TIPOLOGI
KERUKUNAN HIDUP ANTAR ETNIS
(Studi di Kabupaten Lampung Selatan)
(Skripsi)
Oleh
DENI AFERO
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN
ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Tidak
diragukan lagi bahwa periode damai dan toleransi di
antara umat Muslim, Kristen dan Yahudi pernah ada selama lima abad pertama kemunculan Islam. Terlepas dari
penolakan Yahudi
dan Kristen
terhadap kenabian Muhammad SAW di Mekkah dari tahun 612 M, dan ketegangan ataupun permusuhan
yang terjadi di antara
pengikut Muhammad dengan kedua agama selain Islam pada masa itu, Rasulullah tetap teguh dalam
menyebarluaskan prinsip-prinsip toleransi
(Amin Saikal 2006: 78). Inilah yang harus dicermati ketika kita mencoba
mengimani suatu agama dengan penuh kesadaran, akan tetapi tidak dibutakan
dengan kefanatikan palsu yang menyimpang dari kodrad agama itu sendiri.
Agama-agama
yang hadir dan menjadi jawaban disetiap persoalan umat pada saat itu yang
kemudian diimani oleh umatnya, merupakan sebuah keadaan psikologis manusia yang
ingin hidup tenang dan bersahaja. Dalam kenyataannya manusia menghadapi adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing. Bahkan tidak hanya itu
pada dimensi yang lain dapat dijumpai orang yang tidak beragama atau tidak
bertuhan.
Semua agama
pada akhirnya menuju pada usaha untuk
menciptakan kebaikan manusia, baik di dunia
maupun akhirat. Jika hal itu dianggap sebagai misi (mission) agama, maka agama manapun juga seperti Islam, Kristen, Katolik,
Hindu dan
Budha tidak akan menimbulkan persoalan bila agama adalah iman secara pribadi, maka tidak akan terjadi konflik.
Tetapi sayangnya agama tidak sesederhana itu. Karena menjalankan misi iman ini,
diperlukan suatu aparat, suatu kendaraan, suatu organisasi. Dengan demikian
organisasi agama menjadi sebuah kebutuhan.
Secara umum,
kehidupan dan pergaulan umat beragama tampil rukun akan tetapi hal ini bukan
berarti tidak pernah terjadi ketegangan, dan dewasa ini beberapa daerah di Indonesia sangat
sering terjadi konflik baik itu antar suku
atau agama, yang disebebkan perbedaan-perbedaan kecil, dan perbedaan kecil tersebut menjadi
masalah dan akhirnya sulit untuk dikendalikan.
Sangat wajar ketika ketegangan dan persinggungan terjadi dalam
suatu masyarakat yang beragam, sebab bagaimanapun juga dalam masyarakat majemuk
mesti terdapat persaingan dan justru dalam persaingan tersebut terdapat
dinamika yang membentuk kedewasaan dalam
mengatasi persoalan-persoalan yang muncul.
Kemajemukan pada
masyarakat multi etnis merupakan kunci dalam kemajuan daerah tersebut, itu
dikarenakan perbedaan etnis justru memangun nilai gotong royong dalam
masyarakat guna terbinanya nilai kekeluargaan dalam masyarakat yang penuh
perbedaan. Dalam beberapa hal memang agama dan etnis sangat berbeda yang satu
dengan yang lain, namun perbedaan tersebut bukanlah jurang yang membentuk skat
pembatas nilai kerukunan.
Dalam beberapa etnis
atau budaya, ada yang mencampur-baurkan nilai agama dengan nilai budaya,
sebagai contoh sederhana, masyarakat etnis Jawa Abangan yang masih kental akan
nilai agama yang menyatu dengan kepercayaan dalam budaya mereka. Selain itu
juga, etnis Bali yang masih menyatukan nilai agama dengan budaya dan hampir
tidak ada batasan diantara keduanya.
Beberapa agama jelas
menerangkan perbedaan akan keyakinan dengan ketauhidan, keyakinan merupakan
kepercayaan yang berkembang dalam budaya di masyarakat, bahkan jauh sebelum
pendahulu mereka mengenal agama. Sedangkan ketauhidan merupakan ajaran yang
diusung dalam agama dan di wujudkan dalam bentuk pengabdian atau penyembahan
kepada sang Kuasa pencipta alam dan menguasai seluruh isinya, tanpa
mempersekutukannya dengan makhluk lain.
Perbedaan etnis
merupakan kekayaan masyarakat indonesia, karenanyalah kita bisa mengenal
perbedaan dan membuka pikiran kita dalam perspektif yang lebih luas tanpa harus
kita pergi dari lingkungan tempat tinggal kita. Selain itu juga masyarakat yang
multi etnis akan membuat etnis mereka
secara internal lebih baik dan berkembang tanpa terkungkung oleh zaman yang
terus berkembang.
Jadi jelaslah
yang bersaing bukan misi agama atau etnis itu sendiri, melainkan organisasinya. Organisasi itu
bersifat badan atau fisik, sedangkan misi itu bersifat rohaniah. Banyak
pertentangan antara agama didasarkan pada aspek organisasi itu,
yakni usaha mencari pengikut yang pada akhirnya selalu
berhubungan dengan usaha mencari dana. Maka, terjadilah konflik agama
dan antar etnis yang berbeda.
Menurut Burhanudin dkk (1998), dalam hubungan antar dan intra umat beragama,
pertentangan terjadi bila sumber daya manusia atau pengikut agama tertentu
merasa akan diambil oleh kelompok yang lain.
Menurut Jaumin Ma’Arif (2004), kasus konflik antar aliran ini
umumnya dililit oleh bias kepentingan. Lebih jauh ia mengatakan, masalah yang
dipersoalkan melebar dan lebih condong kepada kepentingan politik. Ia
menegaskan bahwa konflik antar agama di Indonesia umumnya hanya bermula dari
masalah yang sangat sederhana, yaitu fanatisme yang seharusnya hanya berlaku
internal itu memasuki wilayah relasi sosial.
Setiap agama
memiliki konsep kerukunan dan setiap agama juga mengajarkan pada umatnya untuk
saling menjaga satu sama lainnya. Dalam Al-kitab disebutkan “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya jika
saudara-saudara diam bersama dengan rukun” (Mazmur 133:
1). Dalam pasal lainpun disebutkan, ialah “Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Markus 123:
31).
Dari
pernyataan Al-kitab
tampak jelas bahwa agama Kristen
mengajarkan hidup rukun, saling menjaga dan saling mengasihi antar umat manusia. Islam
juga mengajarkan pada umatnya untuk saling mengenal.
Seperti dalam Al Qur’an Surat Al Hujurat (ayat 13)
yang artinya: “Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.
Dalam hubungan ketetanggan, perbedaan agama tidak menjadi
kendala untuk tetap hidup rukun berdampingan.
Mereka berbeda
agama tetapi dalam ketetanggaan tetap bersatu, tolong menolong, dan bantu-membantu terutama antar tetangga dekat.
Apabila tetangga berbeda agama mempunyai hajat membantu
pelaksanaannya, tetangga sakit menjenguknya, tetangga dapat musibah umpamanya
ada anggota keluarganya meninggal, tetangga dekat datang dan membantu
menyiapkan tempat dan membantu dalam proses penguburannya. Dengan kata lain perbedaan agama dalam ketetanggaan tidak
menimbulkan suasana yang tidak rukun, melainkan sebaliknya sekalipun berbeda
agama hubungan ketetanggaan mereka tetap rukun.
Dalam
terminologi yang digunakan oleh pemerintah secara resmi, konsep kerukunan hidup
beragama mencakup tiga kerukunan, yaitu, (1) kerukunan intern umat beragama, merupakan kondisi rukun
dalam satu agama, (2) kerukunan antar umat beragama,
merupakan kondisi rukun umat yang berbeda
agama, (3) kerukunan
antara pemuka umat beragama dengan pemerintah,
kondisi rukun dalam hubungan antar kelembagaan, lembaga
majelis-majelis agama dengan pemerintah.
Tiga kerukunan tersebut biasa disebut dengan istilah Tri
Kerukunan (Anne Ahira, 2010). Dalam skripsi ini kerukunan hidup beragama hanya
dibatasi pada kerukunan hidup beragama yang kedua, yaitu kerukunan hidup antar
umat beragama.
Kerukunan
antar umat beragama tidak akan mungkin terlahir dari sikap fanatisme dan sikap
tak peduli atas hak dan perasaan orang lain. Sebab, hal ini akan menimbulkan kekacauan dan akan merusak
nilai agama itu sendiri. Kerukunan umat beragama hanya akan bisa dicapai apabila masing-masing golongan
agama bersikap lapang dada satu sama lain. Maka bukan semangat untuk menang
sendiri yang perlu dikembangkan, melainkan sikap menerima dalam perbedaan.
Menurut Amirulloh Syarbini dkk (2011: 60),
manusia adalah makhluk yang paling mulia di dunia.
Dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah lainnya manusia memiliki kelebihan
dengan akal dan pikirannya. Manusia dapat membedakan yang hak dengan yang batil, mana
yang bermanfaat dan mana yang tidak, mana yang menguntungkan dan mana yang
merugikan. Namun demikian, kelebihan yang dimiliki manusia terkadang menjadikan
manusia cenderung ekploitatif terhadap yang lainnya. Bahkan dengan sistematik
melakukan perusakan alam yang semestinya dijaga dan dimanfaatkan.
Menurut Ioanes Rakhmat (2011)
sebagai pemerhati perkembangan sains
yang aktif dalam kegiatan pengkajian hubungan antar umat beragama, dari antara
umat-umat beragama yang berbeda-beda yang ada di Indonesia, Muslim dan Kristen
adalah dua kalangan yang paling kental dan paling terang-terangan mendesakkan
keyakinan-keyakinan keagamaan mereka kepada masyarakat. Sudah banyak pemerintah
berbagai provinsi/kabupaten di Indonesia memberlakukan syariah Islam sebagai
landasan pemerintahan. Akibatnya, hukum positif yang berlaku secara nasional
dan mengikat bangsa dan negara diabaikan atau disingkirkan, sementara
pemerintah pusat di Jakarta mendiamkan saja.
Perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
sentuhan dan pengaruh agama-agama yang ada dan berkembang di Indonesia. Dengan
datangnya agama Hindu disusul Budha juga Islam yang kemudian Kristen baik itu Protestan maupun Katolik, dan juga bersamaan datangnya bangsa China yang kebanyakan beragama Konghucu, maka agama tersebut ikut memperkaya dunia keagamaan di
Indonesia. Kenyataan hidup dan berkembangnya berbagai agama tersebut menambah
corak kemajemukan bangsa Indonesia, dan kemajemukan tersebut menjadi sebuah
fenomena yang tidak mungkin dihindari.
Oleh karenanya, hidup di dalam kemajemukan merupakan proses dari kemajemukan, baik aktif maupun pasif menjadi
kepercayaan yang menyusup ke dalam setiap sendi-sendi kehidupan manusia, tak terkecuali juga dalam hal
kepercayaan (agama). Menurut Amirulloh
Syarbini dkk (2011: 54),
ketika agama telah memasuki ranah ideologi, maka ketika
itu agama telah menjadi bagian dari kebenaran yang harus dipertahankan dan
diperjuangkan dengan berbagai cara, termasuk cara yang hakikatnya “melawan” teks
agama itu sendiri.
Menurut Haidlor Ali Ahmad (2010: 185), bangsa Indonesia hidup dalam masyarakat majemuk,
masyarakat serba ganda, ganda kepercayaannya, kebudayaannya, dan agamanya.
Kemajemukan itu dapat menimbulkan disintegrasi sosial yang dapat mengganggu
persatuan dan kesatuan. Sementara hal tersebut sangat dibutuhkan untuk mewujudkan stabilitas yang sehat
dan dinamis guna terlaksananya pembangunan nasional. Pasca amandemen UUD 1945, jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan
semakin kuat dengan dirumuskannya pasal 28E.
Terdapat banyak keanekaragaman agama dan budaya daerah di
Indonesia, dimana masyarakat memeluk lebih dari satu agama, dapat disaksikan
bukan hanya kehidupan yang penuh toleransi dalam wujud sikap saling menghormati
dan sikap saling tenggang rasa, melainkan juga tolong menolong dalam kegiatan
yang bertalian dengan agama seperti pembangunan tempat-tempat ibadah. Apalagi dalam bidang-bidang kehidupan bahkan tidak
jarang ditemui satu keluarga dari anggota-anggota mungkin istri atau suami mungkin satu atau beberapa anak yang berbeda
agama. Sedangkan dalam pergaulan sehari-hari orang tidak begitu mempersoalkan
keagamaan seseorang.
Salah satu perkembangan yang penting dewasa ini adalah bahwa masing-masing
umat beragama mempunyai semacam puncak organisasi, setidak-tidaknya berdiri di
atas kelompok umatnya. Umat Islam mempunyai “Majelis Ulama Indonesia”, Kristen mempunyai “Dewan Gereja-Gereja Indonesia”, umat Katolik mempunyai “Majelis Agung Wali Gereja Indonesia”, umat Hindu mempunyai
“Parisada Hindu Dharma”, umat Budha mempunyai “Majelis Agung Agama Budha Indonesia”.
Dalam masyarakat Indonesia, dapat ditemukan keanekaragaman lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dan lembaga-lembaga yang dibangun negara, yang bertujuan untuk
membangun suatu kehidupan yang rukun antar umat beragama di Indonesia, yang
bertahan langgeng dan untuk jangka panjang ke depan. Dengan dibentuknya Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang menjembatani kerukunan antar umat beragama
dan menjadi lembaga yang membantu pemerintah dalam hal pembangunan yang
bersifat peribadatan (Ikhlas Beramal, 2010).
Kabupaten Lampung Selatan dapat dijadikan cermin kehidupan
bagi daerah-daerah memiliki konflik agama atau etnis yang
berkepanjangan tanpa ada titik temu perdamaian, seperti banyak terjadi di daerah-daerah yang ada di Indonesia, dan untuk
mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan dengan membentuk forum-forum dialog
yang sifatnya terbuka untuk warga masyarakat. Seperti pertemuan yang dihadiri
oleh kepala-kepala dusun dan sesepuh untuk membicarakan masalah-masalah yang
terjadi di lingkungan
sekitar melalui forum kerukunan umat beragama.
Kabupaten Lampung Selatan memiliki 17 (tujuh belas) kecamatan dan
sedikitnya 251 (dua ratus limapuluh satu) desa di dalamnya juga 31 (tiga puluh
satu) pulau mengelilinginya, diseluruh kecamatan mempunyai keanekaragaman agama
dan etnis yang berkembang pasca kolonisasi pertama pada tahun 1905 ketika
pemerintahan kolonial belanda baik itu secara kelompok, spontan ataupun sisipan
dan transmigrasi pertama pada tahun 1948 setelah negara merdeka dari penjajahan
jepang (BPS Lam-sel 2011).
Way Panji adalah salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Lampung Selatan, dan merupakan salah satu
kecamatan yang di dalamnya
terdapat berbagai corak kehidupan, baik itu agama atau etnis
dan budaya. Ada beberapa desa yang di
dalamnya terdapat berbagai agama seperti Agama Islam,
Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Hindu.
Kecamatan
Kalianda merupakan daerah yang ketika kekuasaan dikendalikan oleh kolonial
Belanda adalah wilayah yang dipergunakan untuk kolonisasi pertama dengan metode
sisipan, yaitu pendatang di campur oleh masyarakat pribumi di daerah tersebut.
Metode ini sangat efektif, dimana masyarakat pendatang dengan cepat membaur
denga masyarakat pribumi tanpa terpatok oleh budaya yang sudah melekat sebagai
identitas mereka.
1.2
Rumusan Masalah
Dengan
memperhatikan latar belakang masalah, yang telah dipaparkan di atas maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.2.1
Bagaimana realitas kerukunan hidup
antara
etnis Bali dengan etnis non-Bali di Kabupaten Lampung Selatan?
1.2.2
Faktor-faktor apa
saja yang memicu kerusuhan antar etnis terus berulang di Kabupaten Lampung Selatan?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Ingin mengetahui realitas kerukunan hidup antara
etnis Bali dengan etnis non-Bali di Kabupaten Lampung Selatan.
1.3.2
Ingin mengetahui
faktor-faktor yang memicu kerusuhan antar etnis terus berulang di Kabupaten Lampung Selatan.
1.4
Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian yang telah
dikemukakan di atas maka penelitian ini diharapkan dapat:
1.4.1
Secara teoritis
diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi empiris dan
pengetahuan seputar kerukunan hidup
dalam masyarakat yang majemuk, yang pada dewasa ini menjadi perhatian serius. Secara
akademis penelitian ini nantinya bisa dijadikan referensi bagi proses penelitian selanjutnya.
1.4.2
Secara praktis
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan/referensi tambahan, bagi masyarakat mampu secara tepat memposisikan realitas
keanekaragaman suku, agama, dan budaya di kecamatan Way Panji dan dapat diketahui dampak positif
jika masyarakat majemuk lebih menjunjung tinggi perbedaan.
No comments:
Post a Comment