Selamat Datang, Senang bisa Berbagi, Semoga Bermanfaat

Saturday 26 January 2013

KEHARMONISAN HUBUNGAN ANTARA ETNIS BALI DENGAN ETNIS LAMPUNG


KEHARMONISAN HUBUNGAN
ANTARA ETNIS BALI DENGAN ETNIS LAMPUNG
(Studi di Kabupaten Lampung Selatan)

Oleh
DENI AFERO

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara etnis Bali dengan etnis non-Bali, mengapa konflik etnis Bali dengan etnis Lampung cepat membesar, bagaimana peran pemerintah dalam resolusi konflik, dan bagaimana kondisi realitas keharmonisan di Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam. Penentuan informen secara purposive sampling dengan memilih beberapa anggota masyarakat yang terlibat langsung pada konflik di Lampung Selatan dan beberapa tokoh adat Lampung. Informasi dianalisis guna menarik kesimpulan yang sesuai dengan kondisi realitas di lapangan dengan metode reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa. Pertama, kecenderungan untuk melakukan tindakan tidak terpuji etnis Bali membuat keresahan mengakibatkan etnis lain bersatu untuk melawan tindakan tersebut. Kedua, ada ego yang terbangun dan sikap saling membalas yang dilakukan antara etnis Bali dan Etnis Lampung. Ketiga,  pemerintah belum mampu menyelesaikan konflik antar etnis di Lampung Selatan. Keempat, keharmonisan hubungan antar etnis terutama antara etnis Bali dengan etnis non-Bali termasuk rendah.
Kata Kunci : keharmonisan, hubungan, etnis.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara yang terbentang luas dari Sabang sampai ke Merauke, memiliki sumber daya alam (natural resources) yang melimpah seperti untaian zamrud di khatulistiwa dan juga sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam bentuknya (Koentjaraningrat, 1980). Kemajemukan di indonesia merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya, namun semua itu menjadi berbeda ketika kemajemukan tidak dihadapi secara dewasa dan penuh dengan pemaknaan positif dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Semua kekayaan menjadi ancaman bagi keutuhan persatuan suatu negara yang sedang dalam fase berkembang.

Kondisi masyarakat Indonesia yang berdimensi majemuk dalam berbagai sendi kehidupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik. Ciri budaya gotong-royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku musyawarah dan mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik. Sangat wajar ketika ketegangan dan persinggungan terjadi dalam suatu masyarakat yang beragam, sebab bagaimanapun juga dalam masyarakat majemuk mesti terdapat persaingan dan justru dalam persaingan tersebut terdapat dinamika yang membentuk kedewasaan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang muncul. Kemajemukan pada masyarakat multi etnis merupakan kunci dalam kemajuan daerah tersebut, itu dikarenakan perbedaan etnis justru membangun nilai gotong royong dalam masyarakat guna terbinanya nilai kekeluargaan dimasyarakat yang penuh perbedaan. Dalam beberapa hal memang agama dan etnis sangat berbeda yang satu dengan yang lain, namun perbedaan tersebut bukanlah jurang yang membentuk skat pembatas nilai keharmonisan. Dalam beberapa etnis atau budaya, ada yang mencampur-baurkan nilai agama dengan nilai budaya, sebagai contoh sederhana, masyarakat etnis Jawa Abangan yang masih kental akan nilai agama yang menyatu dengan kepercayaan dalam budaya mereka. Selain itu juga, etnis Bali yang masih menyatukan nilai agama dengan budaya dan hampir tidak ada batasan. Seharusnya semua itu membuat keberagaman etnis bisa dikendalikan dalam kerangka doktrin agama yang menyatu dengan budaya dan menjadi pembatas tindakan anarkis suatu etnis. Perbedaan etnis merupakan kekayaan masyarakat indonesia, karenanyalah kita bisa mengenal perbedaan dan membuka pikiran kita dalam perspektif yang lebih luas tanpa harus kita pergi dari lingkungan tempat tinggal kita. Selain itu juga masyarakat yang multi etnis  akan membuat etnis mereka secara internal lebih baik dan berkembang tanpa terkungkung oleh zaman yang terus berkembang.

Menurut Amirulloh Syarbini dkk (2011: 60), manusia adalah makhluk yang paling mulia di dunia. Dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah lainnya manusia memiliki kelebihan dengan akal dan pikirannya. Manusia dapat membedakan yang hak dengan yang batil, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan. Namun demikian, kelebihan yang dimiliki manusia terkadang menjadikan manusia cenderung ekploitatif terhadap yang lainnya. Bahkan dengan sistematik melakukan perusakan alam yang semestinya dijaga dan dimanfaatkan. Menurut Haidlor Ali Ahmad (2010: 185), bangsa Indonesia hidup dalam masyarakat majemuk, masyarakat serba ganda, ganda kepercayaannya, kebudayaannya, dan agamanya. Kemajemukan itu dapat menimbulkan dis-integrasi sosial yang dapat mengganggu persatuan dan kesatuan. Sementara hal tersebut sangat dibutuhkan untuk mewujudkan stabilitas yang sehat dan dinamis guna terlaksananya pembangunan nasional. Pasca amandemen UUD 1945, jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan semakin kuat dengan dirumuskannya pasal 28E. Menurut Jaumin Ma’Arif (2004), kasus konflik antar aliran ini umumnya dililit oleh bias kepentingan. Lebih jauh ia mengatakan, masalah yang dipersoalkan melebar dan lebih condong kepada kepentingan politik. Ia menegaskan bahwa konflik antar etnis dan antar agama di Indonesia umumnya hanya bermula dari masalah yang sangat sederhana, yaitu fanatisme yang seharusnya hanya berlaku internal itu memasuki wilayah relasi sosial. Jadi jelaslah yang bersaing bukan misi etnis itu sendiri, melainkan organisasinya. Organisasi itu bersifat badan atau fisik, sedangkan misi itu bersifat rohaniah, banyak pertentangan antara etnis didasarkan pada aspek organisasi itu, yakni usaha mencari pengikut yang pada akhirnya selalu berhubungan dengan usaha mencari dana. Maka, terjadilah konflik antar etnis yang berbeda. Menurut Burhanudin dkk (1998), dalam hubungan antar dan intra etnis, pertentangan terjadi bila sumber daya manusia atau pengikut etnis tertentu merasa akan diambil oleh kelompok yang lain.

Kabupaten Lampung Selatan memiliki 17 (tujuh belas) kecamatan dan sedikitnya 251 (dua ratus lima puluh satu) desa di dalamnya juga 31 (tiga puluh satu) pulau mengelilinginya, diseluruh kecamatan mempunyai keanekaragaman agama dan etnis yang berkembang pasca kolonisasi pertama pada tahun 1905 ketika pemerintahan kolonial belanda baik itu secara kelompok, spontan ataupun sisipan dan transmigrasi pertama pada tahun 1948 setelah negara merdeka dari penjajahan jepang (BPS Lam-sel 2011). Kabupaten Lampung Selatan merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang sering terjadi konflik antar golongan, dan kondisi konflik tersebut dibiarkan terpelihara oleh pemerintah dengan tidak menyelesaikan akar permasalahan secara serius. Dari serangkaian konflik yang pernah terjadi di Kabupaten Lampung Selatan, penyelesaian hanya dilakukan secara sepihak, yaitu pemerintah dengan etnis yang bertikai, bukan antara kedua etnis kelompok yang didamaikan secara musyawarah dan mufakat.

Way Panji adalah salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Lampung Selatan, dan merupakan salah satu kecamatan yang di dalamnya terdapat berbagai corak kehidupan, baik itu agama atau etnis dan budaya. Ada beberapa desa yang di dalamnya terdapat berbagai agama seperti Agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Hindu dan berbagai etnis mengisi corak pergaulan di daerah itu. Penduduk dengan etnis Bali di Kecamatan Way Panji adalah salah satu masyarakat transmigran tertua di Provinsi Lampung khususnya Lampung Selatan. Kecamatan Kalianda merupakan daerah yang ketika kekuasaan dikendalikan oleh kolonial Belanda adalah wilayah yang dipergunakan untuk kolonisasi pertama dengan metode sisipan, yaitu pendatang di campur oleh masyarakat pribumi di daerah tersebut. Metode ini sangat efektif, dimana masyarakat pendatang dengan cepat membaur dengan masyarakat pribumi tanpa terpatok oleh budaya yang sudah melekat sebagai identitas  mereka, yang pada akhirnya memperkaya khasanah budaya di Kalianda itu sendiri. Kecamatan Kalianda merupakan kecamatan yang paling tenang di Lampung Selatan, tetapi Kecamatan Kalianda dikelilingi oleh kecamatan-kecamatan yang sering terjadi konflik di Lampung Selatan. Dengan kondisi demikian, kecamatan Kalianda secara otomatis memiliki potensi konflik, dan akhirnya menghambat mobilitas dan perekonomian di pusat kota Kabupaten Lampung Selatan tersebut. Itu terbukti ketika terjadi ketegangan di Kecamatan Sidomulyo, praktis kegiatan perdagangan di Pasar Inpres Kecamatan Kalianda terganggu dan sepi dengan pengunjung maupun penjual.
Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah, yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.             Bagaimana realitas perilaku etnis Bali di Kabupaten Lampung Selatan dengan etnis non-Bali di Kabupaten Lampung Selatan?
2.             Mengapa konflik etnis Bali dengan etnis Lampung cepat membesar di Kabupaten Lampung Selatan?
3.             Bagaimana peran pemerintah terkait resolusi konflik di Kabupaten Lampung Selatan?
4.             Bagaimana realitas keharmonisan antara etnis Bali dengan etnis Lampung di Kabupaten Lampung Selatan?
Tujuan Penelitian
1.             Ingin mengetahui realitas perilaku etnis Bali dengan etnis non-Bali di Kabupaten Lampung Selatan.
2.             Ingin mengetahui mengapa konflik etnis Bali dengan etnis Lampung cepat membesar di Kabupaten Lampung Selatan.
3.             Ingin mengetahui peran pemerintah terkait resolusi konflik di Kabupaten Lampung Selatan.
4.             Ingin mengetahui realitas keharmonisan antara etnis Bali dengan etnis Lampung di Kabupaten Lampung Selatan.
Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas maka penelitian ini diharapkan dapat:
                  1.               Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi empiris dan pengetahuan seputar keharmonisan dan kerukunan hidup dalam masyarakat yang majemuk, yang pada dewasa ini menjadi perhatian serius. Secara akademis penelitian ini nantinya bisa dijadikan referensi bagi proses penelitian selanjutnya.
                  2.               Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan/referensi tambahan, bagi masyarakat mampu secara tepat memposisikan realitas keanekaragaman suku, agama, dan budaya di kecamatan Way Panji dan dapat diketahui dampak positif jika masyarakat majemuk lebih menjunjung tinggi perbedaan.

TINJAUAN PUSTAKA

Teori-teori Keharmonisan Hubungan Antar Etnis
Menurut Roland Robertson (1988), ada beberapa teori tentang usaha untuk menciptakan kerukunan dalam kehidupan yang beragam itu adalah :
1.    Tradisionalisme dan warisan budaya bersama.
2.    Nasionalisme dan proyeksi kebudayaan bersama yang baru.
3.    Toleransi dan integrasi sosial yang majemuk.
Pengertian Keharmonisan Hubungan Antar Etnis
Menurut Amirulloh Syarbini dkk (2011: 73, 111), rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu. Berprilaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan-hubungan sosial tetap terlihat selaras dan baik. Kata rukun dan kerukunan mempunyai pengertian damai dan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Hunt dan Walker menyatakan (dalam Hartoyo, 1996), bahwa basis dari aspek interaksi dari integrasi ialah mengendurnya diskriminasi yang berakar pada perbedaan-perbedaan etnik, budaya dan agama  tersebut. Selain itu juga, menurut Ioanes Rakhmat (2011), untuk dapat membuat kemajemukan sebagai sebuah unsur pemersatu dan penginspirasi bangsa, setiap orang di Indonesia, apapun etnis dan aliran keagamaannya (atau aliran kepercayaannya), perlu memandang etnisnya sebagai komplemen atau unsur pelengkap bagi etnis lainnya. Sebab, unsur yang potensial dapat saling memperkaya, baik dalam doktrin antar etnis maupun dalam praktek kehidupan bermasyarakat.

Menurut Nasikun (dalam Hartoyo, 1996), masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri lebih dari 300 kelompok etnik yang terbagi menjadi beberapa agama, masing-masing hidup dengan ciri bahasa dan identitas kulturnya. Setiap etnis memiliki doktrin akan kerukunan dalam berkehidupan sosial, selain itu doktrin untuk selalu menjunjung tunggi nilai-nilai gotong royong atau saling membantu antar sesama. Menurut Azhari Akmal Tarigan (2011), untuk dapat memandang setiap etnis sebagai sebuah pelengkap bagi etnis lainnya yang berbeda, dan untuk dapat saling memperkaya antara etnis yang satu dan etnis yang lainnya, orang beretnis apapun harus sudah terbebas dari dogma superiorisme, yakni dogma atau akidah yang memandang etnis sendiri sebagai etnis pemenang yang mengungguli semua etnis lainnya dalam segala segi. Karena demikianlah nilai yang dikembangkan adalah nilai plural dan kebersamaan kita sebagai makhluk sosial.
Landasan Keharmonisan Hubungan Antar Etnis Menurut Masing-masing Agama
Landasan Keharmonisan Antar Etnis dalam Agama Islam
Dalam Al-Quran surat Al Hujurat (ayat 13) yang artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Landasan Keharmonisan Antar Etnis dalam Agama Kristen
Dalam surat Roma 15:5 yang berbunyi :
semoga Allah adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu sesuai kehendak Yesus Kristus”
Hal ini sesuai dengan perintah Al-kitab, surat Matius 22:37-39 yang berbunyi :
Kasihi Tuhan Allah-mu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan Kitab para Nabi.
Landasan Keharmonisan Antar Etnis dalam Agama Hindu
Dalam Reg Weda X.191 :2 yang berbunyi :
Berkumpul, berbicaralah satu dengan yang lain. Bersatulah dalam semua pikiranmu, sebagai halnya para Dewa pada zaman dahulu bersatu.
Landasan Keharmonisan Antar Etnis dalam Agama Budha
Dikutip dari prasasti batu kalingan No. XIII dari Raja Asoka yang berbunyi :
Jika kita menghormati agama sendiri dan mencela agama lain tanpa suatu dasar yang kuat. Sebaliknya agama yang lainpun dihormati atas dasar-dasar tetentu. Dengan berbuat demikian kita telah membantu agama kita sendiri untuk berkembang, di samping menguntungkan pula orang lain. Dengan berbuat sebaliknya kita merugikan agama kita sendiri dan mencela agama orang lain, semata-mata didorong oleh rasa bakti terhadap agamanya sendiri dengan berfikir : “bagaimana aku dapat memuliakan agama aku sendiri”. Dengan berbuat demikian malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu kerukunan yang dianjurkan dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia mendengarkan ajaran yang dianut orang lain.
Dasar-dasar Keharmonisan Hubungan Antar Etnis Menurut Pemerintah
Tentang Penanganan Konflik Antar Etnis
Dikeluarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 2012 tenang penanganan konflik sosial atas dasar Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G ayat (1),  dan Pasal 28J.
Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
Dirumuskanlah Undang-undang Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Sesuai Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2).
Bentuk-bentuk Keharmonisan Hubungan Antar Etnis
Unsur-unsur kerukunan antar etnis antara lain: 1) masyarakat ramah antar tetangga, 2) kehidupan yang terbangun harmonis, 3) gotong royong, 4) saling menutupi kekurangan, 5) cinta damai, 6) toleransi dalam beribadat, 7) menghormati hak orang lain, 8) selaras, 9) dinamika yang tenang, 10) tentram tanpa perselisihan diatas perbedaan, 11) menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, 12) menghindari ketegangan dalam pertentangan, 13) pembangunan merata dalam semua aspek, 14) seimbang antara hak dan kewajiban, 15) bersahaja, 16) saling membuka akan hal baru.
Faktor-faktor Pendukung Keharmonisan Hubungan Antar Etnis
Faktor Intern. Adalah adanya kesadaran dari setiap individu itu sendiri untuk melakukan hal-hal yang dapat membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan ini merupakan tanggung jawab dari individu itu sendiri seperti saling mengasihi, menyayangi, toleransi, dan saling bersilaturahmi.
Faktor Ektern. Adalah adanya kegiatan-kegiatan sosial yang diadakan oleh masyarakat itu sendiri seperti gotong royong, pembuatan parit jalan, karang taruna, risma, tolong menolong antar tetangga, dan ataupun aktivitas yang bersifat spontanitas.
Hambatan-hambatan Dalam Membangun Keharmonisan Hubungan Antar Etnis
Menurut Ioanes Rakhmat (2011), adapun beberapa faktor yang menghambat:
(1) Fundamentalisme. (2)Pandangan dan sikap pro-Barat dan anti-Arab versus pandangan dan sikap pro-Arab dan anti-Barat. (3) Kemiskinan yang masih mencirikan kehidupan bagian terbesar rakyat. (4) Politik oportunis devide et. (5) Keberpihakan pemerintah (pusat maupun daerah. (6) Keberagamaan yang irasional mitologis masih sangat kuat.
Pengertian Konflik Sosial
1.  Berstein. Menurut Berstein, konflik merupakan suatu pertentangan atau perbedaan yang tidak dapat dicegah. Konflik ini mempunyai potensi yang memberikan pengaruh positif dan negatif dalam interaksi manusia.
2.  Robert M.Z. Lawang. Menurut Lawang, konflik adalah perjuangan memperoleh status, nilai, kekuasaan, di mana tujuan mereka yang berkonflik tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.
3.  Ariyono Suyono Menurut Ariyono Suyono, konflik adalah proses atau keadaan di mana dua pihak berusaha menggagalkan tercapainya tujuan masing-masing disebabkan adanya perbedaan pendapat, nilai-nilai ataupun tuntutan dari masing-masing pihak.
4.  James W. Vander Zanden Menurut Zanden dalam bukunya Sociology, konflik diartikan sebagai suatu pertentangan mengenai nilai atau tuntutan hak atas kekayaan, kekuasaan, status atau wilayah tempat yang saling berhadapan, bertujuan untuk menetralkan, merugikan ataupun menyisihkan lawan mereka.
5.  Soerjono Soekamto. Menurut Soerjono, konflik merupakan suatu proses sosial di mana orang per orangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan (Ajat Sudrajat, 2012).

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, istilah penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lain. Dengan mengambil informan melalui teknik purposive, karena ditinjau dari sudut cara dan taraf pembahasan masalahnya serta hasil yang akan dicapai. Penelitian ini bermaksud mengetahui dan menjelaskan keharmonisan hubungan antara etnis Lampung dengan etnis Bali yang ada dikalangan Kabupaten Lampung Selatan. Dimana dewasa ini banyak daerah-daerah yang sering terjadi konflik dari awalnya hanya irisan-irisan yang kemudian berkembang benjadi gesekan antar etnis. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan makna luas akan arti kehidupan yang penuh dengan rasa solidaritas, plural, majemuk, dan penuh rasa saling hormat menghormati, dan harmonisasi sosial. Penelitian ini termasuk penelitian lapangan atau fild research, yaitu penelitian yang mengangkat data permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Metode yang digunakan adalah deskriptif yang  menggunakan analisa kualitatif dengan mengambil informan dari beberapa orang yang terlibat dalam konflik.
Fokus Penelitian
Dengan adanya fokus penelitian, akan menghindari pengumpulan data yang serampangan dan hadirnya data yang melimpah ruah. Oleh karena itu, penelitian ini akan difokuskan pada:
1.             Pada tokoh adat dan masyarakat yang terlibat langsung dalam beberapa konflik di Kabupaten Lampung Selatan, untuk mengetahui faktor-faktor konflik dan eskalasi massamudah berkembang.
2.             Tahapan meliputi prapersiapan, persiapan, dan pelaksanaan penelitian di Kabupaten Lampung Selatan.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lampung Selatan. Penetapan lokasi penetilian tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan diantaranya:
1.             Karena Kabupaten Lampung Selatan sangat sering terjadi konflik horizontal antar etnis dalam beberapa tahun terakhir.
2.             Besarnya potensi gesekan antar  etnis di Lampung Selatan.
3.            Beberapa konflik besar  antara etnis Lampung dengan etnis Bali  yang terjadi di Provinsi Lampung terjadi di Kabupaten Lampung Selatan.
Teknik Pengumpulan Data
1.             Teknik Studi Dokumenter
2.             Wawancara
3.             Teknik Analisis Data

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Dati II Lampung Selatan
Sejarah terbentuknya Kabupaten Dati II Lampung Selatan erat kaitannya dengan Undang-undang Dasar 1945. Di dalam Undang-undang Dasar 1945 bab VI Pasal 18 menyebutkan bahwa “Pembagian Daerah di Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Perkembangan selanjutnya, guna lebih terarahnya pemberian otonomi kepada daerah bawahannya yaitu diatur selanjutnya dengan Undang-undang Darurat Nomor 4 tahun 1956 tentang pembentukan daerah kabupaten dalam lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 14 Kabupaten. diantaranya Kabupaten Dati II Lampung Selatan beserta DPRD dan 7 (Tujuh) dinas otonom, yang ditetapkan pada tanggal 14 November 1956.

Dengan ditingkatkannya status Kota Tanjung Karang-Teluk Betung menjadi kota praja Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun 1959, praktis kedudukan ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Selatan berada di luar wilayah administrasinya. Usaha-usaha untuk memindahkan ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Selatan dan Wilayah kota madya Daerah Tingkat II Tanjung Karang-Teluk Betung ke Wilayah Administrasi Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Selatan telah dimulai sejak tahun 1968. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1981 tanggal 3 November 1981, ditetapkan Pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Selatan dari Wilayah Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung ke Kota Kalianda. Yang terdiri dari Kelurahan Kalianda, Kelurahan Way Urang dan Kelurahan Bumi Agung (Sejarah Terbentuknya Kabupaten Dati II Lampung Selatan, 2007).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Realitas Perilaku Etnis Bali Dengan Etnis non-Bali di Kabupaten Lampung Selatan
Mayoritas masyarakat etnis Lampung beragama Islam, sedangkan masyarakat etnis Bali beragama Hindu, Ketimpangan terjadi ketika kita menelaah kebiasaan etnis Bali yang memelihara atau mempunyai ternak hewan yang dianggap tidak lazim bagi umat muslim.
Ragam Konflik Antara Etnis Bali Dengan Etnis non-Bali
Berikut ini adalah beberapa konflik yang pernah terjadi antara etnis Lampung dengan etnis Bali di Kabupaten Lampung Selatan, yang pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir dengan berbagai penyebab konflik. Pada akhirnya menyebabkan arogansi harga diri untuk menyelesaikan konflik secara primordial dengan mekanisme kekerasan, tanpa mempertimbangkan akibat dalam jangka panjang.
1.            Warga Desa Bali Nuraga Dengan Warga Desa Sandaran
Pada awalnya, antara tahun 1982 pernah terjadi perselisihan antara warga Desa Bali Nuraga dengan warga Desa Sandaran yang diakibatkan oleh saling rebut areal kekuasaan antara calo agen yang berlatar belakang etnis Lampung dengan calo agen yang berlatar belakang etnis Bali dari Desa Bali Nuraga. Akibat perselisihan itu, berbuntut pada penyerangan yang dilakukan oleh warga Desa Bali Nuraga yang notabene adalah etnis Bali, tidak diketahui pasti jumlah korban tetapi dua rumah habis terbakar di Desa Sandaran yang diakibatkan penyerangan tersebut.
2.             Warga Bali Ketapang Dengan Warga Desa Tetaan
Kemudian pada tahun 2010, karena perkelahian antara pemuda Lampung dengan pemuda beretnis Bali, masyarakat Bali dari Kecamatan Ketapang menyerang Desa Tetaan Kecamatan Penengahan. Penyerangan tersebut menghancurkan gardu ronda dan pangkalan ojek di perempatan Gayam Kecamatan Penengahan, tidak diketahui secara pasti kerugian dan korban baik itu korban jiwa ataupun korban luka.
3.             Warga Bali Dengan Warga Desa Marga Catur
Setelah itu antara tahun 2011 terjadi lagi konflik antara warga Bali dengan warga Desa Marga Catur yang beretnis Lampung. Pertikaian terjadi diakibatkan karena saling senggol antara kedua kelompok pemuda pada saat berjoget di acara resepsi pernikahan warga Desa Marga Catur. Konflik meluas dan mengakibatkan korban luka dari pihak pemuda Bali.
4.            Warga Bali Napal Dengan Warga Desa Kota Dalam Sidomulyo
Setelah itu terjadi lagi konflik horizontal yang dikarenakan lahan parkir di Desa Sidomulyo antara warga Sidomulyo yang beretnis Lampung dengan warga Dusun Napal yang beretnis Bali di Tahun 2012 bulan Januari. Pertikaian dikarenakan Perebutan lahan parker. Karena terjadi cekcok antara tukang parkir, warga Desa Napal memanggil teman-temannya dan melakukan pengeroyokan di pasar Sidomulyo dan melakukan Penyerangan terhadap Desa Kota Dalam yang mengakibatkan beberapa orang warga Kota Dalam menjadi korban luka-luka. Pemuda Lampung pun melaporkan kejadian tersebut kepada tokoh adat Lampung, karena tidak terima dengan kejadian tersebut.
5.            Konflik Antara Etnis Bali Dengan Pendatang yang Beretnis Semendo di Kecamatan Palas
Pada tahun 2005 masyarakat Bali Agung Kecamatan Palas terlibat konflik dengan masyarakat Desa Palas Pasmah, penyebab terjadinya konflik pada saat itu adalah karena pertikaian pemuda ketika acara organ tunggal. Akhirnya kerusuhan bermuara pada penyerangan terhadap Desa Palas Pasmah dan beberapa rumah warga Desa Palas Pasmah terbakar. Kemudian pada tahun 2010 warga masyarakat Bali Agung kembali melakukan penyerangan, kali ini penyebab terjadinya konflik karena keributan antara pelajar SMAN 1 Penengahan Lampung Selatan yang beretnis Bali dengan pelajar lain yang beretnis Semendo. Karena perkelahian pelajaran  tersebut berbuntut pada penyerangan terhadap Desa Palas Pasmah.
6.            Warga Masyarakat Bali Dengan Masyarakat Desa Ruguk di Kecamatan Ketapang
Warga Bali pada Tahun 2009 di Kecamatan Ketapang menyerang (melempari) Masjid di Desa Ruguk, penyerangan dikarenakan suara Adzan yang dianggap terlalu kuat di masjid, karena hal tersebut masjid Desa Ruguk menjadi sasaran yang mengakibatkan rusaknya atap masjid akibat pelemparan tersebut. Penyerangan tersebut tidak mengakibatkan korban baik luka maupun korban jiwa.
7.            Warga Desa Bali Nuraga Dengan Warga Desa Patok Sidoarjo Kecamatan Way Panji
Pada saat malam takbiran Idul Fitri tahun 2012, para pemuda Desa Bali Nuraga melakukan kerusuhan/keonaran di depan masjid Sidoarjo Way Panji saat umat muslim sedang mengumandangkan takbir kemenangan atas puasa Ramadhan sebelumnya. Pemuda Bali Nuraga menganggap umat Islam melakukan kebisingan dengan menghidupkan petasan di wilayah tersebut, sedangkan bagi umat Islam dihampir seluruh penjuru dunia biasa dalam memeriahkan malam Idul Fitri dengan bertakbir dan memainkan petasan.

Penyebab Konflik Antara Etnis Bali Dengan Etnis Lampung
Pada subbab ini, penulis akan memaparkan kronologi penyebab konflik antara etnis Bali dengan etnis Lampung di Lampung Selatan pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012 berdasarkan temuan-temuan fakta di lapangan. Selain itu juga akan dijelaskan kondisi pasca bentrok di lampung selatan.
Penyebab Awal Konflik
Sekitar pukul 13.00 WIB, awalnya dua gadis Lampung pulang dari pasar Patok Sidoarjo Kecamatan Way Panji menuju Desa Agom Kecamatan Kalianda dengan berboncengan sepeda motor. Ketika melewati wilayah sepi yang masih terdapat banyak sawah warga, mereka didekati dengan 2 lelaki pengendara motor lain yang  berboncengan, yang juga notabene warga Desa Bali Nuraga Kecamatan Way Panji.
Peta Penyebab Konflik Membesar
Setelah kejadian tersebut, sekitar pukul 14.00 WIB warga Desa Agom yang diwakili orang tua kedua korban, Kepala Desa Agom, tokoh pemuda, dan tokoh masyarakat pergi munuju Desa Bali Nuraga. Maka menemui Kepala Desa Bali Nuraga untuk meminta pertanggung jawaban atas tindakan pelecehan warganya yang mengakibatkan kedua gadis harus dilarikan kerumah sakit. Kemudian Kades Bali Nuraga mengantar kerumah warganya yang menjadi pelaku jatuhnya 2 gadis Desa Agom. Terjadi dialog antara kedua Kades, orang tua korban, dan orang tua Pelaku. Kades Agom menginginkan pertanggung jawaban sepenuhnya atas warganya yang menjadi korban. Tetapi Kades Bali Nuraga tidak menyanggupi dan memberikan penawaran bahwa kerugian diselesaikan bersama yaitu setengah dari pihak Bali Nuraga dan setengah dikembalikan kepada orang tua korban.
Eskalasi Massa
Kompleksitas dari gesekan yang sering terjadi membuat masyarakat etnis Lampung menganggap ada kehormatan yang harus diperjuangkan. Pada sisi lain kalangan masyarakat etnis Bali menganggap bahwa mereka adalah satu keutuhan yang takkan bisa dipecahkan jika kebersamaan terus dijaga tanpa memperhatikan sumber masalah yang ada dan coba memecahkannya dengan jalan dialogis bersama. Akhirnya upaya perdamaian menjadi buntu, kedua etnis merasa ada hal penting menyangkut ego masing-masing etnis.
Akibat yang Ditimbulkan Karena Penyerangan
Penyerangan tersebut mengakibatkan sedikitnya 345 rumah porak-poranda akibat dirusak dan dibakar dan sekitas 103 rumah rusak ringan, tidak diketahui secara jelas korban tewas di hari Senin, dari harian Media Indonesia Online pada tanggal 30 oktober pukul 15.50 WIB menyebutkan 10 korban meninggal dunia pada hari senin tersebut. Sedangkan kompas.com merilis 9 korban tewas pada hari Senin. Sedangkan Menurut warga Lampung dari Desa Kedaton yang pada hari Senin 19 November menerangkan jumlah korban meninggal pada hari Senin 29 Oktober berjumlah 77 (tujuh puluh tujuh) orang. Keterangan ini sesuai dengan keterangan salah seorang anggota Korps Brimob yang bertugas di tempat kejadian, dia mengatakan bahwa Korban yang ditemukan hingga tanggal 17 November lebih dari 30 (tiga puluh) kantung mayat yang berhasil ditemukan.
Hasil Perdamaian Konflik
Kesepakatan perdamaian dicapai pada hari minggu 4 november 2012 yang di hadiri petinggi pemerintah Provinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, Tokoh adat Lampung yang diwakili oleh Temenggung Niti Zaman dan Syafrudin Husin juga tokoh adat Bali Lampung Selatan yang diwakili oleh Made Sukintre, Wayan Gambar, Made Sumite, Nyoman Gita, Putu Supandi, Jro Gede Suti, Sudarsana, Made Karyase, Mulyana, Made Suka. Dengan menandatangani Surat Pernyataan dan 10 poin perdamaian yang akan dijaga oleh kedua etnis khususnya dan seluruh etnis yang ada di Lampung Selatan umumnya.
Peran Pemerintah Dalam Resolusi Konflik
Hingga saat ini banyak wilayah di Indonesia yang terjadi konflik antar etnis, tetapi penanggulangan hanya bersifat sementara untuk meredam konflik di wilayah itu saja tanpa memperhatikan potensi konflik di daerah transmigran lain. Seharusnya pengelola transmigrasi memperhatikan benar wilayah tujuan dengan masyarakat yang menjadi target pemindahan baik itu segi etnis, agama, dan kebiasaan, agar tidak timbul kesenjangan antar pendatang dengan warga pribumi.
Dalam hal ini resolusi konflik sebenarnya belum terlembaga secara memadai, untuk itu diperlukan upaya membentuk dan merevitalisasi lembaga-lembaga, baik adat maupun pemerintahan, yang terkait dengan persoalan primordial itu secara lebih serius. Tujuan utamanya jelas agar potensi konflik yang melibatkan unsur etnis dapat menemukan jalur penyelesaian secara lebih cepat, berkeadilan, dan komprehensif.
Realitas Keharmonisan Antara Etnis Bali dengan Etnis Lampung di Kabupaten Lampung Selatan
Untuk kabupaten yang memiliki banyak indikator konflik, pencegahan harus menjadi pendekatan utama pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat. Aparat keamanan tidak berhasil menurunkan ketegangan dan mencegah kekerasan karena intervensi baru dilakukan ketika konflik sudah hampir meluas, pemerintah seharusnya memberikan perhatian serius kepada masyarakat melalui paguyuban atau organisasi di masyarakat agar peran pemerintah tetap memiliki power dimata masyarakat. Dalam kasus di Lampung Selatan ini, terlihat bahwa masyarakat tidak memiliki kepercayaan terhadap lembaga hukum di daerahnya, sehingga masyarakat memutuskan untuk terjun langsung dalam menyelesaikan permasalahan di masyarakat itu sendiri. Tetapi dengan keterbatasan masyarakatlah sehingga mereka mengumpulkan jumlah yang besar agar bisa menyelesaikan persoalan mereka. Masyarakat saat ini memang merasa jenuh dengan hukum yang terlihat berkurang dalam segi kualitas, maka dari itu, hukum harus kembali menciptakan keamanan dalam sisi kehidupan masyarakat, agar kepercayaan masyarakat kembali muncul dalam menyerahkan persoalan yang ada.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dengan melihat hasil penelitian dan pembahasan juga dengan memperhatikan rumusan masalah, maka terdapat beberapa kesimpulan antara lain :
1.      Pergeseran makna doktrin dalam etnis Bali memasuki wilayah prilaku tidak terpuji, dimana mereka menganggap etnis mereka superior dan menindas etnis lain tanpa menelisik akar permasalahan yang sedang dihadapi. Selain itu, etnis Lampung merasa ada nilai harga diri yang harus dijunjung tinggi ketika ada masyarakat di wilayahnya mendapat perlakuan yang tidak semestinya. Sehingga keharmonisan tidak terbangun secara fundamental antara etnis Bali dengan etnis non-Bali, baik itu Lampung sebagai pribumi atau dengan pendatang lain di Kabupaten Lampung Selatan. Tercatat sudah 9 (sembilan) kali terjadi ketegangan di Lampung Selatan dalam waktu ± 30 (tiga puluh) tahun terakhir.

2.      Kegeraman akan keresahan yang telah diperbuat dalam jangka waktu yang cukup lama dengan berbagai latar belakang masalah, membuat etnis Lampung di Provinsi Lampung dan etnis pendatang lain di Lampung Selatan merasa harus meyelesaikan rangkaian konflik dan perilaku tidak terpuji masyarakat etnis Bali di Lampung Selatan agar kecenderungan untuk mengulangi perbuatan yang tidak terpuji tidak terjadi di suatu hari mendatang. Sebab keresahan yang selama ini terjadi tidak akan berhenti sampai etnis Bali merasakan benar akibat dari tindakan tidak terpuji yang mereka bangun selama ini tanpa memikirkan keharmonisan yang seharusnya bisa dibangun dengan etnis lain di wilayah itu. Sleain itu, ada ego yang terbangun dan sikap saling membalas yang dilakukan, dan juga karena keamanan yang kurang ditingkatkan.

3.      Sesungguhnya pemerintah secara lembaga belum mampu menyelesaikan konflik yang terjadi di lingkungan hukumnya, meskipun telah ada undang-undang yang mengatur tentang penanganan konflik, tetapi itu hanya diatas kertas belaka tanpa ada pengawalan serius dilapangan. Ini yang pada akhirnya membangun opini masyarakat akan keterkaitan pemerintah terhadap konflik yang terjadi untuk kepentingan politik para pemimpin pemerintah di wilayah yang sering terjadi konflik horizontal karena perbedaan etnis dan agama.

4.      Perdamaian yang terjadi di Desa Agom Kecamatan Way Panji pada tanggal 21 November 2012, terdaapat beberapa desa di Lampung Selatan yang belum menyetujui perdamaian tersebut. Kondisi ini akan menjadi bom waktu untuk perdamaian yang ada di Lampung Selatan, karena pemerintah tidak memperhatikan benar keinginan perdamaian masyarakat yang terlibat konflik rasial di Lampung Selatan, selain itu masyarakat merasa perdamaian yang terjadi bukan merupakan win-win solution bagi kedua belah pihak yang terlibat konflik secara langsung. Dengan kata lain, kondisi hubungan antara etnis Bali dengan etnis Lampung tidak harmonis, terbukti dengan adanya fakta konflik dan resolusi tidak terbangun dengan baik.
Saran
Pembentukan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) harus diiringi dengan pendampingan dalam jangka panjang, perdamaian, Keharmonisan dan kerukunan akan mudah terlaksana jika ada forum bersama yang dianggap terhormat dan memiliki posisi tawar tersendiri dalam masyarakat. Pengawalan pemerintah harus bisa mengangkat simpati masyarakat dalam menjaga kerukunan di wilayahnya, bukan mengartikan FKUB sebagai organisasi yang superior melainkan memiliki daya pikat terhadap masyarakat.

Masyarakat yang berbatasan langsung dengan etnis lain atau pendatang agar bisa lebih dewasa dari masyarakat pribumi dalam menghadapi persoalan yang diakibatkan remaja atau pemuda mereka. Dan juga mengajarkan arti kebersamaan dalam keberagaman, bukan justru mendukung perilaku remaja dan pemuda mereka bersikap egois dengan etnis lain. Selain itu, peran tokoh adat, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat harus meluruskan makna doktrin kebudayaan dalam adat mereka secara harfiah agar penyimpangan tidak terus berkembang kepada generasi penerus yang seharusnya bisa mengangkat derajat nilai budaya etnis mereka kepada khalayak luas.

Perdamaian dalam masyarakat dan hidup penuh toleransi sesungguhnya bukan hal yang tidak mungkin terjadi, tetapi semua itu tidak akan terlahir dengan sendirinya tanpa melewati proses yang panjang. Seharusnya masyarakat menyadari betul pentingnya arti kedewasaan dalam menyelesaikan permasalahan secara adat, bukan justru mencari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam bermusyawarah dan bermufakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abineno. 1990. Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen. BPK Gunung Mulia. Jakarta.

Ahmad, Haidlor Ali, 2010. Dinamika Kehidupan Keagamaan di Era Reformas. Kementerian Agama RI. Jakarta.

Burhanudin. Jajat. Subhan. Arief. 1998. Sistem Siaga Dini; Unruk Kerusuhan Sosial. Badan Litbang Depag RI dan PPIM-IAIN Jakarta. Ciputat.

Danu, Shri. 2009. Pengendalian Diri Etika dan Toleransi. http://www.hindu-dharma.org/2009/07/pengendalian-diri-etika-dan-toleransi. Akses 31-07-2012.
Departemen Agama Republik Insonesia. Al Quran dan Terjemanya. CV Diponegoro.

Departemen. Dalam. Negeri. 2008. Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. http://www.depdagri.go.id/produk-hukum/2008/11/10/undang-undang-no-40-tahun-2008. Akses 15-12-1012.

                                             . 2010. Data Dasar Profil Desa/Kelurahan Patok Sidoarjo.

                                             . 2012. Undang-undang Penanganan Konflik Sosial. http://www.depdagri.go.id/media/documents/2012/05/29/u/u/uu_no.07-2012.pdf. Akses 15-12-1012.

Dhammika, Shravasti. 2006. Maklumat Raja Asoka. http://dhammacitta.org/pustaka/ebook/umum/Maklumat%20Raja%20Asoka.pdf. Akses 31-07-2012.

Hartoyo. 1996. (tesis) Keserasian Hubungan Antar Etnik, Faktor Pendorong dan Pengelolaannya. Universitas Indonesia. Jakarta.

Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.

Lembaga Alkitab Indonesia. Al Kitab Perjanjian Baru. Jakarta.

Ma’Arif, Jamuin. 2004. Manual Advokasi: Resolusi Konflik Antar-Etnik dan Agama. Ciscore Indonesia. Surakarta.

Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan. 2007. Sejarah Terbentuknya Kabupaten Dati II Lampung Selatan 14 November 1956.

Rakhmat, Ioanes. 2011. Peran Kaum Muda Indonesia dalam Membangun Kerukunan Umat Beragama: Tantangan, Peluang, dan Hambatan. http://countertheocracy.blogspot.com/2011/01/peran-kaum-muda-indonesia-dalam.html. Akses 31-07-2012.

Riva’i, Muhammad. 1984. Perbandingan Agama. Wicaksana. Semarang. (dalam Skripsi Ahmad Zarkasi. 1997. Kerukunan Hidup Beragama : Sebuah Deskripsi di Desa Bawang Kecamatan Padang Cermin Lam-sel).

Syarbini, Amirulloh. Al-ma’arif, Ucup, Pathudin. Kusaeri, Ahmad. HR Rodiah. Solehudin. Rahman, Elan, Zaelani. Komarudin, Oman. Maryama, Ima. 2011, Al-Quran dan Kerukunan Hidup Umat Beragama, PT Gramedia. Jakarta.

Sudrajat, Ajat. 2012. Pengertian dan Bentuk-bentuk Konflik Sosial. http://anaajat.blogspot.com/2012/10/pengertian-dan-bentuk-bentuk-konflik.html. Akses 03-01-2013.

5 comments:

Unknown said...

Hebat skali argumen anda... Tahukah anda... Bagaimana perilaku oknum etnis lampung.. Misalnya mencuri, menipu dan pembegalan.... Etnis lampung mulanya iri dgn fasilitas yg diberikan kepada etnis bali pd saat transmigrasi... Pendatang mendapat jatah tanah dan sembako sdgkan etnis lampung hanya gigit jari..disini saya melihat argumen anda masih mentah dan menilai sebelah pihak.... Pihak bali yg selaludiganggu dgn cara kriminal bersatu melawan,lalu terjadilah hubungan tdk harmonis dgn etnis lampung... Etnis bali tdk harmonis dgn suku lain?... Anda salah besar... Ditempat lain, misalnya kalimantan, sulawesi, palembang dll.. Etnis bali hdp rukun dgn etnis asli... Karena mereka saling menghargai... Sblm anda menulis suatu argumen yg bersifat kritis sebaiknya anda cek dulu langsung kemasyarakat dilampung, tanyakan pendapat mereka ttg etnis lampung selain etnis bali.... Argumen anda bersifat provokasi... Bijaklah kawan

Anonymous said...

Tulisan lo, hnya menyudutkn satu etnis saja,

lo gx ngliat kslahn dr etnis lain.a...
Oiya untk etnis slain bali knpa Begal, tkang palak, bajing lncat, knapa gak lo tulis dsna..
W bkn Bali ,dan Lampung

Unknown said...

Trimakasih atas Partisipasinya yg membangun, mohon maaf baru dilihat.

Tulisan ini dibuat berdasarkan Fakta Sejarah dengan mewawancarai beberapa saksi Hidup, baik itu anggota masyarakat biasa maupun tokoh adat Lampung yg bisa mewakili...

kejahatan seperti Begal, tkang palak, bajing lncat dll memng banyak disekitar kita, tetapi itu smua tidak ad hubungannya dengan pemicu konflik di Lampung Selatan.

Terimakasih telah mengunjungi Blok Saya, Mohon Maaf jika kurang berkenan.

Unknown said...

Terlepas dari sikap Tendensius yg ada, itu semua lahir dikarenakan pembebasan lahan yang belum selesai oleh pemerintah masa itu.

Tulisan saya sesungguhnya tidak menyalahkan Etnis manapun, tetapi pengelolaan konflik di tataran elit yang menyebabkan itu semua terjadi.

Dalam tulisanpun sudah di tuangkan wilayah penelitian, itu diperuntukkan pembaca agar tidak menggeneralisir kondisi di suatu daerah pada daerah lain....

Sesungguhnya dalam Al-Quran, saya akan mendapat Azab yang besar jika memberikan informasi yang salah dan membahayakan orang lain.

Tulisan ini dibuat untuk kita renungkan solusi konflik tanpa ada campur tangan elit politik agar perdamaian ttap trjaga walau Dunia ini Kiamat.

kita semua sangat mengharap perdamaian yang hakiki di Lampung Selatan, dlam upaya membangun negeri yang tercinta ini.
Trimakasih Brother atas Masukannya...

Unknown said...

Semoga bermanfaat...