Selamat Datang, Senang bisa Berbagi, Semoga Bermanfaat

Friday, 14 December 2012

TIPOLOGI KERUKUNAN HIDUP ANTAR ETNIS




TIPOLOGI KERUKUNAN HIDUP ANTAR ETNIS
(Studi di Kabupaten Lampung Selatan)




(Skripsi)



Oleh
DENI AFERO




 
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012




 







I. PENDAHULUAN




1.1         Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa periode damai dan toleransi di antara umat Muslim, Kristen dan Yahudi pernah ada selama lima abad pertama kemunculan Islam. Terlepas dari penolakan Yahudi dan Kristen terhadap kenabian Muhammad SAW di Mekkah dari tahun 612 M, dan ketegangan ataupun permusuhan yang terjadi di antara pengikut Muhammad dengan kedua agama selain Islam pada masa itu, Rasulullah tetap teguh dalam menyebarluaskan prinsip-prinsip toleransi (Amin Saikal 2006: 78). Inilah yang harus dicermati ketika kita mencoba mengimani suatu agama dengan penuh kesadaran, akan tetapi tidak dibutakan dengan kefanatikan palsu yang menyimpang dari kodrad agama itu sendiri.

Agama-agama yang hadir dan menjadi jawaban disetiap persoalan umat pada saat itu yang kemudian diimani oleh umatnya, merupakan sebuah keadaan psikologis manusia yang ingin hidup tenang dan bersahaja. Dalam kenyataannya manusia menghadapi adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing. Bahkan tidak hanya itu pada dimensi yang lain dapat dijumpai orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan.

Semua agama pada akhirnya menuju pada usaha untuk  menciptakan kebaikan manusia,  baik di dunia maupun akhirat. Jika hal itu dianggap sebagai misi (mission) agama, maka agama manapun juga seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha tidak akan menimbulkan persoalan bila agama adalah iman secara pribadi, maka tidak akan terjadi konflik. Tetapi sayangnya agama tidak sesederhana itu. Karena menjalankan misi iman ini, diperlukan suatu aparat, suatu kendaraan, suatu organisasi. Dengan demikian organisasi agama menjadi sebuah kebutuhan.

Secara umum, kehidupan dan pergaulan umat beragama tampil rukun akan tetapi hal ini bukan berarti tidak pernah terjadi ketegangan, dan dewasa ini beberapa daerah di Indonesia sangat sering terjadi konflik baik itu antar suku atau agama, yang disebebkan perbedaan-perbedaan kecil, dan perbedaan kecil tersebut menjadi masalah dan akhirnya sulit untuk dikendalikan.

Sangat wajar ketika ketegangan dan persinggungan terjadi dalam suatu masyarakat yang beragam, sebab bagaimanapun juga dalam masyarakat majemuk mesti terdapat persaingan dan justru dalam persaingan tersebut terdapat dinamika yang membentuk kedewasaan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang muncul.

Kemajemukan pada masyarakat multi etnis merupakan kunci dalam kemajuan daerah tersebut, itu dikarenakan perbedaan etnis justru memangun nilai gotong royong dalam masyarakat guna terbinanya nilai kekeluargaan dalam masyarakat yang penuh perbedaan. Dalam beberapa hal memang agama dan etnis sangat berbeda yang satu dengan yang lain, namun perbedaan tersebut bukanlah jurang yang membentuk skat pembatas nilai kerukunan.

Dalam beberapa etnis atau budaya, ada yang mencampur-baurkan nilai agama dengan nilai budaya, sebagai contoh sederhana, masyarakat etnis Jawa Abangan yang masih kental akan nilai agama yang menyatu dengan kepercayaan dalam budaya mereka. Selain itu juga, etnis Bali yang masih menyatukan nilai agama dengan budaya dan hampir tidak ada batasan diantara keduanya.

Beberapa agama jelas menerangkan perbedaan akan keyakinan dengan ketauhidan, keyakinan merupakan kepercayaan yang berkembang dalam budaya di masyarakat, bahkan jauh sebelum pendahulu mereka mengenal agama. Sedangkan ketauhidan merupakan ajaran yang diusung dalam agama dan di wujudkan dalam bentuk pengabdian atau penyembahan kepada sang Kuasa pencipta alam dan menguasai seluruh isinya, tanpa mempersekutukannya dengan makhluk lain.

Perbedaan etnis merupakan kekayaan masyarakat indonesia, karenanyalah kita bisa mengenal perbedaan dan membuka pikiran kita dalam perspektif yang lebih luas tanpa harus kita pergi dari lingkungan tempat tinggal kita. Selain itu juga masyarakat yang multi etnis  akan membuat etnis mereka secara internal lebih baik dan berkembang tanpa terkungkung oleh zaman yang terus berkembang.

Jadi jelaslah yang bersaing bukan misi agama atau etnis itu sendiri, melainkan organisasinya. Organisasi itu bersifat badan atau fisik, sedangkan misi itu bersifat rohaniah. Banyak pertentangan antara agama didasarkan pada aspek organisasi itu, yakni usaha mencari pengikut yang pada akhirnya selalu berhubungan dengan usaha mencari dana. Maka, terjadilah konflik agama dan antar etnis yang berbeda. Menurut Burhanudin dkk (1998), dalam hubungan antar dan intra umat beragama, pertentangan terjadi bila sumber daya manusia atau pengikut agama tertentu merasa akan diambil oleh kelompok yang lain.

Menurut Jaumin Ma’Arif (2004), kasus konflik antar aliran ini umumnya dililit oleh bias kepentingan. Lebih jauh ia mengatakan, masalah yang dipersoalkan melebar dan lebih condong kepada kepentingan politik. Ia menegaskan bahwa konflik antar agama di Indonesia umumnya hanya bermula dari masalah yang sangat sederhana, yaitu fanatisme yang seharusnya hanya berlaku internal itu memasuki wilayah relasi sosial.

Setiap agama memiliki konsep kerukunan dan setiap agama juga mengajarkan pada umatnya untuk saling menjaga satu sama lainnya. Dalam Al-kitab disebutkan “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya jika saudara-saudara diam bersama dengan rukun” (Mazmur 133: 1). Dalam pasal lainpun disebutkan, ialah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Markus 123: 31).

Dari pernyataan Al-kitab tampak jelas bahwa  agama Kristen mengajarkan hidup rukun, saling menjaga dan saling mengasihi antar umat manusia. Islam juga mengajarkan pada umatnya untuk saling mengenal. Seperti dalam Al Qur’an Surat Al Hujurat (ayat 13) yang artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”. Dalam hubungan ketetanggan, perbedaan agama tidak menjadi kendala untuk tetap hidup rukun berdampingan.

Mereka berbeda agama tetapi dalam ketetanggaan tetap bersatu, tolong menolong, dan bantu-membantu terutama antar tetangga dekat. Apabila tetangga berbeda agama mempunyai hajat membantu pelaksanaannya, tetangga sakit menjenguknya, tetangga dapat musibah umpamanya ada anggota keluarganya meninggal, tetangga dekat datang dan membantu menyiapkan tempat dan membantu dalam proses penguburannya. Dengan kata lain perbedaan agama dalam ketetanggaan tidak menimbulkan suasana yang tidak rukun, melainkan sebaliknya sekalipun berbeda agama hubungan ketetanggaan mereka tetap rukun.

Dalam terminologi yang digunakan oleh pemerintah secara resmi, konsep kerukunan hidup beragama mencakup tiga kerukunan, yaitu, (1) kerukunan intern umat beragama, merupakan kondisi rukun dalam satu agama, (2) kerukunan antar umat beragama, merupakan kondisi rukun umat yang berbeda agama, (3) kerukunan antara pemuka umat beragama dengan pemerintah, kondisi rukun dalam hubungan antar kelembagaan, lembaga majelis-majelis agama dengan pemerintah. Tiga kerukunan tersebut biasa disebut dengan istilah Tri Kerukunan (Anne Ahira, 2010). Dalam skripsi ini kerukunan hidup beragama hanya dibatasi pada kerukunan hidup beragama yang kedua, yaitu kerukunan hidup antar umat beragama.

Kerukunan antar umat beragama tidak akan mungkin terlahir dari sikap fanatisme dan sikap tak peduli atas hak dan perasaan orang lain. Sebab, hal ini akan menimbulkan kekacauan dan akan merusak nilai agama itu sendiri. Kerukunan umat beragama hanya akan  bisa dicapai apabila masing-masing golongan agama bersikap lapang dada satu sama lain. Maka bukan semangat untuk menang sendiri yang perlu dikembangkan, melainkan sikap menerima dalam perbedaan.

Menurut Amirulloh Syarbini dkk (2011: 60), manusia adalah makhluk yang paling mulia di dunia. Dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah lainnya manusia memiliki kelebihan dengan akal dan pikirannya. Manusia dapat membedakan yang hak dengan yang batil, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan. Namun demikian, kelebihan yang dimiliki manusia terkadang menjadikan manusia cenderung ekploitatif terhadap yang lainnya. Bahkan dengan sistematik melakukan perusakan alam yang semestinya dijaga dan dimanfaatkan.

Menurut Ioanes Rakhmat (2011)  sebagai pemerhati perkembangan sains yang aktif dalam kegiatan pengkajian hubungan antar umat beragama, dari antara umat-umat beragama yang berbeda-beda yang ada di Indonesia, Muslim dan Kristen adalah dua kalangan yang paling kental dan paling terang-terangan mendesakkan keyakinan-keyakinan keagamaan mereka kepada masyarakat. Sudah banyak pemerintah berbagai provinsi/kabupaten di Indonesia memberlakukan syariah Islam sebagai landasan pemerintahan. Akibatnya, hukum positif yang berlaku secara nasional dan mengikat bangsa dan negara diabaikan atau disingkirkan, sementara pemerintah pusat di Jakarta mendiamkan saja.

Perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dan pengaruh agama-agama yang ada dan berkembang di Indonesia. Dengan datangnya agama Hindu disusul Budha juga Islam yang kemudian Kristen baik itu Protestan maupun Katolik, dan juga bersamaan datangnya bangsa China yang kebanyakan beragama Konghucu, maka agama tersebut ikut memperkaya dunia keagamaan di Indonesia. Kenyataan hidup dan berkembangnya berbagai agama tersebut menambah corak kemajemukan bangsa Indonesia, dan kemajemukan tersebut menjadi sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari.

Oleh karenanya, hidup di dalam kemajemukan merupakan proses dari kemajemukan, baik aktif maupun pasif menjadi kepercayaan yang menyusup ke dalam setiap sendi-sendi kehidupan manusia, tak terkecuali juga dalam hal kepercayaan (agama).  Menurut Amirulloh Syarbini dkk (2011: 54), ketika agama telah memasuki ranah ideologi, maka ketika itu agama telah menjadi bagian dari kebenaran yang harus dipertahankan dan diperjuangkan dengan berbagai cara, termasuk cara yang hakikatnya  “melawan” teks agama itu sendiri.

Menurut Haidlor Ali Ahmad (2010: 185), bangsa Indonesia hidup dalam masyarakat majemuk, masyarakat serba ganda, ganda kepercayaannya, kebudayaannya, dan agamanya. Kemajemukan itu dapat menimbulkan disintegrasi sosial yang dapat mengganggu persatuan dan kesatuan. Sementara hal tersebut sangat dibutuhkan untuk mewujudkan stabilitas yang sehat dan dinamis guna terlaksananya pembangunan nasional. Pasca amandemen UUD 1945, jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan semakin kuat dengan dirumuskannya pasal 28E.

Terdapat banyak keanekaragaman agama dan budaya daerah di Indonesia, dimana masyarakat memeluk lebih dari satu agama, dapat disaksikan bukan hanya kehidupan yang penuh toleransi dalam wujud sikap saling menghormati dan sikap saling tenggang rasa, melainkan juga tolong menolong dalam kegiatan yang bertalian dengan agama seperti pembangunan tempat-tempat ibadah. Apalagi dalam bidang-bidang kehidupan bahkan tidak jarang ditemui satu keluarga dari anggota-anggota mungkin istri atau suami  mungkin satu atau beberapa anak yang berbeda agama. Sedangkan dalam pergaulan sehari-hari orang tidak begitu mempersoalkan keagamaan seseorang.

Salah satu perkembangan yang penting dewasa ini adalah bahwa masing-masing umat beragama mempunyai semacam puncak organisasi, setidak-tidaknya berdiri di atas kelompok umatnya. Umat Islam mempunyai “Majelis Ulama Indonesia”, Kristen mempunyai “Dewan Gereja-Gereja Indonesia”, umat Katolik mempunyai “Majelis Agung Wali Gereja Indonesia”, umat Hindu mempunyai “Parisada Hindu Dharma”, umat Budha mempunyai “Majelis Agung Agama Budha Indonesia”.

Dalam masyarakat Indonesia, dapat ditemukan keanekaragaman lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga-lembaga yang dibangun negara, yang bertujuan untuk membangun suatu kehidupan yang rukun antar umat beragama di Indonesia, yang bertahan langgeng dan untuk jangka panjang ke depan. Dengan dibentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang menjembatani kerukunan antar umat beragama dan menjadi lembaga yang membantu pemerintah dalam hal pembangunan yang bersifat peribadatan (Ikhlas Beramal, 2010).

Kabupaten Lampung Selatan dapat dijadikan cermin kehidupan bagi daerah-daerah memiliki konflik agama atau etnis yang berkepanjangan tanpa ada titik temu perdamaian, seperti banyak terjadi di daerah-daerah yang ada di Indonesia, dan untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan dengan membentuk forum-forum dialog yang sifatnya terbuka untuk warga masyarakat. Seperti pertemuan yang dihadiri oleh kepala-kepala dusun dan sesepuh untuk membicarakan masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitar melalui forum kerukunan umat beragama.

Kabupaten Lampung Selatan memiliki 17 (tujuh belas) kecamatan dan sedikitnya 251 (dua ratus limapuluh satu) desa di dalamnya juga 31 (tiga puluh satu) pulau mengelilinginya, diseluruh kecamatan mempunyai keanekaragaman agama dan etnis yang berkembang pasca kolonisasi pertama pada tahun 1905 ketika pemerintahan kolonial belanda baik itu secara kelompok, spontan ataupun sisipan dan transmigrasi pertama pada tahun 1948 setelah negara merdeka dari penjajahan jepang (BPS Lam-sel 2011).

Way Panji adalah salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Lampung Selatan, dan merupakan salah satu kecamatan yang di dalamnya terdapat berbagai corak kehidupan, baik itu agama atau etnis dan budaya. Ada beberapa desa yang di dalamnya terdapat berbagai agama seperti Agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Hindu.

Kecamatan Kalianda merupakan daerah yang ketika kekuasaan dikendalikan oleh kolonial Belanda adalah wilayah yang dipergunakan untuk kolonisasi pertama dengan metode sisipan, yaitu pendatang di campur oleh masyarakat pribumi di daerah tersebut. Metode ini sangat efektif, dimana masyarakat pendatang dengan cepat membaur denga masyarakat pribumi tanpa terpatok oleh budaya yang sudah melekat sebagai identitas  mereka.

1.2         Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah, yang telah dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.2.1   Bagaimana realitas kerukunan hidup  antara etnis Bali dengan etnis non-Bali di Kabupaten Lampung Selatan?
1.2.2   Faktor-faktor apa saja yang memicu kerusuhan antar etnis terus berulang di Kabupaten Lampung Selatan?

1.3         Tujuan Penelitian
1.3.1   Ingin mengetahui realitas kerukunan hidup antara etnis Bali dengan etnis non-Bali di Kabupaten Lampung Selatan.
1.3.2   Ingin mengetahui faktor-faktor yang memicu kerusuhan antar etnis terus berulang di Kabupaten Lampung Selatan.

1.4         Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas maka penelitian ini diharapkan dapat:
1.4.1   Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi empiris dan pengetahuan seputar kerukunan hidup dalam masyarakat yang majemuk, yang pada dewasa ini menjadi perhatian serius. Secara akademis penelitian ini nantinya bisa dijadikan referensi bagi proses penelitian selanjutnya.
1.4.2   Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan/referensi tambahan, bagi masyarakat mampu secara tepat memposisikan realitas keanekaragaman suku, agama, dan budaya di kecamatan Way Panji dan dapat diketahui dampak positif jika masyarakat majemuk lebih menjunjung tinggi perbedaan.

No comments: