DAMPAK KRISIS GLOBAL
Masih Ingat Krisis Moneter atau istilah kerennya Krismon? Lama saya mengira
bahwa krisis ekonomi terparah yang pernah saya alami adalah krismon Asia pada
tahun 1997/9. Ternyata dampak krismon Asia kalah jauh dibandingkan dengan
krisis finansial yang melanda dunia sekarang. Sewaktu krismon Asia, setidaknya
ada ’surga aman’ atau ’safe heaven’ bagi para investor global, yaitu di Amerika
Serikat, Eropa dan Jepang. Investor bisa menjual saham dan surat utangnya di
Indonesia, Thailand dan Korea (walau rugi) yang mengalami krisis, dan membeli
saham di bursa New York dan London. Sekarang, negara safe heaven pun mengalami
krisis ekonomi yang parah. Investor kesulitan mencari safe heaven untuk
memarkir dananya dan, karena pasar saham, surat utang dan komoditas semuanya
anjlok, ‘cash is king again.
Seberapa parah krisis finansial dunia ini? Patokan ada. Lehman Brothers,
Bear Stearns, Merrill Lynch, AIG, Freddie Mac dan Fannie Mae, sebagai lembaga
finansial raksasa AS, selamat menghadapi resesi ekonomi AS paska serangan
teroris tahun 2001. Mereka selamat manghadapi resesi ekonomi dunia akibat
embargo minyak OPEC tahun 1973 dan selamat menghadapi dua perang dunia.
Mereka juga selamat menghadapi resesi ekonomi dunia tahun 1930-an yang
sering disebut ‘the great depression”, akibat krisis keuangan AS pada 1929.
Namun, mereka tidak selamat menghadapi krisis kredit pembelian rumah (KPR)
subprime di AS pada 2007/2008. Artinya, terpuruknya beberapa lembaga keuangan
terbesar di dunia tersebut adalah indikasi bahwa permasalahan ekonomi AS dan
dunia sekarang memang jauh lebih parah dari perkiraan kita sebelumnya.
Kepanikan investor dunia pun semakin parah. Bursa saham terjun bebas. Sejak
awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41% (sebelum
kegiatannya dihentikan untuk sementara), dan zona Eropa 37%. Sementara pasar
surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang melemah dan harga komoditas
anjlok, apalagi setelah para spekulator komoditas minyak menilai bahwa resesi
ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.
Di AS, setelah melihat bursa saham Wall Street terus melorot, akhirnya
kongres menyetujui program penyelamatan sektor keuangan (troubled asset
recovery program- TARP) US$700 miliar yang diajukan oleh pemerintah. Namun,
karena lamanya negosiasi politik antara pemerintah dan kongres, investor kecewa
melihat politikus di Washington tidak memiliki sense of crisis.
Krisis pasar modal (saham dan surat utang) global sebetulnya hanya
memengaruhi investor pasar modal. Tetapi krisis perbankan global bisa mempengaruhi
sektor riil ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Intinya, sektor perbankan AS
sedang terpuruk, kekurangan modal, dan (melihat banyaknya lembaga keuangan yang
bangkrut) enggan meminjamkan dolarnya, termasuk ke bank-bank internasional di
Eropa dan Asia. Akibatnya, perbankan internasional kekurangan dolar untuk
memberi pinjaman ke para pengusaha dunia, yang membutuhkan dolar untuk
investasinya (untuk impor mesin, bahan baku, dan sebagainya), termasuk di
Indonesia.
Suka atau tidak dolar AS tetap merupakan mata uang inti dalam dunia usaha.
Akibatnya, walaupun suku bunga bank sentral AS (atau Fed Funds Target Rate)
sudah diturunkan ke 1,5%, suku bunga London Inter-Bank Offer Rate (LIBOR),
sebagai patokan suku bunga yang digunakan oleh pelaku ekonomi, melonjak tajam.
Inilah skenario buruk dunia keuangan: macetnya sistem pembayaran dan penyaluran
kredit global sebagai ‘oksigen untuk napasnya dunia bisnis’. Suku bunga bank
sentral bisa rendah, tetapi suku bunga kredit untuk pelaku bisnis, kalaupun
bisa dapat pinjaman, sangat tinggi karena perbankan ketakutan meminjamkan
dananya. Adalah lumpuhnya sektor perbankan global, bukan anjloknya pasar saham,
yang sebetulnya bisa melumpuhkan pertumbuhan ekonomi dunia secara perlahan.
Akhirnya, bank sentral dunia mengerti betapa pentingnya melakukan kebijakan
yang terkoordinasi. Tujuh bank sentral (termasuk US Federal Reserve,
European Central Bank, Bank of England dan Bank of Canada) memangkas suku
bunganya 0,5%. Ini merupakan yang
pertama kalinya kebijakan suku bunga bank sentral dilakukan secara bersamaan
dalam skala yang besar. Apakah ini cukup? Tentu tidak. Kebijakan terkoordinasi
bank sentral dan pemerintah dunia selebihnya harus ditujukan untuk memenuhi
tiga sasaran. Pertama, memulihkan kembali sistem perbankan dan pembayaran
global yang lumpuh agar sirkulasi dana internasional bisa normal kembali - dan
bank bisa memberi kredit lagi.
Kedua, mengeluarkan aset bermasalah (terutama surat utang KPR subprime)
dari perbankan AS dan memperbesar modal perbankan agar lebih bisa memberi
kredit dalam jumlah yang bisa mendukung pertumbuhan ekonomi. Ketiga, bank
sentral dunia harus berani terus menurunkan suku bunga (untuk membantu
meringankan bunga kredit) dan, yang lebih penting, pemerintah harus memperbesar
belanjanya untuk pembangunan infrastruktur dan memberi stimulus ekonomi -
karena investor swasta enggan berinvestasi dalam krisis likuiditas.
Apakah kebijakan yang dibutuhkan akan dilakukan? Jawabannya ya. Apakah akan
berhasil? ‘Fifty-fifty’, mungkin ya, mungkin tidak, karena kebijakan ekonomi
berskala global belum pernah dilakukan dalam sejarah, tetapi risiko terjadinya
resesi ekonomi dunia yang parah akan lebih besar kalau bank sentral dan
pemerintah dunia tidak melakukan apa-apa.
Dampak di Indonesia
Sebenarnya (menurut saya) dampaknya yang paling terasa adalah anjloknya
harga minyak dunia, tapi kenapa ya kok di Indonesia harga BBM belum turun
padahal masyarakat menunggu-nunggu hal tersebut terjadi. Tapi sudahlah, semua
itu tergantung pemerintah juga karena mempertimbangkan banyak hal. Dampak
resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia tentunya negatif, tetapi karena
net-ekspor (ekspor dikurang impor) hanya menggerakkan sekitar 8% dari produk
domestik bruto (PDB) Indonesia, maka dampaknya relatif kecil dibandingkan dengan
negara tetangga yang ketergantungan ekspornya ke AS besar, misalnya Hong Kong,
Singapura, dan Malaysia.
Seperti pada 2001/2002, atau terakhir kali AS mengalami resesi, ada tiga
negara di Asia yang tidak terlalu terpukul ekonominya: China, India, dan Indonesia.
Ketiga negara ini memiliki penduduk yang banyak sehingga belanja masyarakatnya
merupakan motor penggerak ekonomi yang kuat. Untuk ekonomi Indonesia, dampak
negatif kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 125% pada 2005 jelas lebih
besar dari pada dampak resesi ekonomi AS.
Namun demikian, krisis finansial global dan lumpuhnya sistem perbankan
global yang berlarut akan berdampak sangat negatif terhadap Indonesia, karena
pembiayaan kegiatan investasi di Indonesia (baik oleh pengusaha dalam maupun
luar negeri) akan terus menciut, penyerapan tenaga kerja melambat dan akibatnya
daya beli masyarakat turun-yang akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Maka, sangatlah penting bagi bank sentral dunia untuk secepatnya memulihkan
sistem perbankan dunia.
Dampak Terhadap AS
Kali ini saya mengupas dampak
krisis Global terhadap Amerika sendiri, Sengaja untuk artikel kali ini saya
hanya mengupas dari sisi retailnya saja karena sebenarnya dampaknya sangat
banyak di segala sektor, namanya juga Krisis Global, ya dampaknya pasti Global
dong. Hanya saja tidak akan habis kalau dikupas dalam tulisan saya kali ini.
Kabar gembira buat orang-orang kaya Indonesia yang gemar berbelanja di luar
negeri, segeralah ke Amerika Serikat karena supermarket dan butik-butik pakaian
di negeri itu sedang membanting harga guna menyiasati turunnya daya beli
konsumen akibat tekanan krisis keuangan.
Laksana krisis moneter yang
meluluhlantakan Asia Tenggara pada 1997, krisis keuangan global sudah sampai
kepada kehidupan sehari-hari keluarga-keluarga di Amerika Serikat, salah
satunya bisnis pakaian dan kebutuhan hidup warga di Negara Paman Sam itu.
Bagaimana tidak, setiap hari krisis keuangan makin buruk setiap kali itu pula
tekanan semakin besar terhadap industri ritel Amerika Serikat. Target, salah
satu operator swalayan AS mengaku, para pembelinya memiliki kartu kredit yang
rata-rata “over” kredit.
Di sisi lain, lalu lintas
pengiriman barang turun drastis akibat kekhawatiran tidak laku sehingga tak
bisa dilunasi para pengelola toko..Orang-orang AS yang biasanya konsumtif
tiba-tiba pelit berbelanja dan lebih suka menyimpan hartanya dalam rumah. Para
pengelola pasar swalayan dan butik pakaian di AS tengah berjuang keras untuk
meraih untung di masa liburan yang biasanya mengambil 20 persen dari seluruh
volume penjualan tahunan toko-toko pakaian di AS.
Bayangkan saja, pada tiga
bulan terakhir, belanja konsumen diperkirakan turun hingga ke posisi terendah
sejak resesi 1991. Berita-berita menakutkan sepanjang September mulai dari
bangkrutnya Lehman Brothers dan jatuh bebasnya pasar keuangan akibat paket
stimulus 700 miliar dolar AS yang gagal menstimulasi pasar, telah menghajar
para pengusaha waralaba AS sekaligus menggerus kepercayaan konsumen.
Situasi serupa terjadi di
seluruh penjuru negeri dan kalau pun ada yang diuntungkan, maka pastilah itu
para pengusaha retail berharga obral kendati keuntungannya tetap di bawah
prediksi Wall Street. Wal-Mart dilaporkan mencatat volume penjualan hampir sama
dengan tahun lalu, Sam’s Club tumbuh 2,8 persen pada September dibanding
periode sama tahun lalu, sedangkan Costco berkembang hingga 9 persen.
Sebaliknya, volume penjualan pasar-pasar swalayan dari Kohl’s sampai Nordstrom
juga tertekan tajam setidaknya selama setahun terakhir ini, sedangkan waralaba
produk kesehatan mencatat volume penjualan yang sama dengan tahun lalu.
Dillard’s, JCPenney dan Saks bahkan tenggelam hingga dua digit.
Perusahaan-perusahaan ritel AS
benar-benar ditimpa banyak kesulitan, tidak hanya oleh sulitnya perusahaan
membeli stok barang karena rusaknya pasar kredit namun juga karena kesulitan
mendapatkan pembeli. Perusahaan pembiayaan seperti Bernard Sands yang biasa
menjembatani pabrik dan perusahaan ritel telah menolak menjamin kredit ritel
karena takut perusahaan ritel tidak mampu membayar. Bahkan kalau pun
barang-barang ritel itu bisa dibeli lewat sistem kredit, perusahaan ritel masih
dihadapkan pada kesulitan lain, yaitu rendahnya daya beli konsumen. Padahal,
sekedar catatan, arus konsumsilah yang selama ini menggerakan perekonomian AS.
No comments:
Post a Comment