu kekuasaan
yang mudah berubah menjadi kelaliman.
Diponegoro menunjang kesuburan modal serta
perluasan jalan. Karena itu, ia menghalang-halangi kenaikan penghasilan atau
secara ekonomi, kontrarevolusioner. Tak pernah kita baca bahwa ia menentang
kapital-imperialistis dengan menghidupkan kapital nasional. Pendeknya, ia tidak
mempunyai program politik atau ekonomi. Ia merasa didesak oleh kekuasaan baru
dan setelah dia lihat bahwa kekuasaan baru itu mempergunakan kekuasaan Mataram
yang bobrok itu sebagai alat, maka kedua musuh itu pun diterjangnya.
Sekiranya Pulau Jawa mempunyai borjuasi
nasional yang revolusioner, Diponegoro dalam perjuangannya melawan Mataram dan
Kompeni pastilah berdiri di sisi borjuasi itu. Dengan begitu niscaya dapatlah
tercipta suatu perbuatan yang mulia dan pasti. Tetapi itu tak ada, borjuasi
yang berbau keislaman dalam lapangan ekonomi dihancurkan oleh kapital Belanda
sama sekali. Dalam kekecewaan yang hebat terhadap Mataram dan Kompeni, dapatlah
ia mempersatukan diri di bawah pimpinan Kyai Mojo, seorang ahli agama Islam
yang fanatik dan bersemboyan "Perang Sabilullah", bukan kebangsaan.
Menarik satu kesimpulan terhadap
pemberontakan Diponegoro bukanlah satu pekerjaan yang mudah. Karena hal ini
sesungguhnya perjuangan kaum borjuasi Islam Jawa menentang kapital Barat yang
disokong oleh satu kerajaan yang hampir tenggelam (Mataram).
Akibatnya sungguh jelas. Tak ada seorang
pun mampu, bagaimanapun pintarnya, menolong satu kelas yang lemah, baik teknik
maupun ekonomis melawan satu kelas yang makin lama makin kuat.
Satu kelas baru mesti didirikan di
Indonesia untuk melawan imperialisme Barat yang modern. Apakah kesimpulan dari
riwayat-riwayat yang tersebut di atas? Pertama, bahwa riwayat kita
ialah riwayat Hindu atau setengah Hindu; kedua bahwa perasaan sebagai
kemegahan nasional jauh dari tempatnya; dan yang penghabisan, bahwa
setiap pikiran yang mencitakan pembangunan (renaissance) samalah
artinya dengan menggali aristokratisme dan penjajahan bangsa Hindu dan setengah
Hindu yang sudah terkubur itu. Bangsa Indonesia yang sejati dari dulu hingga sekarang
masih tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari
perampok-perampok asing.
Kebangsaan Indonesia yang sejati tidak ada
kecuali ada niat membebaskan bangsa Indonesia yang belum pernah merdeka itu. Bangsa
Indonesia yang sejati belum mempunyai riwayat sendiri selain perbudakan. Riwayat
bangsa Indonesia baru dimulai jika mereka terlepas dari tindasan kaum
imperialis.
No comments:
Post a Comment