Selamat Datang, Senang bisa Berbagi, Semoga Bermanfaat

Sunday, 16 December 2012

DAMPAK KRISIS GLOBAL

 DAMPAK KRISIS GLOBAL

Masih Ingat Krisis Moneter atau istilah kerennya Krismon? Lama saya mengira bahwa krisis ekonomi terparah yang pernah saya alami adalah krismon Asia pada tahun 1997/9. Ternyata dampak krismon Asia kalah jauh dibandingkan dengan krisis finansial yang melanda dunia sekarang. Sewaktu krismon Asia, setidaknya ada ’surga aman’ atau ’safe heaven’ bagi para investor global, yaitu di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Investor bisa menjual saham dan surat utangnya di Indonesia, Thailand dan Korea (walau rugi) yang mengalami krisis, dan membeli saham di bursa New York dan London. Sekarang, negara safe heaven pun mengalami krisis ekonomi yang parah. Investor kesulitan mencari safe heaven untuk memarkir dananya dan, karena pasar saham, surat utang dan komoditas semuanya anjlok, ‘cash is king again.

Seberapa parah krisis finansial dunia ini? Patokan ada. Lehman Brothers, Bear Stearns, Merrill Lynch, AIG, Freddie Mac dan Fannie Mae, sebagai lembaga finansial raksasa AS, selamat menghadapi resesi ekonomi AS paska serangan teroris tahun 2001. Mereka selamat manghadapi resesi ekonomi dunia akibat embargo minyak OPEC tahun 1973 dan selamat menghadapi dua perang dunia.

Mereka juga selamat menghadapi resesi ekonomi dunia tahun 1930-an yang sering disebut ‘the great depression”, akibat krisis keuangan AS pada 1929. Namun, mereka tidak selamat menghadapi krisis kredit pembelian rumah (KPR) subprime di AS pada 2007/2008. Artinya, terpuruknya beberapa lembaga keuangan terbesar di dunia tersebut adalah indikasi bahwa permasalahan ekonomi AS dan dunia sekarang memang jauh lebih parah dari perkiraan kita sebelumnya.

Kepanikan investor dunia pun semakin parah. Bursa saham terjun bebas. Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41% (sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara), dan zona Eropa 37%. Sementara pasar surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang melemah dan harga komoditas anjlok, apalagi setelah para spekulator komoditas minyak menilai bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.

Di AS, setelah melihat bursa saham Wall Street terus melorot, akhirnya kongres menyetujui program penyelamatan sektor keuangan (troubled asset recovery program- TARP) US$700 miliar yang diajukan oleh pemerintah. Namun, karena lamanya negosiasi politik antara pemerintah dan kongres, investor kecewa melihat politikus di Washington tidak memiliki sense of crisis.

Krisis pasar modal (saham dan surat utang) global sebetulnya hanya memengaruhi investor pasar modal. Tetapi krisis perbankan global bisa mempengaruhi sektor riil ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Intinya, sektor perbankan AS sedang terpuruk, kekurangan modal, dan (melihat banyaknya lembaga keuangan yang bangkrut) enggan meminjamkan dolarnya, termasuk ke bank-bank internasional di Eropa dan Asia. Akibatnya, perbankan internasional kekurangan dolar untuk memberi pinjaman ke para pengusaha dunia, yang membutuhkan dolar untuk investasinya (untuk impor mesin, bahan baku, dan sebagainya), termasuk di Indonesia.

Suka atau tidak dolar AS tetap merupakan mata uang inti dalam dunia usaha. Akibatnya, walaupun suku bunga bank sentral AS (atau Fed Funds Target Rate) sudah diturunkan ke 1,5%, suku bunga London Inter-Bank Offer Rate (LIBOR), sebagai patokan suku bunga yang digunakan oleh pelaku ekonomi, melonjak tajam. Inilah skenario buruk dunia keuangan: macetnya sistem pembayaran dan penyaluran kredit global sebagai ‘oksigen untuk napasnya dunia bisnis’. Suku bunga bank sentral bisa rendah, tetapi suku bunga kredit untuk pelaku bisnis, kalaupun bisa dapat pinjaman, sangat tinggi karena perbankan ketakutan meminjamkan dananya. Adalah lumpuhnya sektor perbankan global, bukan anjloknya pasar saham, yang sebetulnya bisa melumpuhkan pertumbuhan ekonomi dunia secara perlahan.

Akhirnya, bank sentral dunia mengerti betapa pentingnya melakukan kebijakan yang terkoordinasi. Tujuh bank sentral (termasuk US Federal Reserve, European Central Bank, Bank of England dan Bank of Canada) memangkas suku bunganya 0,5%. Ini merupakan yang pertama kalinya kebijakan suku bunga bank sentral dilakukan secara bersamaan dalam skala yang besar. Apakah ini cukup? Tentu tidak. Kebijakan terkoordinasi bank sentral dan pemerintah dunia selebihnya harus ditujukan untuk memenuhi tiga sasaran. Pertama, memulihkan kembali sistem perbankan dan pembayaran global yang lumpuh agar sirkulasi dana internasional bisa normal kembali - dan bank bisa memberi kredit lagi.

Kedua, mengeluarkan aset bermasalah (terutama surat utang KPR subprime) dari perbankan AS dan memperbesar modal perbankan agar lebih bisa memberi kredit dalam jumlah yang bisa mendukung pertumbuhan ekonomi. Ketiga, bank sentral dunia harus berani terus menurunkan suku bunga (untuk membantu meringankan bunga kredit) dan, yang lebih penting, pemerintah harus memperbesar belanjanya untuk pembangunan infrastruktur dan memberi stimulus ekonomi - karena investor swasta enggan berinvestasi dalam krisis likuiditas.

Apakah kebijakan yang dibutuhkan akan dilakukan? Jawabannya ya. Apakah akan berhasil? ‘Fifty-fifty’, mungkin ya, mungkin tidak, karena kebijakan ekonomi berskala global belum pernah dilakukan dalam sejarah, tetapi risiko terjadinya resesi ekonomi dunia yang parah akan lebih besar kalau bank sentral dan pemerintah dunia tidak melakukan apa-apa.

Dampak di Indonesia
Sebenarnya (menurut saya) dampaknya yang paling terasa adalah anjloknya harga minyak dunia, tapi kenapa ya kok di Indonesia harga BBM belum turun padahal masyarakat menunggu-nunggu hal tersebut terjadi. Tapi sudahlah, semua itu tergantung pemerintah juga karena mempertimbangkan banyak hal. Dampak resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia tentunya negatif, tetapi karena net-ekspor (ekspor dikurang impor) hanya menggerakkan sekitar 8% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, maka dampaknya relatif kecil dibandingkan dengan negara tetangga yang ketergantungan ekspornya ke AS besar, misalnya Hong Kong, Singapura, dan Malaysia.

Seperti pada 2001/2002, atau terakhir kali AS mengalami resesi, ada tiga negara di Asia yang tidak terlalu terpukul ekonominya: China, India, dan Indonesia. Ketiga negara ini memiliki penduduk yang banyak sehingga belanja masyarakatnya merupakan motor penggerak ekonomi yang kuat. Untuk ekonomi Indonesia, dampak negatif kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 125% pada 2005 jelas lebih besar dari pada dampak resesi ekonomi AS.

Namun demikian, krisis finansial global dan lumpuhnya sistem perbankan global yang berlarut akan berdampak sangat negatif terhadap Indonesia, karena pembiayaan kegiatan investasi di Indonesia (baik oleh pengusaha dalam maupun luar negeri) akan terus menciut, penyerapan tenaga kerja melambat dan akibatnya daya beli masyarakat turun-yang akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Maka, sangatlah penting bagi bank sentral dunia untuk secepatnya memulihkan sistem perbankan dunia.

Dampak Terhadap AS
Kali ini saya mengupas dampak krisis Global terhadap Amerika sendiri, Sengaja untuk artikel kali ini saya hanya mengupas dari sisi retailnya saja karena sebenarnya dampaknya sangat banyak di segala sektor, namanya juga Krisis Global, ya dampaknya pasti Global dong. Hanya saja tidak akan habis kalau dikupas dalam tulisan saya kali ini. Kabar gembira buat orang-orang kaya Indonesia yang gemar berbelanja di luar negeri, segeralah ke Amerika Serikat karena supermarket dan butik-butik pakaian di negeri itu sedang membanting harga guna menyiasati turunnya daya beli konsumen akibat tekanan krisis keuangan.
Laksana krisis moneter yang meluluhlantakan Asia Tenggara pada 1997, krisis keuangan global sudah sampai kepada kehidupan sehari-hari keluarga-keluarga di Amerika Serikat, salah satunya bisnis pakaian dan kebutuhan hidup warga di Negara Paman Sam itu. Bagaimana tidak, setiap hari krisis keuangan makin buruk setiap kali itu pula tekanan semakin besar terhadap industri ritel Amerika Serikat. Target, salah satu operator swalayan AS mengaku, para pembelinya memiliki kartu kredit yang rata-rata “over” kredit.

Di sisi lain, lalu lintas pengiriman barang turun drastis akibat kekhawatiran tidak laku sehingga tak bisa dilunasi para pengelola toko..Orang-orang AS yang biasanya konsumtif tiba-tiba pelit berbelanja dan lebih suka menyimpan hartanya dalam rumah. Para pengelola pasar swalayan dan butik pakaian di AS tengah berjuang keras untuk meraih untung di masa liburan yang biasanya mengambil 20 persen dari seluruh volume penjualan tahunan toko-toko pakaian di AS.

Bayangkan saja, pada tiga bulan terakhir, belanja konsumen diperkirakan turun hingga ke posisi terendah sejak resesi 1991. Berita-berita menakutkan sepanjang September mulai dari bangkrutnya Lehman Brothers dan jatuh bebasnya pasar keuangan akibat paket stimulus 700 miliar dolar AS yang gagal menstimulasi pasar, telah menghajar para pengusaha waralaba AS sekaligus menggerus kepercayaan konsumen.

Situasi serupa terjadi di seluruh penjuru negeri dan kalau pun ada yang diuntungkan, maka pastilah itu para pengusaha retail berharga obral kendati keuntungannya tetap di bawah prediksi Wall Street. Wal-Mart dilaporkan mencatat volume penjualan hampir sama dengan tahun lalu, Sam’s Club tumbuh 2,8 persen pada September dibanding periode sama tahun lalu, sedangkan Costco berkembang hingga 9 persen. Sebaliknya, volume penjualan pasar-pasar swalayan dari Kohl’s sampai Nordstrom juga tertekan tajam setidaknya selama setahun terakhir ini, sedangkan waralaba produk kesehatan mencatat volume penjualan yang sama dengan tahun lalu. Dillard’s, JCPenney dan Saks bahkan tenggelam hingga dua digit.

Perusahaan-perusahaan ritel AS benar-benar ditimpa banyak kesulitan, tidak hanya oleh sulitnya perusahaan membeli stok barang karena rusaknya pasar kredit namun juga karena kesulitan mendapatkan pembeli. Perusahaan pembiayaan seperti Bernard Sands yang biasa menjembatani pabrik dan perusahaan ritel telah menolak menjamin kredit ritel karena takut perusahaan ritel tidak mampu membayar. Bahkan kalau pun barang-barang ritel itu bisa dibeli lewat sistem kredit, perusahaan ritel masih dihadapkan pada kesulitan lain, yaitu rendahnya daya beli konsumen. Padahal, sekedar catatan, arus konsumsilah yang selama ini menggerakan perekonomian AS.

No comments: