PERKAKAS REVOLUSI KITA
Dengan pelbagai ragam suara, dalam keadaan
yang berbeda-beda dan oleh berbagai golongan rakyat, tujuan politik kita sudah
dinyatakan yaitu kemerdekaan nasional. Tentang tujuan akhir ini, orang di
seluruh Indonesia telah bulat sepakat. Hanya tentang jalan yang akan ditempuh
serta alat-alat yang akan dipakai, berlain-lainan pendapat orang.
Pertukaran susunan negara feodalistis ke
kapitalistis yang cepat dan tidak sesuai dengan kemauan alam menyebabkan bangsa
Indonesia berubah cepat cara berpikirnya. Tetapi, perubahan cara berpikir ini
biasanya tertinggal dari perubahan ekonomi. Umumnya bangsa kita secara lahiriah
tampak modern sesuai dengan zaman kapitalis tetapi cara berpikirnya masih kuno,
masih tinggal di zaman dahulu, seperti masih menganut Mahabarata, Islam, dan
berbagai macam takhayul dan kepercayaan kepada hantu, jin, kesaktian gaib, batu
keramat dan lain-lain. Mereka masih terus seperti anak-anak dan berpikiran
fantastis.
Kekalahan dalam persaingan ekonomi dengan
kapital Barat yang lebih kuat itu menyebabkan terbitnya pikiran tidak betul dan
anarkistis (melanggar peraturan) tidak melihat sesuatu dalam sifatnya yang
sebenarnya. Ini terjadi terutama di kalangan penduduk dusun-dusun kecil yang
baru dikalahkan dan digencet dan sebagian dari kaum buruh industri dan
pertanian yang masih muda yakni mereka yang baru dirampas miliknya.
Sebagaimana perbedaan tingkat dalam
industrialisasi demikian pulalah perbedaan pikiran penduduk di berbagai daerah
di Indonesia. Kita tunjukkan saja perbedaan kemajuan pikiran antara penduduk
Jawa dan saudara-saudara kita di Halmahera, atau antara saudara-saudara yang
ada di Surabaya dan Semarang yang telah sadar itu dengan penduduk desa yang
tidak berindustri. Di mana kapitalisme tumbuh, serta berurat-berakar, di sana
mulai hiduplah rasionalisme dan pikiran yang sehat serta lenyaplah dengan
perlahan-lahan kepercayaan kepada segala takhayul. Jadi, psikologi dan ideologi
jiwa dan akal rakyat bangsa Indonesia sejalan dengan kecerdasan kapitalisme
yang senantiasa berubah-ubah. Yang lama lenyap dan yang baru menjadi cerdas.
Sukar sekali membawa sekalian perbedaan
pikiran yang sedang dalam transformasi itu kepada satu cita-cita yang sama
membangun dan tak berubah. Karena itu pekerjaan yang berat sekali bagi kaum
revolusioner akan membawa seluruh rakyat Indonesia kepada garis-garis yang
sesuai dan selaras dengan aksi-aksi marxistis. Ia mudah tergelincir menjadi
tindakan cari untung, anarki, dan mempercayai jimat-jimat.
Sampai waktu ini belum ada satu partai
yang pandai menarik satu garis yang cocok dengan keadaan-keadaan yang ada di
Indonesia dan memimpin rakyat kita di sepanjang garis itu. Beberapa partai
berturut-turut tersesat di jalan yang tidak membawa ke tujuan.
Mempercayai jalan parlementer yang
tenteram, yakni meretas jalan kemerdekaan Indonesia dengan cara berebut kursi
dalam Dewan Rakyat dan meminta-minta supaya diberikan kekuasaan politik, kita
namai "percobaan untung-untungan" yang menyesatkan. Percobaan ini
hanya dapat dipikirkan secara teoretis dan praktis di dalam negeri jajahan yang
mempunyai borjuasi bumiputra. Kerja bersama yang jujur dengan golongan penjajah
Belanda di luar atau di dalam Dewan Rakyat adalah pengkhianatan terhadap rakyat
Indonesia.
Tidak dimaksudkan bahwa kita selamanya
membelakangi Dewan Rakyat. Sebaliknya, bila besok atau lusa kita mendapat
kesempatan melalui jalan pemilihan yang langsung untuk menduduki Dewan Rakyat,
kewajiban kitalah memasukinya. Sungguh kita berbuat keliru dan penakut bila
tidak bertindak begitu. Tetapi, belum semenit juga kita bermaksud bekerja
bersama di dalam Dewan Rakyat dengan perampok gula, pencuri minyak dan penyamun
getah, kita terpaksa memasukinya, menentang, melakukan aksi oposisi dengan
penuh keberanian, dan memecahkan topeng mereka. Kita pergunakan Dewan Rakyat
sebagai "Pengadilan Rakyat" dan kita rintangi tindakan pemerintah
dari dalam. Dengan berbuat demikian, dapatlah kita sekadarnya mendidik rakyat
yang tak boleh menulis dan bicara politik di luar Dewan Rakyat itu.
Mempergunakan cara yang sangat
bertentangan dengan yang tersebut di atas, kita anggap suatu kebodohan pula
karena lebih banyak merugikan usaha kemerdekaan seperti yang dipikir-pikirkan
oleh kebanyakan bangsa kita. Selama seorang percaya bahwa kemerdekaan akan
tercapai dengan jalan "putch" atau anarkisme, hal itu
hanyalah impian seorang yang lagi demam. Dan pengembangan keyakinan itu di
antara rakyat merupakan satu perbuatan yang menyesatkan, sengaja atau tidak.
"Putch" itu adalah satu
aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan
rakyat banyak. Gerombolan itu bisanya hanya membuat rancangan menurut kemauan
dan kecakapan sendiri tanpa memedulikan perasaan dan kesanggupan massa. Ia
sekonyong-konyong keluar dari guanya tanpa memperhitungkan lebih dulu apakah
saat untuk aksi massa sudah matang atau belum. Dia menyangka bahwa semua
lamunannya tentang massa adalah benar sepenuhnya. Dia lupa atau tak mau tahu
bahwa massa hanya dengar berturut-turut dapat ditarik ke aksi politik yang
keras (secara modern!) dan pada waktu sengsara serta penuh reaksi yang membabi
buta. "Tukang-tukang putch" lupa bahwa pada saat revolusi ini kapan
aksi massa berubah menjadi pemberontakan bersenjata tak dapat ditentukan
berbulan-bulan lebih dulu, sebagaimana yang dapat dilakukan oleh seorang
"tukang-tenung". “Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil
dari berbagai macam keadaan". Bila tukang-tukang "putch" pada
waktu yang telah ditentukan oleh mereka sendiri, keluar tiba-tiba (seperti Herr
Kapp tukang "putch" yang termasyhur itu), massa tidak akan memberikan
pertolongan kepada mereka. Bukan karena massa bodoh atau tidak memperhatikan,
melainkan karena "massa hanya berjuang" untuk kebutuhan yang terdekat
dan sesuai dengan kepentingan ekonomi.
Tiada satu kemenangan politik pun, hingga
sekarang, yang diperoleh massa (bukan oleh segerombolan militer!) jika tidak
dengan aksi ekonomi atau politik! Kerapkali pada awalnya orang melalui jalan
yang sah. Akan tetapi, karena tukang-tukang putch keluar dari jalan
yang sah, yaitu tiba-tiba memakai kekerasan senjata penggempur pemerintah maka
99 dari 100 kejadian, mereka ditinggalkan oleh massa sebab mereka dari mula
sudah memencilkan diri dari massa. Demikian juga, 99 dari 100 kejadian,
"komplot" putch dapat diketahui musuh. Rancangan putch
selamanya bocor karena setengah anggotanya tidak sabar dan mereka ceramah atau
karena pengkhianatan anggota yang ketakutan. Atau gerakan mereka dapat dicium
mata-mata yang mondar-mandir di mana-mana.
Membuat putch di negeri, seperti
Indonesia (terutama di Jawa), di tempat kapital dipusatkan dengan rapinya dan
dilindungi oleh militer dan mata-mata ala Barat yang modern – sebaliknya,
rakyat masih mempercayai yang gaib-gaib, takhayul dan dongeng – samalah artinya
dengan "bermain api": tangan sendiri yang akan hangus. Kaum anarkis
yang biasanya berkata bahwa kekuasaan Barat yang kokoh ini dapat dirobohkan
dengan beberapa butir telur "yang meletup" tidak lebih cerdik
daripada seorang yang menembak batu dengan kepalanya.
Hanya "satu aksi massa", yakni
satu aksi massa yang terencana yang akan memperoleh kemenangan, di satu negeri
yang berindustri seperti Indonesia!
Aksi-Massa tidak mengenal fantasi kosong
seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari
seorang pahlawan. Aksi-massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak
ekonomi dan politik mereka. Ia disebabkan oleh kemelaratan yang besar (krisis
ekonomi dan politik) dan siap, bilamana mungkin, berubah menjadi kekerasan.
Sebuah partai yang berdasarkan aksi massa yang tersusun pasti mampu membawa
aksi massa yang memecah pelabuhan yang tenang dan aman.
Sebagian dari aksi massa menunjukkan
dirinya dengan "pemogokan atau pemboikotan". Bila buruh yang
berjuta-juta meletakkan pekerjaannya dengan maksud tertentu (menuntut
keuntungan ekonomi dan politik) niscaya kerugian dan kekalutan ekonomi akibat
aksi mereka dapat melemahkan kaum penjajah yang keras itu.
Menurut kekuatan dan kemenangan kita pada
waktu itu, dapatlah kita memperoleh hak-hak politik dan ekonomi. Di India
pemboikotan itu ternyata adalah pisau bermata dua. Di satu pihak ia sangat
merugikan importir Inggris, di lain pihak ia memajukan perdagangan bumiputra.
Di Indonesia ketiadaan kapital besar bumiputra yang penting itu memberatkan
pemboikotan terhadap perdagangan asing.
Bukan saja kekuasaan besar itu disebabkan
oleh ikhtiar mengumpulkan kapital yang diperlukan, tapi juga meneruskan
pemboikotan itu. Kita mudah memperkirakan bahwa pemboikotan nasional Indonesia
yang hebat dan keras sangat dibenci dan dimusuhi oleh imperialis Belanda yang
buas, seperti dia membenci pemogokan umum.
Akan tetapi, pemboikotan di Indonesia
bukanlah pekerjaan mustahil. Di Pulau Jawa dan di luarnya bukankah banyak
kapital bumiputra kecil-kecil yang kalau dikumpulkan ke dalam koperasi nasional
dapat melahirkan kapital yang sangat besar. Tapi ikhtiar yang serupa itu
terlalu banyak meminta kesadaran, keaktifan dari seluruh lapisan penduduk
Indonesia.
Pemboikotan pajak yang dianggap menjadi
aksi itu di India tidak pernah dilakukan karena kekuatiran borjuasi terhadap
akibat revolusioner. Di Indonesia pemboikotan pajak adalah sebuah senjata
ekonomi politik yang sangat sakti.
Tetapi, perbuatan seperti itu berarti
"melanggar undang-undang" dan hanya terjadi dalam keadaan-keadaan revolusioner
di bawah pimpinan satu partai revolusioner yang kuat betul.
Bagian politik dari aksi massa menunjukkan
diri dengan demonstrasi dan di India dengan keengganan kerja bersama mengandung
maksud politik dan ekonomi, menagih pemerintahan sendiri (home rule)
dari imperialisme Inggris. Bagian politiknya berupa tindakan meninggalkan
hal-hal sebagai berikut:
1.
badan-badan pemerintahan;
2.
pengadilan pemerintahan;
3.
sekolah-sekolah pemerintahan; dan
4.
polisi dan tentara.
Tindakan yang keempat, karena takut kepada
pemberontakan, tidak pernah dijalankan. Yang pertama sampai yang ketiga tidak
cukup lama dilakukan dan tak cukup memberi hasil. Apakah di Indonesia dapat
lebih lama dijalankan dan lebih berhasil daripada di India? Pertanyaan ini akan
kita jawab kelak dalam satu pembicaraan yang khusus.
Demonstrasi politik ditunjukkan dengan
massa yang berbaris di sepanjang jalan raya dan di gedung rapat, dengan maksud
mengajukan protes dan memperkuat tuntutan politik dan ekonomi dan menunjukkan
kepada musuh berapa besarnya kekuatan kita. "Bila semboyan dan
tuntutan" sungguh diteriakkan oleh massa, demonstrasi politik dapat jadi
gelombang hebat, yang makin lama semakin deras, kuat sehingga meruntuhkan
benteng-benteng ekonomi dan politik dari kelas yang berkuasa.
Di negeri yang berindustri seperti
Indonesia, "aksi-massa", yakni boikot, mogok dan demonstrasi, boleh
dipergunakan lebih sempurna sebagai senjata yang lebih tajam (di India tidak
terjadi sebab bumiputra yang berkapital takut pada pemogokan umum dan kekuasaan
politik dari kaum buruh, ketakutan yang tak berbeda dengan borjuasi Inggris!).
Bila sebuah partai revolusioner berhasil
mengerahkan kaum buruh yang berjuta-juta agar meninggalkan pekerjaannya dan
yang bukan buruh agar tak mau bekerja sama serta seluruh rakyat berdemonstrasi
untuk menuntut hak ekonomi dan politik tanpa melempar sebutir kerikil pun
kepada pegawai pemerintah, niscaya akibat politik moral dari aksi itu sangat
besar artinya. Ia akan mendatangkan keuntungan dalam perjuangan politik dan
ekonomi lebih besar daripada seratus Pemberontakan Jambi atau huru-hara,
pembunuhan yang aneh-aneh dan dikerjakan oleh anggota-anggota "bagian
B" dan tukang-tukang putch yang gagah. Kita tidak boleh melupakan
bahwa aksi yang akan kita lakukan itu sekarang dilarang oleh undang-undang
tetapi, tidak ada alasan bagi kita untuk meninggalkan jalan satu-satunya itu.
Tambahan pula, menjadi pertanyaan besar,
apakah pemerintah dapat mempertahankan larangan itu, sekurang-kurangnya jika
tidak lekas patah arang oleh kekalahan kecil seperti yang sudah-sudah. Hak-hak
manusia yang asli seperti mogok (menolak penjualan tenaga sendiri), boikot
(menolak kerja bersama, membeli atau menjual barang-barang) dan hak
berdemonstrasi (mengumumkan cita-cita) akan lenyap selama-lamanya dari bangsa Indonesia
kalau di belakang tiap-tiap orang Indonesia berdiri seorang serdadu imperialis
yang bersenjata.
Kelebihan aksi massa daripada putch, ialah
bahwa dengan aksi massa perjuangan kita dapat dijaga, sedangkan dengan putch,
kita memperlihatkan iri kepada musuh. Di dalam aksi massa, pemimpin boleh
berjalan sekian jauh menurut kepatutan yang perlu di waktu ini. Ia selamanya
dapat menentukan berapa jauh ia boleh mengadakan tuntutan politik dan ekonomi
tanpa tidak menanggung kerugian besar (pengorbanan mesti ada dalam tiap-tiap
aksi massa). Dan ia tidak kehilangan hubungan dengan massa. Demikian pun,
hubungan antara massa itu sendiri tidak putus. Dengan serangan
sekonyong-konyong, yaitu tindakan keras tukang-tukang putch yang
disengaja terhadap musuh, mereka dari awalnya gampang diserang musuh. Pemimpin
aksi massa dengan memegang "peta perjuangan" di tangannya dapat
mempermainkan musuh dengan jalan maju selangkah-selangkah dan kemudian sekali
menggempur habis-habisan.
Aksi massa membutuhkan pemimpin yang
revolusioner, cerdas, tangkas, sabar dan cepat menghitung kejadian yang akan
datang, waspada politik. Ia harus juga bekerja dengan kekuatan nasional yang
sudah ada dan tidak mengharapkan kekuatan yang sekadar lamunan. Selanjutnya, ia
harus mengetahui tabiat massa yang dipimpinnya (mengetahui waktu dan cara
bagaimana reaksi rakyat terhadap kejadian-kejadian politik dan ekonomi).
Ia harus pandai pula bersemboyan yang
menyemangatkan rakyat sehingga mengubah "kemauan massa" menjadi
"tindakan massa". Selain itu, kedudukan politik dan ekonomi mesti
diketahuinya betul-betul dan ia harus pula pandai mempergunakannya tanpa
ragu-ragu. Disebabkan kelas yang berkuasa (pemerintah) mempunyai laskar yang
lengkap dan senantiasa siap siaga maka kecakapan dan ketangkasan pemimpin gerakan
modern aksi massa mesti mempunyai pengetahuan yang praktis tentang politik dan
ekonomi dari negeri serta psikologi rakyat dan kemudian pandai memperhitungkan
kejadian kejadian politik yang akan terjadi. Terlebih lagi, pemimpin itu harus
dapat mempergunakan "waktu" dengan cepat dan benar, juga
mempergunakan sekalian pertentangan di dalam masyarakat kapitalistis (juga di
dalam laskar) yang dapat mendatangkan keuntungan.
Jadi, kalau "tenaga bodoh"
(seperti di zaman feodal) dapat mengadakan putch, seorang pemimpin
pergerakan massa yang modern haruslah seorang manusia cerdas dan bijaksana.
1. Partai dan Sifat-Sifatnya
Apakah yang dinamakan partai? Jika kita
mau mengumpulkan dan memusatkan kekuatan-kekuatan revolusioner di Indonesia
dengan jalan aksi massa yang terencana buat meretas jalan kemerdekaan nasional,
tentulah kita mesti mempunyai satu partai yang revolusioner. Adapun, hingga
kini Indonesia belum mempunyai partai revolusioner, yang ada hanya
perhimpunan-perhimpunan dari orang-orang yang "berlain-lainan"
pandangan dan tindakan politiknya. Satu partai revolusioner ialah gabungan
orang-orang yang sama pandangan dan tindakannya dalam revolusi. Dan
sebaik-baiknya perbuatan revolusioner adalah tiap-tiap anggota bersama, satu
dengan lainnya, dipusatkan.
Untuk menghilangkan suatu perasaan yang
kurang baik dari tiap-tiap anggota partai, mestilah tiap-tiap orang diberi hak
bersuara, mengemukakan dan mempertahankan keyakinannya dengan seluas-luasnya.
Dan sesuatu keputusan partai mestilah dianggap sebagai hasil permusyawarahan
dan pertimbangan bersama-sama yang matang dari seluruh anggota. Tiap-tiap
permusyawarahan hendaknya dijalankan dengan secara demokratis yang
sesungguhnya. Tiap-tiap tanda yang berbau birokrasi dan aristokrasi mesti
dicabut hingga ke akar-akarnya. Tetapi, birokrasi dan otokratisme dalam partai
tak dapat dihapuskan dengan "maki-makian" atau dengan menggebrak meja
tetapi dengan membiasakan bertukar pikiran secara merdeka dan kerja sama dari
semua anggota. Tiap-tiap keputusan partai mesti diambil menurut suara yang
terbanyak. Jika satu keputusan sudah diterima oleh suara yang terbanyak,
mestilah suara yang terkecil, meskipun bertentangan dengan keyakinannya, "
tunduk" kepada putusan dan dengan jujur menjalankan keputusan itu. Jika
tidak begitu, niscaya tak akan pernah sebuah partai mencapai tenaga yang
revolusioner. Keputusan yang "setengah betul" tetapi dengan gembira
dikerjakan oleh seluruh barisan lebih baik daripada keputusan yang " bagus
sekali" tetapi dikhianati oleh setengah anggota.
Partai mesti mempunyai "peraturan
besi". Selanjutnya, barulah ia mampu memusatkan tindakan partai. Partai
mesti mempunyai alat-alat revolusioner untuk memeriksa dan memperbaiki segenap
perbuatan anggota. Belumlah mencukupi bila seorang "mengakui setuju"
dengan suatu keputusan atau peraturan partai. Ia mesti membuktikan dengan
perbuatan bahwa ia menjalankan keputusan itu dengan betul dan setia terhadap
partai. Perbuatan itu biasanya adalah, misalnya, mencari kawan dalam
surat-surat kabar partai, kursus, serikat sekerja dan mengerjakan administrasi
dan organisasi partai. Jika ia tak memenuhi hal-hal tersebut atau
"terbukti", bahwa ia tidak setia kepada partai, mestilah dijalankan
pendisiplinan. Lebih baik ia keluar dari partai daripada ia merusak partai atau
memberikan teladan busuk sebagai seorang revolusioner pemalas kepada
anggota-anggota yang lain.
2. Program Nasional Kita
Tujuan politik, ekonomi dan sosial yang
revolusioner dari satu partai untuk negeri tertentu dan jalan yang akan
dituntut bersama, diterangkan dengan "program nasional" yang
revolusioner. Program itu ialah penunjuk jalan bagi partai dan harus diakui,
dipahamkan, dipertahankan dan dikembangkan oleh tiap-tiap anggota. Perihal
program nasional kita dan sifat-sifatnya yang umum sudah cukup jelas saya
uraikan di dalam brosur Naar de republik Indonesia dan Semangat
Muda (yang masing-masing dikeluarkan bulan April 1925 dan Januari 1926).
Di sini masalah itu tidak akan diuraikan lagi dan silakan pembaca membaca
buku-buku kecil tersebut. Tetapi, demi memudahkan pembaca, saya lampirkan juga
program nasional itu (tidak dengan keterangan) di belakang buku ini.
3. Tugas dan Organisasi Partai
Partai itu menjalankan tujuan dan pelopor
(avantgarde) pergerakan di segala tingkatan revolusi. Pandangannya
lebih jauh dan senantiasa berjuang di barisan depan sekali dan, karena itu, ia
menjadi "kepala dan jantung" massa yang revolusioner. Di dalam "revolusi borjuasi"
Prancis (1789), avantgarde terdiri dari borjuasi yang revolusioner dan
kaum buruh terpelajar yang borjuis.
Merekalah yang mengepalai dan memikirkan
revolusi itu, sedangkan kaum buruh industri yang masih lemah dipergunakan
sebagai "tenaga budak", sebagai kuda-kuda. Kejadian seperti ini
mungkin juga terjadi di negeri jajahan yang borjuasi bumiputranya kuat tapi
tidak diberi kekuasaan politik oleh si penjajah sehingga mereka terpaksa
menjadi revolusioner. Di Mesir dan India, pengemudi gerakan kemerdekaan sampai
sekarang boleh dikatakan di tangan kaum intelektual yang borjuis.
Adapun yang berjuang di negeri-negeri
kolonial itu terutama sekali kaum buruh dan tani revolusioner. Di Indonesia
borjuasi bumiputra tak dapat memimpin, moril dan materiel.
Karena kondisi sosial dan ekonomi terlalu
lemah, kaum buruh mesti mendirikan cita-cita dan menyusun laskarnya sendiri.
Jika kaum borjuis, besar atau kecil, di Indonesia mau memasuki massa, mereka
jangan berjuang dengan kapital nasional dan parlementarisme tapi mereka mesti
berdiri di atas asas-asas buruh, nasionalisasi dan pemerintahan buruh dan tani.
Mereka mesti_ menjadi kaum buruh terpelajar dan berjuang dengan kaum buruh
untuk cita-cita buruh dan dengan logika.
Jika kaum terpelajar borjuis mau diakui
oleh massa sebagai teman, mereka mestilah berbuat lebih dari kawan-kawannya
segolongan yang ada di Mesir, India dan Tiongkok. Sebagai kelas, tentulah
mereka tak dapat berbuat begitu sebab dirintangi oleh keturunan, pendidikan dan
lingkungan mereka sendiri.
Kelas buruh di Indonesia tak bisa
mengharapkan sekalian buruh terpelajar pada borjuis kita, besok atau lusa, akan
menerjunkan diri ke dalam massa yang sedang berjuang itu. Tetapi beberapa orang
dari mereka (tidak sebagai kelas) "boleh jadi" masuk ke dalam barisan
baru sebagai laskar sukarela. Kaum terpelajar borjuis yang revolusioner jika
dengan mentah-mentah dimasukkan dalam partai buruh yang revolusioner, itu
berarti memborjuiskan kaum buruh kita. Di Indonesia, terutama, hal itu sama
artinya dengan "mengebiri", merampas perasaan revolusioner dan
cita-cita yang lanjut dari kaum buruh. Tak kan mungkin keluar tenaga dari kaum
buruh yang seperti itu. Partai seperti itu, "bukan ikan dan bukan
daging", bukan borjuis revolusioner proletar.
Malahan jika borjuasi Indonesia lebih kuat
dan lebih revolusioner dari sekarang ini, ia tak kan mau dan sanggup berjalan
lebih jauh dari "kemerdekaan politik", yakni merampas kekuasaan
politik dari imperialisme Belanda.
Pemecahan-pemecahan masalah ekonomi dan
politik yang radikal (dimisalkan ada borjuasi Indonesia yang revolusioner dan
kuat) hanya dapat dijalankan dengan merugikan kapital bumiputra itu sendiri.
Terhadap pemecahan itu, borjuasi yang dimisalkan itu niscaya tidak
menyetujuinya . Di tiap-tiap negeri yang terjajah, borjuasi bumiputra yang
revolusioner (terhadap imperialisme) itu dengan segera berubah menjadi
reaksioner buruh pada saat imperialisme dirobohkan. Tujuan akhir dari tiap-tiap
borjuasi bumiputra yang revolusioner adalah "politik" semata-mata.
Di India, Tiongkok, Mesir dan Filipina hal
itu sudah berbukti. Begitu pulalah segerombolan kaum borjuis kecil Indonesia.
Di dalam perjuangan politik mereka terhadap imperialisme Belanda, tersembunyi
cita-cita kepada harta dan kekuasan yang lebih besar. Mereka ingin menjadi
tuan-tuan tanah, saudagar kaya raya, bankir dan juga ingin menjadi gubernur,
menteri dan lain-lain. Pendeknya mereka ingin menjadi borjuis besar, seperti di
lain-lain negeri. Nisbah antara kapital dan tenaga, antara kapitalis dan buruh
serta sistem politik, ketiga-tiganya mereka kehendaki supaya tetap
kapitalistis. Dengan menggulingkan imperialisme Belanda, kaum borjuis kecil
Indonesia ingin kelak dapat menjalankan sekalian kekuasaan politik dan ekonomi
terhadap kaum buruh.
Tujuan buruh melewati batas
"anti-imperialisme". Mereka berniat, terang atau kabur, merobohkan
kaum kapitalis sama sekali. Kaum buruh Indonesia menghendaki pemecahan yang
radikal di dalam perekonomian, sosial, politik dan ideologi, sekarang atau
nanti. Bila sekiranya kelak sesudah imperialis Belanda ditentang dan
dimusnahkan hingga ke akar-akarnya, meskipun tak mungkin dalam arti kemenangan
nasional semata-mata, niscaya kaum buruh akan dan mesti memperkuat barisannya
melawan borjuasi.
Jadi, borjuasi Indonesia yang kecil,
apalagi yang besar hanya anti-imperialisme saja, sedangkan kaum buruh anti
kedua-duanya: imperialisme dan kapitalisme. Jadi,
buruh Indonesia jika dibandingkan dengan borjuasi revolusioner menghadapi
perjalanan yang jauh lebih panjang sebelum sampai kemerdekaan sejati. Jadi,
semestinyalah mereka lebih giat dan radikal dalam perjuangan dan sekarang pun
sudah begitu, seperti di negeri lain-lain.
"Soal organisasi" berhubungan
rapat sekali dengan cita-cita sosial, ekonomi dan politik, serta tingkatan
revolusioner dari kelas-kelas yang revolusioner. Menurut cita-cita dan
"liatnya" sekalian kelas yang revolusioner, bolehlah kita bagi laskar
nasional kita dalam: (1) barisan pelopor, yaitu terdiri dari kaum
buruh industri yang seinsaf-insafnya dan kaum buruh terpelajar; (2) cadangan
yaitu terdiri dari kaum buruh yang kurang insaf dan bukan kaum buruh yang
revolusioner yang di masa revolusi berjuang di bawah pimpinan dan berdiri di
sisi barisan pelopor.
Seringkali hubungan itu ditimbulkan oleh
pemusatan kerja. Pekerjaan partai sehari-hari ialah merapatkan anggota dengan
anggota, partai dengan organisasi "sepupunya", mengurus pembacaan anggota
partai, antara partai dan rakyat seluruhnya. Kadang-kadang hubungan itu
didatangkan pula oleh agitasi yang cocok dan benar.
Agitasi itu mesti didasarkan kepada
kehidupan massa yang sebenarnya. Tak cukup dengan meneriakkan kemerdekaan saja.
Kita harus menunjukkan kemerdekaan dengan alasan yang sebenarnya. Kita harus
menerangkan semua penderitaan rakyat sehari-hari seperti gaji, pajak, kerja
berat, kediaman bobrok, perlakuan orang atas yang menghina dan kejam. Seorang
agitator yang cakap setiap waktu harus siap sedia memecahkan sekalian soal yang
bersangkutan dengan kehidupan materiel Pak Kromo dengan benar dan revolusioner.
Ia juga harus senantiasa bersedia menarik dan memimpin Pak Kromo-Pak Kromo itu
kepada aksi politik dan ekonomi yang memperbaiki kebutuhan materiel mereka. Tak
boleh kita harapkan bahwa massa akan masuk ke dalam perjuangan karena didorong
cita-cita saja!
Massa (di Timur atau di Barat) hanya
berjuang karena kebutuhan materiel yang terpenting. Dengan perjuangan ekonomi,
seperti pemogokan atau pemboikotan serta ditunjang oleh demonstrasi politik,
kita akan dibawa kepada tujuan yang penghabisan!
Segala agitasi mestilah cocok dengan
keadaan tiap-tiap daerah. Penerangan terhadap seorang buruh industri tak boleh
disamakan dengan seorang tani sebab keduanya mempunyai kebutuhan materiel yang
lain-lain. Seorang tani di Jawa pun tak boleh disamakan dengan seorang tani di
Sumatera sebab keduanya mempunyai soal-soal tanah dan ekonomi yang berlainan.
Jika agitasi itu benar nyata dan mengenal
segala kebutuhan rakyat yang tergencet pada tiap-tiap daerah di Indonesia,
bilamana program tuntutan dan semboyan-semboyan kita "sungguh"
dipahamkan dan dirasai oleh seluruh lapisan penduduk, jika pemimpin partai
liat, tangkas dan cerdas mempergunakan sekalian pertentangan yang ada di
dalam masyarakat Indonesia, niscaya hubungan yang perlu
"dengan" — pengaruh yang diinginkan "atas" dan akhirnya
kepercayaan yang dibutuhkan " dari" — massa dapat diperoleh partai.
Pasal ini sudah lebih panjang daripada
maksud kita yang semula, apalagi bila ditambah pula dengan pembicaraan perihal
"teknik" aksi massa. Pun hal ini mestilah kita serahkan kepada
pembicaraan yang praktis karena kita tidak "menelanjangi" diri di
hadapan musuh dengan membukakan rahasia pun teknik perjuangan kita. Tetapi, di
sini mesti kita peringatkan bahwa soal "persenjataan" — meskipun hal
itu penting sekali serta sangat kuat menarik perhatian kaum revolusioner! —
bagi kita bukanlah soal hidup mati. Ia tunduk kepada soal politik dan organisasi
yang revolusioner. Dengan kata lain bahwa massa yang gembira dalam pimpinan
partai revolusioner yang berdisiplin baja, berkelahi dengan tangan serta suara
nyanyian yang revolusioner, akan merobohkan laskar imperialis sampai ke urat
akarnya.
Sebagai penutup pasal ini, boleh kita
tambahkan bahwa bagi kemenangan revolusioner, perlu dua faktor berikut ini.
1.
Faktor "objektif", yaitu sebuah tingkatan
dari tangan produksi dan kemelaratan massa. Tingkatan itu terutama di Jawa dan
di beberapa tempat di Sumatera dalam pandangan kita dianggap cukup.
2.
Faktor "subjektif", yaitu kesediaan bangsa
Indonesia yang mesti diwujudkan dalam suatu partai revolusioner yang
"sempurna" (teratur dan matang betul) dan keadaan-keadaan
revolusioner yang baik.
Untuk mencapainya, partai mesti mempunyai
disiplin; massa yang tidak senang itu harus di bawah pemimpinnya. Kemudian
dipecah-belah musuh-musuh dalam dan luar negeri. Lihat seterusnya Menuju
Republik Indonesia pasal "pukulan strategis".
Andaipun partai yang revolusioner tidak
dapat diperoleh dengan pembicaraan-pembicaraan akademis di dalam partai ataupun
tak ada kesempatan bagi bangsa kita yang sengsara dan dihina-hinakan,
senantiasa kita dapat mendorong partai itu ke dalam perjuangan ekonomi dan
politik yang besar ataupun yang menciptakan "disiplin" yang
diinginkan yang memberi pengaruh yang tak dapat ditinggalkan atas massa dan
kepercayaan yang dibutuhkan dari massa serta, selain itu keliatan, kecerdasan
dalam perjuangan. Itulah syarat-syarat yang akan membawa kita pada kemenangan.
Barisan penduduk yang terdiri dari kelas
menengah dan borjuasi yang lemah hanya akan turut berjuang bila terpaksa.
Akan terlampau panjang bila
diperbincangkan di sini dengan panjang lebar perihal satu-dua partai. Maksud
kita dengan itu ialah apakah kaum buruh dan kaum borjuis yang kecil-kecil mesti
dihimpunkan dalam "satu" organisasi nasional dengan "satu"
pusat pemimpin atau dipecah dalam "dua" organisasi dengan dua
pemimpin tetapi bekerja bersama-sama (Pada waktu ini kaum buruh — sebab sistem
yang pasti belum dipakai — boleh dikatakan belum tersusun dalam Partai Komunis
Indonesia (P.K.I.) dan bukan-buruh dalam serikat rakyat. Keduanya mempunyai
satu pengurus besar.).
Bagaimanapun wujud organisasi itu di dalam
satu koloni seperti Indonesia, kaum buruhlah yang paling aktif dan radikal.
Organisasi tidak boleh menghalang-halangi keaktifan itu. Sebaliknya, ia mesti
tahu mempergunakannya dan dapat menghidup-hidupkannya. Organisasi itu
semestinya menjadi gabungan dan pemusatan segala keaktifan kaum buruh.
Semestinya diikhtiarkan supaya kaum buruh
sebanyak-banyaknya duduk di dalam partai dan memegang pimpinan. Partai
revolusioner kita akan berkembang hidup sebesar-besarnya dan sesehat-sehatnya
bilamana benih-benih partai ditanam pada tiap-tiap pusat industri.
Demikianlah jadinya, kedudukan P.K.I. terbatas di dalam kota-kota, pusat-pusat ekonomi, pengangkutan; dan Serikat Rakyat (S.R.) harus menjadi partai yang bukan buruh. Selain di kota-kota, di desa-desa pun mestinya didirikan. Dengan jalan seperti itu, dimasukkanlah api revolusioner ke dalam P.K.I. dan S.R., kaum buruh yang setengah insaf dan belum insaf sama sekali tak boleh tinggal di luar organisasi. Mereka mesti diajak masuk ke dalam perjuangan ekonomi yang setiap waktu berubah menjadi perjuangan; mereka dihimpun dalam serikat-serikat kerja sebagai barisan cadangan yang berdiri langsung di bawah pimpinan P.K.I.
Demikianlah jadinya, kedudukan P.K.I. terbatas di dalam kota-kota, pusat-pusat ekonomi, pengangkutan; dan Serikat Rakyat (S.R.) harus menjadi partai yang bukan buruh. Selain di kota-kota, di desa-desa pun mestinya didirikan. Dengan jalan seperti itu, dimasukkanlah api revolusioner ke dalam P.K.I. dan S.R., kaum buruh yang setengah insaf dan belum insaf sama sekali tak boleh tinggal di luar organisasi. Mereka mesti diajak masuk ke dalam perjuangan ekonomi yang setiap waktu berubah menjadi perjuangan; mereka dihimpun dalam serikat-serikat kerja sebagai barisan cadangan yang berdiri langsung di bawah pimpinan P.K.I.
Kaum bukan-buruh yang setengah insaf dan
yang belum insaf sama sekali dalam politik dan ekonomi, juga tergencet mesti
dihimpun ke dalam koperasi rakyat yang juga merupakan barisan pembantu yang
berdiri langsung di bawah pimpinan P.K.I. dan S.R.
Demikianlah, P.K.I. mesti mempunyai
beberapa organisasi serikat kerja, koperasi dan serikat rakyat yang tiap-tiap
beraksi-massa langsung berada di bawah pimpinan P.K.I. Organisasi itu — yang
semangatnya dipengaruhi surat-surat kabar partai dan serikat kerja — merupakan
laskar revolusi nasional dalam perjuangan menentang imperialisme dan
kapitalisme Barat.
Jika satu partai revolusioner benar-benar
ingin menjadi pemimpin massa di Indonesia, terlebih dulu partai itu sendiri
harus dipimpin sebaik-baiknya. Organisasi partai ialah kesimpulan dari beberapa
susunan partai. Dengan kata lain, menjadi "tali nyawa" dari partai,
menjadi yang "terpenting", misalnya seperti penyusunan, pelatihan,
pendidikan bagi pemimpin dan anggota-anggotanya. Tambahan pula, partai mesti
berhubungan rapat dengan massa, terutama pada saat yang penting, dengan segala
golongan rakyat dari seluruh Kepulauan Indonesia. Dengan tidak berhubungan
seperti itu, tak kan ada pimpinan yang revolusioner.
Seorang anggota P.K.I. sedapat mungkin
adalah seorang buruh atau buruh terpelajar (bukan borjuis). Ia harus mengetahui
dan pandai menerangkan komunisme dalam teori dan praktik, taktik nasional dan
internasional. Di atas segalanya, ia harus lebih banyak dan lebih canggih untuk
melakukan pekerjaan revolusioner, yaitu pekerjaan menyusun dan menggalang
pertemanan. Seorang anggota S.R. biasanya adalah bukan buruh, tani, saudagar
atau pelajar (mahasiswa). Ia tak usah melakukan pekerjaan revolusioner sebanyak
yang dikerjakan anggota P.K.I cukuplah jika ideologinya anti-imperialis dan
menghendaki kemerdekaan nasional. Bila dipakai sistem satu partai, kaum buruh
dan bukan buruh dihimpun dalam sebuah organisasi yang revolusioner. Dalam
partai itu, golongan yang lebih "sadar" dan buruh terpelajar
merupakan sayap kiri. Sayap kiri inilah motor pergerakan Indonesia.
No comments:
Post a Comment