SEKILAS
TENTANG GERAKAN KEMERDEKAAN DI INDONESIA
1. Kegagalan Partai Borjuis
Sesungguhnya bukan kualitas pimpinan itu
sendiri yang menyebabkan partai-partai borjuis Indonesia "beriring-iringan
patah di tengah". Para penganjur, seperti Dr. A. Rivai dan Dr. Tjipto,
niscaya akan memegang peranan yang jauh berlainan sekali di dalam gerakan
kemerdekaan Indonesia
jika di sini ada kapital besar milik bumiputra. Lambat laun, dengan sendirinya,
mereka akan sampai pada program nasional borjuis yang dengan perantaraan satu
organisasi dan taktik yang cocok, sebagian atau seluruhnya, dapat diwujudkan.
Karena kapital besar bumiputra tidak ada,
program nasional dan organisasi mereka sebagai partai borjuis tak tahan hidup.
Mereka dibesarkan oleh pendidikan borjuis secara Barat sehingga tidak
tercerabut massa Indonesia dan tidak berperasaan
akan mencari logika untuk mendapat program nasional yang proletaris. Partai
borjuis yang didirikan dengan perlahan-lahan, lenyap sama sekali, "hidup
enggan mati tak mau" atau tinggal namanya saja yang hidup.
a. Budi Utomo
Budi Utomo — didirikan pada tahun 1908 —
adalah sebuah partai yang semalas-malasnya di antara segenap partai-partai
borjuis di Indonesia.
Seperti seekor binatang pemalas, ia merana sombong karena umurnya panjang.
Karena ia tak mendapat cara-cara aksi borjuis yang radikal dan tidak berani
mendekati dan menggerakkan rakyat maka dari dulu sampai sekarang, kaum Budi
Utomo menghabiskan waktu dengan memanggil-manggil arwah yang telah lama
meninggal dunia. Borobudur yang kolot, wayang dan gamelan yang merana, semua
basil "kebudayaan perbudakan" ditambah dan digembar-gemborkan oleh
mereka siang malam. Di dalam "lingkungan sendin" kerapkali
dukun-dukun politik itu menyuruh Hayam Wuruk — Raja Hindu atau setengah Hindu
itu — dengan laskarnya yang kuat berbaris di muka mereka. Di luar hal-hal gaib
itu, paling banter hanya dibicarakan soal-soal yang tak berbahaya. Di dalam
Kongres Budi Utomo berkali-kali (sampai menjemukan) kebudayaan dan seni Jawa
(?) dibicarakan. Soal yang penting, yaitu mengenai kehidupan rakyat di Jawa —
jangan dikata lagi di seluruh Indonesia — tak pernah disentuh, apalagi
diperbincangkan mereka. Belum pernah, barangkali, diadakan suatu aksi untuk
memperbaiki nasib Pak Kromo yang tidak hidup di zaman Keemasan Majapahit,
tetapi di dunia kapitalistis yang tak memandang bulu. Panjangnya umur Budi
Utomo sebagian besar diperolehnya dari "mantera-mantera" pemimpinnya,
dari hasil "main mata" dengan pemerintah dan dari hasil kelemahan
teman seperjuangannya. Sebuah semangat kosong seperti Budi Utomo dapat diterima
oleh pemerintah seperti Belanda.
Selain itu, Budi Utomo tidak menumbuhkan
cita-cita "kebangsaan Indonesia". Fantasi "Jawa-Raya",
yakni bayangan penjajahan Hindu atau setengah Hindu terhadap bangsa Indonesia
sejati, langsung atau tidak, menyebabkan timbulnya keinginan akan Sumatera
Raya, Pasundan Raya atau Ambon Raya dan lain-lain.
Budi Utomo yang mengangkat kembali
senjata-senjata Hindu-Jawa yang berkarat dan sudah lama dilupakan itu, sungguh
tidak taktis dan jauh dari pendirian nasionalis umum. Perbuatan itu menimbulkan
kecurigaan golongan lain yang mencita-citakan persaudaraan dan kerja sama
antara penduduk di seluruh Indonesia (bukan antara penjajah satu terhadap
Iainnya). Dengan jalan sedemikian, Budi Utomo menimbulkan gerakan ke daerah
yang bila perlu (misalnya Budi Utomo kuat), dengan mudah dapat dipergunakan
imperialisme Belanda. Dengan keadaan seperti ini, keinginan "luhur"
yang satu dapat diadu dengan yang lain, yang akibatnya sangat memilukan,
Indonesia tetap jadi negeri budak.
b. National Indische Party
Dengan pikiran pincang dan ragu-ragu tidak
dapat juga N.I.P. yang didirikan pada tahun 1912 "mencium" kebangsaan
Indonesia. Pohon-pohonan yang terapung-apung — indo-indo Eropa itu — berdiri
dengan sebelah kakinya di sisi jurang imperialisme dan sebelah lagi di sisi
jurang kebangsaan Indonesia. Yang terutama tidak mempunyai cita-cita nasional
yaitu borjuasi Indonesia; masa bercerai-berai. Karena itulah, satu program nasional
yang konstruktif dan konsekuen tak dapat diwujudkannya. Rumpun
"Indonesisme" ala Douwes Dekker ialah cita-cita dari Belanda Indo
yang tidak kurang imperialisisnya daripada Belanda totok, mereka merasa
dikesampingkan oleh yang tersebut belakangan dan itulah semangat yang
dikembangkannya. Mereka meminta "persamaan" dengan totok dan
kadang-kadang dibisikkannya perkataan kemerdekaan. Maksud mereka yang
sesungguhnya mau membagi kekuasaan, satu orang separo diantara mereka berdua.
Karena si totok kerapkali terlalu banyak mengambil bagian untuknya sendiri, si
Indo mengancam "bekerja sama dengan Inlander". Cap yang lebih dalam
tak dapat kita tempelkan kepada kebangsaan Belanda Indo itu. Mereka tidak
berbeda coraknya dengan bangsa Hindu dan Muslim di zaman perang saudara dulu.
Tatkala Si Jenaka Van Limburg Stirum
"pelayan liberal dari kapital besar" memberikan pekerjaan yang
menguntungkan Teeuwen dan Co waktu itu, program N.I.P. mencapai tujuannya tanpa
menumpahkan darah.
Douwes Dekker berjalan terus; untuk mencapai
itu, dia menganggap perlu memakai kekuatan bumiputra. Dengan perkataannya yang
kabur tentang hak dan kemerdekaan, tertariklah Dr. Tjipto, Soewardi dan Co ke
dalam N.I.P. Kejadian ini memberi jiwa kepada pohon kebangsaan Indonesia yang
tidak dikenal di seluruh pergerakan Indonesia.
Satu cita-cita modern tentang kebangsaan
yang jauh lebih sehat dan lebih luas daripada fantasi Jawa Raya (cita-cita
penjajahan Hindu dan kasta-kasta) boleh dikatakan lahir di seluruh Kepulauan
Indonesia. Tetapi, sesudah Dr. Tjipto, Soewardi dan Co duduk di dalam N.I.P.,
orang betul-betul memperhatikannya; di sana dapat dilihat satu pertentangan
antara anggota-anggota perkumpulan itu. Di satu pihak berdiri Indo-Borjuis yang
dididik secara imperialistis, sombong dan penuh curiga, di pihak lain berdiri
bumiputra yang ekonomi dan politiknya tergencet, diperas dan diinjak-injak.
Sebuah asimilasi baik sosial ataupun ideologi belum pernah tercapai. Seorang
anggota N.I.P. merasa sangat senang mendapat pembagian kerja 50 banding 50
dengan si totok yang sangat dibenci itu.
Pengangkatan Teeuwen menjadi aggota Dewan
Rakyat, kemudian menjadi pegawai tinggi, sesungguhnya menjadi obat yang mujarab
buat penyakit politik N.I.P.
Jangankan aksi revolusioner, mogok saja
jauh dari keinginan Indo anggota N.I.P. Apalagi revolusi meminta hubungan yang
rapat serta asimilasi sejati dengan bangsa Indonesia, bukan dengan
priyayi-priyayi yang bersih saja, melainkan juga dengan Pak Kromo. Dan yang
lebih utama, pembagian kekuasaan politik dengan si Inlanders yang terbesar
jumlahnya.
Dan pemogokan yang mungkin berubah menjadi
revolusi meski sekecil apa pun, tentulah takkan pernah cekcok dengan
kepentingan dan ideologi tuan tanah dan pegawai-pegawai Belanda-Indo.
Selama perkataan "hak dan
kemerdekaan" tetap tinggal gelap, selama itulah Belanda-Indo dapat
bergandengan tangan dengan priyayi-priyayi Jawa. Tetapi, pertentangan kelas
yang beberapa tahun belakangan ini terbukti dalam pemogokan maka keluarlah
nasionalis-imperialis (nasionalis menurut sebutan dan imperialis menurut
perbuatan) dari "nasional" Indische Party.
Apa yang diidamkan oleh Indo anggota
N.I.P. sekarang dibukakan oleh I.E.V.: hak tanah dan fasisme. Anggota N.I.P.
bumiputra umumnya lebih radikal dari Belanda Indo.
Akan tetapi, mereka terkungkung dalam
"kebangsaan Douwes Dekker" (satu teori yang menggembirakan perihal
"darah Timur dan perasaan Timur") yang bagian ekonominya ditutup
dengan wardisme yang kacau itu. Sekiranya N.I.P. mempunyai seorang
pemimpin yang sanggup mempertalikan kebangsaan Indonesia dengan program
proletaris dan sanggup menarik kaum buruh ke dalam partai itu, niscaya N.I.P.,
meskipun ditinggalkan oleh Belanda-Indo yang fasistis itu, dapatlah hidup terus
dan boleh jadi lebih kuat dari yang sudah-sudah.
Tetapi sekali lagi, sebab tak ada borjuasi
bumiputra yang modern maka semangat yang begitu sehat dan revolusioner seperti
Dr. Tjipto tak mendapat tempat dalam pergerakan revolusioner yang borjuis.
Sebaliknya, daripada mendekati massa berulang-ulang, mereka lebih suka merintang-rintang
waktu dengan kerja yang tak layak baginya, yaitu memanggil-manggil arwah
kebesaran (Hindu dan Islam) yang telah meninggal dunia. Satu nasionalistis "maya" yang sejati.
c. Sarekat Islam (S.I.)
Sarekat Islam pada tahun 1913 tampil ke
muka disertai suaranya yang gemuruh. Perhimpunan ini adalah penyambung aksi
massa Timur setengah feodal yang sudah berabad-abad mengalami penindasan.
Tetapi, ia bukanlah suatu aksi massa yang teratur, tetapi manifestasi dari
perasaan massa yang kurang senang di bawah pimpinan saudagar-saudagar kecil.
Dengan melibat-libatkan agama,
dikumpulkannya si Kromo ke dalam satu organisasi yang sangat picik. Dan pada
permulaannya ditujukan untuk menentang saudagar-saudagar Tionghoa.
Di dalam perjuangan ekonomi antara
saudagar bumiputra dan Tionghoa tampak betul kelemahan yang disebut duluan.
Kecurangan pemimpin S.I. menyebabkan dan menimbulkan datangnya kekalahan
ekonomi. Dengan berhentinya gerakan, terhenti pulalah kegiatan
saudagar-saudagar kecil di dalam S.I. Jika kita mau menamakan paham campur aduk
antara Islam, kebangsaan reformisme dan demagogi dari pemimpin-pemimpin S.I.
itu "politik", maka sekarang kita pandang S.I. sudah menginjak
tingkatan "politik". Pada tingkatan politik ini, berkat pengaruh kaum
revolusioner di Semarang, dapatlah mereka mengadakan aksi-aksi ekonomi
pemogokan "liar".
Massa yang kurang senang yang bersatu
dalam S.I. tak dapat menjadi sendi aksi massa yang teratur. Untuk itu, pemimpin
S.I. tak mempunyai pengetahuan sedikit pun perihal pertentangan kelas, taktik
revolusioner dan kepemimpinan. Tambahan pula program revolusioner yang
konstruktif dan konsekuen, kecakapan organisatoris dan kejujuran administrasi
tak ada. Pergerakan S.I. yang permulaannya demikian hebat dan menarik perhatian
umum — hingga kerapkali disamakan dengan gerakan Charterisme — tampaknya menang
hanya karena beroleh adat menjongkok-jongkok.
Disebabkan kebimbangan dan kelemahan aksi
S.I. itu, pergilah mereka yang kecewa dan yang lebih radikal-islamistis borjuis
mengambil jalan yang salah. Segala alat-alat feodal seperti mistik, jimat-jimat
dan mantera yang sudah lama terkubur diambil mereka dan dipergunakannya untuk
menentang imperialisme, dan tentulah mereka jadi hancur luluh.
Meski Afd. B. dari S.I. berhasil kiranya
merangkak-rangkak di bawah tanah lebih lama dan pada waktu yang diperkirakan
tepat lalu menyerbukan diri ke dalam perjuangan, ia tidak akan mendapat hasil
selain dari pemberontakan dan huru-hara agama seperti yang sudah berulang-ulang
terjadi di Indonesia.
Organisasi S.I. mati ketika kaum
revolusioner Semarang di tahun 1921 membuang disiplin partai (trade mark
Haji A. Salim). Apa yang terjadi sesudah itu tak lain dari perpecahan anggota
S.I., yang paling aktif pergi masuk S.R. dan P.K.I. Golongan Muhammadiyah
dengan segala kejujurannya menerima subsidi dari tangan pemerintah
"kafir" untuk sekolah Islam. Kedua Haji yang termashur itu — Agus dan
Tjokro — tak dapat lagi meniup gelembung sabun Islam dengan patgulipat syariat
yang lama dan yang baru dipikir-pikirkannya.
2. Bagaimana Sekarang?
Di dalam perjuangan yang luar biasa
beratnya selama beberapa tahun yang lalu, berhasillah P.K.I. dan S.R.
menghimpun kaum buruh dan revolusioner dari B.U., N.I.P., dan S.I. untuk
bernaung di bawah panji-panjinya. Tak ada partai lain yang sudah memberikan
korbannya seperti P.K.I. dan S.R. Beribu-ribu anggota yang sudah tertangkap,
berpuluh-puluh yang sudah dibuang, dipukul atau dibunuh. Sungguhpun begitu,
masih diakui BENDERA-nya di seluruh pulau, bukit, gunung, kota dan desa
(Indonesia). Ia dipakai menjadi lambang kemerdekaan yang sekian lama
diidam-idamkan.
Dalam beberapa aksi daerah untuk tujuan
yang kecil-kecil, P.K.I. dan S.R. sudah menunjukkan kekuatan dan kecakapannya.
Akan tetapi, untuk mengadakan satu aksi nasional umum (apalagi di lapangan
internasional), mereka betul-betul belum kuasa. Hal ini, atas nama kemerdekaan
55 juta manusia, tak boleh didiamkan. Kalau mereka berbuat seperti itu pula,
niscaya akan berarti menjatuhkan diri ke dalam kesalahan seperti yang
terus-menerus dilakukan oleh partai-partai borjuis (terutama partai Tjokro
& Co). Tatkala muncul Larangan Berkumpul pada penghabisan tahun
yang lalu, kita tidak menunjukkan perasaan tak senang. Kini sesudah lebih
delapan bulan masih saja belum ada sesuatu yang terjadi. Manakah rakyat yang
beratus ribu atau berjuta-juta di jawa, Sumatera, Sulawesi yang langsung
berdiri di bawah pimpinan atau tunduk ke bawah pengaruh kita? Kemanakah
perginya, dalam waktu delapan bulan itu, kaum revolusioner yang setia terhimpun
di dalam V.S.T.P, S.P.P.L., S.B.G., S.B.B. dan lain-lain, serta beberapa juta
yang tidak diorganisasi tetapi yang bersimpati kepada kita? Adakah kita dengan
segera mengerahkan dan menarik rakyat untuk membalas dendam atas kelahiran Larangan
Berkumpul, masa penangkapan dan pembuangan serta kematian saudara Soegono,
Misbach dan lain-lain dengan satu aksi massa yang sepadan, tetapi dijalankan
dengan gembira.
Tidak, kita sekali-kali tak menangkis
serangan lawan sehingga timbul sekarang pertikaian yang tak dapat
dihalang-halangi dalam barisan revolusioner, dan anggota yang berdarah anarkis
mengambil jalan sendiri serta menarik kawan-kawannya.
Selain seksi-seksi kita yang
baik, yang sangat diharapkan, seperti Sumatera Barat, Medan, Semarang,
Surabaya, (semuanya mana yang tidak?) menderita keputusan dan kelemahan
organisasi yang tak mudah ditolong lagi.
Bila kita membalas Ultimatum Desember
dari imperialis Belanda dengan sepak terjang komunistis yang sempurna, niscaya
kekalahan kita tidak seperti sekarang. Sebusuk-busuknya pengorbanan materiel
(penangkapan, pembuangan, pembunuhan), tak akan lebih besar dari sekarang,
tetapi kemenangan politik dan moral niscaya tinggal tetap. Dan siapakah yang
dapat mengatakan apa yang bakal kita peroleh dalam keadaan yang sebaik-baiknya?
Bagaimana larangan berkumpul tidak kita
jawab secara komunistis dan selama delapan bulan itu kita terpaksa kerja di
bawah tanah. Pada waktu itu, kita kehilangan kawan yang sebaik-baiknya dengan
percuma, selain itu, saat-saat yang sangat bahagia, terutama psikologi yang
susah kembali dan masih banyak.
Di sini bukan tempatnya memperbincangkan
hal itu lebih lanjut, pun bukan tempat untuk memeriksa kepada siapa patutnya
dipikulkan kesalahan itu: pada seksi-seksi, pada pimpinan atau pada lain hal?
Biarlah kita serahkan hal ini kepada
"riwayat" dan kepada organisasi yang kelak menyelidiki, mengapa
kesempatan yang sebaik-baiknya itu kita biarkan saja lenyap. Di sini pun bukan
tempatnya untuk mengumumkan kekuatan laskar kita saat ini, serta pengaruh kita
terhadap massa dalam keadaan yang sulit ini; demikian pun, maksud-rnaksud kita
dan taktik kita pada yang akan datang, juga karena kita sekarang terpaksa
bekerja di bawah tanah (ilegal). Jadi, untuk kepentingan pergerakan,
sangat banyak yang mesti dirahasiakan, yang di belakang hari akan kita
ceritakan kepada kawan-kawan seperjuangan dan kepada mereka yang menyetujui
kita (Harap diperhatikan sungguh-sungguh! Maksud kita aksi massa dan bukan putch!).
Harap dicamkan sekali lagi bab IX.
Semestinya kita dengan segera mengorganisasi dan memimpin pemogokan dengan
tuntutan yang cocok dan semboyan-semboyan yang jitu untuk menentang dan
menjawab larangan berkumpul itu. Sekiranya
dari aksi seperti itu pecah revolusi, kita mesti terima. Berpikir dan berbuat
lain dari yang seperti itu tidaklah komunistis!
Pekerjaan "ilegal" penuh dengan
bahaya. Sambil lalu hal itu patut dan mesti juga kita uraikan di sini.
Pekerjaan legal dan hanyalah pekerjaan legal yang melahirkan organisasi,
pembicara, organisator dan pemimpin. Majalah, partai dan pidato-pidato yang
legal dapat mendidik bangsa kita yang tercecer itu melalui cara yang berfaedah
sekali untuk jadi ahli politik dan menghidupkan pikiran umum revolusioner yang
penting itu. Sebaliknya, di dalam satu negeri yang sedang dalam transformasi
seperti Indonesia, pekerjaan ilegal mudah sekali terperosok ke dalam anarkisme,
huru-hara atau kepercayaan akan jimat yang sangat merugikan itu. Segala macam
yang bersangkutan dengan organisasi dan ideologi yang sudah lama kita peroleh
akan lenyap kembali disebabkan ilegalitas yang "tidak pada waktunya".
Provokasi lawan mudah menjatuhkan pemimpin-pemimpin kita yang kurang
berpengalaman dan juga menghancurkan organisasi sama sekali.
Organisasi legal "harus
bersedia" untuk menciptakan suatu organisasi ilegal pada waktu revolusi.
Hubungan rahasia, rapat rahasia, percetakan rahasia, dan markas mencetak
rahasia. Apabila larangan berkumpul dan berorganisasi sekonyong-konyong
dikeluarkan, organisasi itu harus bekerja terus dengan teratur. Organisasi
ilegal mesti selamanya berhubungan dengan massa dan tak boleh sekali-kali
memisahkan diri darinya. Ia mesti senantiasa mengetahui perasaan dan keinginan
massa. Karena itu, is mesti mempunyai badan-badan yang cukup dan orang-orang
yang bekerja pada badan partai "bona fido", yaitu
perkumpulan-perkumpulan yang masih diizinkan oleh pemerintah. Kalau tidak
berhubungan dengan massa dan keadaan yang sesungguhnya, sama halnya dengan
sebuah kapal. selam yang tidak mempunyai kaleidoskop.
Dengan bekerja legal atau ilegal, kita tak
boleh sekalikali melupakan senjata revolusioner kita, yakni aksi massa yang
teratur. Larangan berkumpul dan bersidang harus kita patahkan dengan aksi massa
kita yang teratur, supaya "atas" pemandangan yang dalam dan tenaga
yang besar dapat diteruskan barisan kita menuju kemerdekaan yang sepenuhnya.
Apakah kita memang bekerja di bawah tanah?
Pertanyaan seperti itu berulang-ulang timbul kepada kita. Ini berhubungan
dengan soal pernahkah kita mempunyai tenaga yang cukup di dalam partai, yang
tidak menghiraukan segala rintangan, setia menjalankan aksi massa yang teratur.
Seterusnya, apakah pendidikan Marxistis benar dan cukup lama dijalankan
sehingga kaum buruh kita sudah mempunyai kemantapan Marxistis, kelenturan
Leninistis? Bila hal ini tidak dan belum terjadi, niscaya satu ilegalitas yang
dipaksa akan menimbulkan kakacauan dalam seluruh gerakan revolusioner di
Indonesia. Kaum yang bukan buruh akan memegang komoditi dan menuntun partai
kepada putch atau anarkisisme sehingga akhirnya hancur sama sekali. Bahaya ini akan
semakin besar karena pemimpin revolusioner yang ulung dan berpengaruh atas
massa sebentar-sebentar dibuang dari Indonesia, sedangkan reaksi tambah lama
tambah sengit.
Karena itu, kita berhadapan dengan satu
krisis revolusioner yang tak mudah dipahami oleh orang luar. Kini kebutuhan bukan pada keberanian
semata-mata melainkan terlebih lagi, "pengetahuan revolusioner dan
kecakapan mengambil sikap revolusioner".
Imperialisme Belanda berniat betul-betul
menghancurkan organisasi revolusioner: Delenda est Chartago (Chartago
mesti dihancurkan). Dan jawablah sekarang atau nanti (selama-lamanya) segala
daya upaya musuh untuk menghancurkan kita; dengan jalan aksi massa yang
teratur, pastilah kita menuju kepada kemenangan!
3. De Indonesische Studieclub
Sampai saat ini saya belum beruntung untuk
mengetahui apakah yang sebenarnya yang diinginkan oleh Indonesische Studieclub
dan alat apakah yang akan dipakainya untuk melaksanakan maksudnya. Keterangan
"majalah bulanan dari studieclub" tidak berarti apa pun bagi saya.
Keterangan itu terlalu gelap, terlalu
elastis dan sangat kurang. Karena itu, ia tak boleh dianggap sebagai satu
"dasar" nasional buat perjuangan yang praktis. Suluh Indonesia
mengumumkan sekian banyak pandangan yang bermacam-macam. Akan tetapi, dengan perantaraan
ini, kita tak juga dapat mengambil kesimpulan apakah hal itu dilakukan dengan
sengaja atau hanya sulap-sulapan karena, kadang-kadang, studieclub dapat
bercerita menurut kebiasaan intelektual Indonesia, bahwa "di dalam
kegelapan tersembunyi penerangan".
Dari pidato Mr. Singgih seperti yang
diumumkan di dalam Suluh Indonesia dan majalah lain-lain dapat kita
"raba-raba" sedikit (tak lebih dari itu!) bahwa Mr. Singgih dan
konco-konconya mempunyai maksud yang menyerupai nonkoperasi. Jadi, belum
pasti! Kesan saya secara umum, Mr. Singgih seakan-akan lebih bersikap
sebagai seorang advokat yang menarik diri terhadap anggota-anggota pemerintah
yang mengintip-intip daripada sebagai seorang duta dari sebuah cita-cita baru
yang menyala-nyala untuk berjuta-juta budak berian. Sebuah politik yang dapat
dipahami, tetapi menurut pemandangan saya, mendatangkan kerugian yang tidak
kecil. Menurut pengalaman, rasanya dapat kita ketahui bahwa rakyat kita yang
sederhana ini tidak suka "lempar batu sembunyi tangan", tidak suka
paham-paham yang muskil dan menghabiskan waktu untuk membalas kata-kata yang
kosong. Rakyat kita menghendaki perkataan yang terang dan pas. Kalau tidak
begitu, ia akan tetap meraba-raba dan menduga-duga dan tak kan dapat diajak
mengadakan aksi.
Juga saya tak mengenal isi Studieclub
yang borjuis itu. Tetapi, sesudah dua puluh lima tahun pergerakan kebangsaan,
patutlah kita mempunyai satu ketentuan. Bukankah kita tak boleh menganggap
bahwa kaum terpelajar Studieclub akan tinggal berabad-abad di dalam
laboratorium sosial — mengupas-ngupas dan mematut-matut saja? Karena itu,
biarlah kita menganggap untuk sementara waktu bahwa Studieclub
"menghendaki" kemerdekaan nasional dan ia mau memakai senjata
nonkoperasi. Akan tetapi, dengan sebab-sebab yang sudah kita maklumi, hal-hal
itu sementara waktu dirahasiakan dulu. Jika sungguh seperti itu, kita akan
gembira dan sejauh dan sepantas mungkin akan kita sokong dengan sepenuh tenaga
sebab nonkoperasi termasuk sebagian dari aksi kita yang termasuk ke dalam program
aksi, dan kita anggap sebagai penambah pemogokan dan demonstrasi.
Tetapi masih jadi satu pertanyaan besar,
apakah nonkoperasi saja — meskipun ia, baik dalam politik maupun ekonomi, dapat
dijalankan dengan sempurna dapat mendatangkan hasil bagi Indonesia secara
umunmya. Perihal ekonomi dan pemboikotan, kita persilakan pembaca melihat
uraian-uraian di muka. Bagian ekonomi dan pemboikotan itu di Indonesia
(terutama di Jawa) sangat meminta perhatian dan bila kita tidak keliru, belum
pernah sekali juga dibicarakan dalam Studieclub sesungguhnya, inilah
tanda kelemahan nonkoperasi Studieclub.
Pemboikotan tanpa disertai bagian ekonomi
merupakan pekerjaan yang terlampau khayal dan jauh dari memadai. Meskipun
demikian, biarlah kita mengalah. Bahwa nonkoperasi politik saja yang dapat
membawa kemenangan politik, biarlah tetap tinggal sebagai perumpamaan; dengan
boikot ekonomi, kita dapat mencapai tujuan politik.
Kini tinggal soal yang terpenting, bagian
manakah dari penduduk Indonesia yang mesti digerakkan oleh Studieclub yang akan
memutuskan hubungan "kerja sama" dengan imperialisme Belanda.
Di sinilah sendinya! Kita tidak berhadapan
dengan satu negeri yang pemerintahannya sama sekali ataupun sebagian kecil
dikemudikan oleh wakil-wakil rakyat, seperti di Filipina, Mesir dan sekarang di
India. Jadi, kita tak mempunyai satu pemerintahan yang "bergerak"
(boleh diturunkan dan dinaikkan dengan jalan pemilihan"), tetapi sebuah
kolonial birokrasi yang berkarat mati. Untuk menimbulkan keributan yang berarti
dalam politik, kita harus lawan dan robohkan birokrasi itu mulai dari
sendi-sendinya. Jadi, mestilah kita mendekati pegawai-pegawai, seperti bupati,
wedana, demang, jaksa dan guru-guru sekolah supaya masing-masing meletakkan
jabatannya.
Kita secara apriori percaya bahwa hal itu
tidak mungkin sama sekali, dan sementara waktu janganlah diberi bukti
aposteriori. Sungguh terang sekali bahwa bupati itu konservatif dan pasti
merangkak-rangkak di bawah kursi, menjilat pantat Belanda serta takutnya kepada
bangsa Eropa lebih dari yang semestinya. Mereka ditempel oleh
saudara-saudaranya dan biasanya banyak utang; karena itu, mereka akan
bergantung seteguh-teguhnya kepada gaji mereka. Mereka "terlampau
suka" memerintah dan merasa terlalu tinggi, tak layak menyertai pergerakan
dan bersekongkol dengan rakyat yang mau mengadakan huru-hara. Wedana dan jaksa
pun tak kurang dari itu, bahkan terlebih lagi, sangat haus pangkat yang tinggi;
sebab itu, mereka lebih "perangkak" dan "penjilat" daripada
pegawai Indonesia yang lebih tinggi.
Kita percaya bahwa Mr. Singgih dan
teman-temannya akan mengerjakan pekerjaan yang tak terhingga beratnya untuk
mematahkan birokrasi Belanda yang kokoh itu; seterusnya, memperoleh kemerdekaan
nasional atau konsesi politik yang besar-besar.
Tinggal lagi bagi Studieclub nonkoperasi
terhadap rapat kota. Kita rasa perbuatan itu tak cukup keliru sama sekali! Kita
rasa lebih berguna bila Dr. Soetomo dan teman-temannya tetap duduk di dalam
rapat kota Surabaya, yaitu badan imperialis satu-satunya yang boleh dimasuki bangsa
Indonesia dengan pemilihan langsung (meskipun sangat terbatas) dan dapat
mengemukakan sesuatu dengan leluasa. Di sana Dr. Soetomo dan teman-temannya
dengan pengetahuannya yang luas tentang segala tipu-muslihat pihak sana, dengan
mengadakan perlawanan yang tidak putus-putus dan kritik terhadap si pemegang
kekuasaan, akan berhasil "menyusahkan" kedudukan rapat kota.
Setelah memperhatikan semua yang tersebut
di atas, sesungguhnya kita sangat menyesali politik dan aksi Studieclub yang
dilakukannya sampai sekarang ini. Jika Studieclub tidak "mengambil semua
atau sebagian dari program buruh kita" (kita mengatakan ini bukan karena
mau merendahkan atau menyakitkan hati kaum terpelajar Studieclub), niscaya ia
akan menerima nasib sebagai B.U. dan N.I.P. Sebab hubungan sosial antara
imperialisme Barat dengan bangsa Indonesia yakni borjuasi bumiputra yang kuat
"tidak ada", maka menciptakan satu modus vivendi politik
adalah sebuah pekerjaan yang belum dimulai. Studieclub besok atau lusa niscaya
akan berhadapan dengan dilema sebagaimana yang sudah dialami oleh partai-partai
borjuis, yaitu:
1.
kerja sama dengan Pemerintah Belanda, dan dengan
demikian berarti mengikuti politik imperialisme Belanda; atau
2.
kerja sama dengan rakyat yang sebenarnya, merebut
kemerdekaan yang seluas-luasnya, dan dengan demikian, ia akan menjadi partai
massa buruh serta berpikir secara buruh. "Politik sama tengah, liberal,
bagi Studieclub berarti 'politik matt'."
3.
Politik perlawanan seperti no.2 itu kita yang anjurkan
kepada Dr, Soetomo, Mr. Singgih dan teman-temannya bila mereka kelak diangkat
atau dipilih oleh pemerintah anggota Dewan Rakyat.
4.
Jadi, kaum terpelajar Studieclub mestilah membuang cara
berpikir berjuang, bercita-cita untuk revolusi borjuis atau pemerintahan
borjuis, tapi menjadi buruh, yaitu memakai cara pikiran buruh
dialektis-materialistis dan berjuang buat kepentingan kaum buruh